11 September 2025
15:28 WIB
Pemerintah Menyiapkan 17 Lokasi Untuk Kawasan Cadangan Karbon Biru
Karbon biru adalah istilah untuk karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan laut. Ekosistem ini mencakup hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass), dan rawa pasang surut.
Penulis: Fin Harini
Editor: Fin Harini
Hutan mangrove tepatnya tak jauh dari Pantai Sendangbiru mulai ditanam warga sekitar pada tahun 2004 hingga 2006. Manfaat hutan mangrove selain dapat mengurangi polusi, juga sebagai habitat plankton. Shutterstock/Dante Sulindro Nugroho
JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyiapkan 17 lokasi indikatif yang akan ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) sebagai cadangan karbon biru.
Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut KKP Kartika Listriana menjelaskan penetapan lokasi ini mencerminkan komitmen nasional dalam mengelola ekosistem karbon biru, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Ini akan mempresentasikan kepentingan nasional untuk pengelolaan ekosistem karbon biru,” ujar Kartika dalam Lokakarya Nasional Penataan Ruang Laut di Jakarta, Kamis (11/9), dikutip dari Antara.
Ia menambahkan, beberapa lokasi, khususnya di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, akan menjadi prioritas utama untuk pemulihan ekosistem.
Baca Juga: KKP Sebut Perdagangan Karbon Padang Lamun Bisa Mulai Tahun Ini
Karbon biru adalah istilah untuk karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan laut. Ekosistem ini mencakup hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass), dan rawa pasang surut.
kosistem ini memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer—bahkan melebihi hutan di daratan. Setidaknya 55% karbon global diserap oleh organisme laut dan disimpan dalam jangka panjang, baik di dalam biomassa maupun sedimen.
Mengutip publikasi bertajuk Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia yang ditulis oleh Simamora, biomassa lamun bisa bertahan lama di dalam sedimen laut dan tidak kembali ke atmosfer.
Ekosistem lamun sangat efektif menyerap CO2 dengan serapan sebesar 1.867 ton/km2 (48%) relatif lebih tinggi dibandingkan mangrove sebesar 806 ton/km 2 (21%) dan karang sebesar 1.197 ton/km 2 (31%).
Kartika melanjutkan pengembangan karbon biru juga akan mencakup kawasan strategis nasional lainnya, seperti aglomerasi kota-kota pesisir seperti Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan), dan Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi).
Tak hanya itu, KKP juga berencana mendorong kawasan situs warisan dunia di Bangka Belitung untuk menjadi carbon free island.
“Tentunya ke depan, hal-hal tersebut dapat direncanakan dan dikelola secara terintegrasi dengan prioritas perencanaan yang ada di masing-masing kawasan,” kata Kartika.
Kartika optimistis bahwa ekosistem laut, khususnya lamun, dapat memperkuat perdagangan karbon dan pada saat yang sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Menaksir Potensi Mangrove RI Di Perdagangan Karbon Dunia
Ia menyebut lamun memiliki potensi besar untuk perdagangan karbon di pasar global karena kemampuannya menyimpan karbon hingga 82.000 ton CO2 per kilometer persegi. Potensi ini dapat dimanfaatkan melalui berbagai skema, termasuk pasar sukarela (voluntary carbon market) dan kemitraan publik-swasta.
Namun, pengembangan ini menghadapi tantangan. Kartika menekankan pentingnya regulasi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden tentang nilai ekonomi karbon. Regulasi ini sangat dibutuhkan untuk menetapkan metodologi baku dalam mengukur kandungan karbon di lamun, sehingga mempermudah implementasi di lapangan.