20 Maret 2025
08:00 WIB
Peneliti INDEF Prediksi Posisi Utang Negara Bisa Tembus Rp10.000 Triliun
Menurut peneliti INDEF, proyeksi utang negara hingga Rp10.000 triliun lantaran tren negatif dari laporan awal tahun APBN yang sudah menunjukkan kondisi defisit sebesar Rp31,2 Triliun.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Ilustrasi obligasi negara pada papan digital. Shutterstock/Westlight
JAKARTA - Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF Riza Annisa Pujarama memproyeksi posisi utang negara (pemerintah pusat) bisa menyentuh angka Rp10.000 triliun di tahun 2025.
Menurut Riza, hal ini terjadi lantaran pemerintah gagal meningkatkan penerimaan perpajakan di awal tahun. Kondisi ini tecermin dalam laporan APBN KiTa per Februari yang mengalami penurunan jika dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya (yoy).
"Kita lihat bahwa trennya di awal tahun ini sudah negatif. Dan bisa jadi di tahun ini kita bisa tembus Rp10.000 triliun, jika tidak ada improvement dari sisi penerimaan perpajakan," ujar Riza, dalam Diskusi Publik INDEF bertajuk “Ekonomi Lebaran saat Cekak Anggaran”, Rabu, (19/3).
Baca Juga: Publik Lebih Setuju Hasil Efisiensi Anggaran Dipakai Lunasi Utang Ketimbang Biayai MBG dan Danantara
Proyeksi Riza berangkat dari posisi terakhir utang negara per akhir tahun 2024 yang diketahui berada di angka Rp8.800 triliun. Sementara berdasarkan laporan APBN KiTa terakhir, pembiayaan SBN sudah mencapai kisaran Rp238 triliun.
Sehingga jika dijumlahkan, posisi utang negara saat ini sudah mencapai Rp9.000 triliun.
Kondisi tersebut kian diperparah dari realisasi APBN di awal tahun, yang menurut Riza sudah menunjukkan tren negatif dengan adanya defisit sebesar Rp31,2 triliun. Biasanya kondisi APBN awal tahun masih berada di kondisi surplus.
"Sebenarnya pola defisit di awal tahun ini menimbulkan sedikit kekhawatiran. Karena beberapa tahun terakhir ini kita kan biasanya di awal tahun itu postur anggaran tidak defisit, masih positif, masih surplus penerimaan perpajakan," ujar Riza lagi.
Gagal di Sistem Perpajakan
Lebih lanjut, Riza juga menggarisbawahi kegagalan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Perlu diketahui, per Februari 2025 penerimaan perpajakan APBN baru mencapai Rp240,4 triliun. Angka ini menurun drastis dari penerimaan di periode sama pada tahun sebelumnya yang berada di kisaran Rp320 triliun.
Menurut Riza, berbagai cara yang sejauh ini dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan belum menunjukkan hasil, termasuk salah satunya undang-undang harmonisasi perpajakan yang sudah berlaku sejak 2021.
"Padahal sudah ada pengampunan pajak (tax amnesty), peningkatan PPN ke 11%, tapi ternyata belum bisa menaikkan penerimaan perpajakan," ujarnya lagi.
Baca Juga: BI: Posisi Utang Luar Negeri RI Januari 2025 Sentuh Rp6.998,23 T
Riza juga menyorot kegagalan sistem perpajakan yang sebelumnya digadang-gadang mampu meningkatkan penerimaan pajak, namun justru menimbulkan banyak permasalahan di awal tahun, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang akan melaporkan pajaknya.
"Coretax yang digadang-gadangkan bisa mendorong peningkatan penerimaan pajak ternyata belum bisa di dua bulan ini. Padahal kita sudah keluar Rp 1,2 triliun untuk Coretax," imbuhnya.
Melihat situasi rendahnya penerimaan perpajakan dan utang negara yang terus bertambah, Riza menegaskan pemerintah perlu waspada lantaran kondisi ini menandakan bahwa APBN Indonesia ke depan bisa jadi hanya akan bergantung pada utang.
"Ini yang perlu diwaspandai, sebenarnya yang menjadi concern INDEF berkali-kali juga sudah menyampaikan bahwa kita semakin tergantung pada utang, bertumpu pada utang untuk pembiayaan, untuk APBN," tegasnya.