c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

21 Desember 2024

18:00 WIB

Menaksir Potensi Mangrove RI Di Perdagangan Karbon Dunia

Punya bentangan mangrove yang luas membuka kesempatan Indonesia mengonversinya jadi komoditas baru perdagangan karbon dunia. Sejauh mana kesiapannya?

Penulis: Nuzulia Nur Rahma, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Menaksir Potensi Mangrove RI Di Perdagangan Karbon Dunia</p>
<p id="isPasted">Menaksir Potensi Mangrove RI Di Perdagangan Karbon Dunia</p>

Sejumlah warga membantu menanam pohon mangrove saat kegiatan desa bakti untuk negeri di Desa Tapulaga, Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/10/2022). Antara Foto/Jojon

JAKARTA – Berbicara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 19 November 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto mengemukakan rencana ambisius Indonesia untuk mencapai net zero emision sebelum 2050. Ambisius, karena target dipercepat 10 tahun dari waktu semula. 

Hitungan Prabowo, untuk menekan emisi gas rumah kaca, Indonesia kaya akan beragam sumber daya yang bisa disulap jadi listrik ramah lingkungan, yang bisa menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Lalu, ada biodiesel untuk mengurangi ketegantungan pada BBM. 

Indonesia juga punya kemampuan untuk menyerap gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), yang kadung lepas ke atmosfer lewat hutan tropis yang dimiliki. Tak cuma jadi penyedot CO2, hutan Indonesia juga punya peran signifikan menjaga keseimbangan iklim global. 

“Indonesia terbuka untuk mengoptimalkan prospek 557 juta ton kredit karbon. Kita juga memiliki kapasitas penyimpanan karbon terbesar, dan kita tawarkan ini kepada dunia,” ujar Presiden Prabowo di hadapan 20 negara dengan ekonomi besar, Rio De Janeiro, Selasa (19/11).

Dari segala kekayaan hayati yang ada di Indonesia, adalah mangrove yang jadi jawara penyerapan karbon. Pohon mangrove atau bakau merupakan salah satu jenis tanaman yang tumbuh di daerah muara atau pesisir, terutama di wilayah tropis dan subtropis. Pohon ini memiliki akar yang khas dan memiliki kemampuan menjaga pantai dari abrasi.

Sebagai salah satu negara dengan iklim tropis, Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di dunia. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional Indonesia 2021, total luasan Mangrove tanah air ditaksir mencapai 3.364.076 Ha.

Rinciannya, kondisi mangrove lebat seluas 3.121.239 hektare (93%), mangrove sedang memiliki seluas 188.363 hektare (5%), dan mangrove jarang memiliki seluas 54.474 hektare (2%).

Penyerapan Karbon Mangrove
Wakil Ketua Komite Tetap Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS, Hutan Lindung dan Mangrove Kadin Indonesia Chintya Dian Astuti mengatakan, dengan ekosistem yang sangat besar, pohon mangrove dapat memberikan manfaat luar biasa apabila dikelola dengan baik.

"Sebenarnya ini satu potensi besar buat Indonesia dalam biodiversitas. Banyak banget yang tersimpan di bawah mangrove. Dengan kemunculan mangrove muncul juga habitat-habitatnya, dari mulai udang, ikan, kepiting, udang mantis itu juga ada di mangrove, terus oyster (tiram), ikan kakap," kata Chintya dalam perbincangan dengan Validnews di Jakarta, Selasa (17/12).

Selain penting sebagai habitat biodiversitas, Chintya menyampaikan, hutan mangrove nyatanya punya kemampuan luar biasa dalam menyerap karbon. Kemampuan ini juga menjadikannya sebagai solusi berbasis alam yang efektif untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap karbon dioksida (CO2) lebih banyak dibandingkan dengan jenis pohon lain di daratan. Estimasinya, setiap mangrove bisa hingga 10 kali lipat lebih unggul ketimbang pohon di daratan dalam hal penyerapan karbon.

"Mangrove bisa dibilang paling banyak penyerapan karbonnya, yang tersimpan di dalam itu banyak sekali dibandingkan pohon yang ada di terrestrial area (daratan). Bisa dibilang satu pohon mangrove itu bisa menyerap 3 sampai 5, bahkan mungkin bisa sampai 10 kali penyerapan karbon yang masuk di satu pohon (darat)," jelasnya.

Proses penyerapan karbon pada pohon mangrove terjadi melalui fotosintesis. Tanaman menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa seperti batang, daun, dan akar.

Selain itu, tanah di bawah mangrove juga berperan sebagai penyimpan karbon yang sangat efektif karena akumulasi bahan organik di dalam tanah yang terjaga dengan baik.

"Karbon yang tersimpan lewat penyerapan dari mangrove itu tersimpan bukan hanya di bawah substrat, jadi di bawah lumpurnya, di bawah tanahnya bukan hanya di situ. Tapi dari daun, kemudian batang, kulit pohon, sampai akarnya itu punya penyerapan karbon yang tinggi," ungkapnya.

Dengan luas hutan mangrove yang ada di Indonesia, Badan Litbang Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, mangrove Indonesia bisa menyimpan 3,14 miliar ton karbon. Jumlah fantastis 'reservoir karbon alami' ini setara dengan sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir di seluruh dunia.

Peluang Perdagangan Karbon Mangrove
Dengan kemampuan penyimpanan miliaran ton karbon, Indonesia pun punya peluang bisnis hijau yang sangat besar. Tak lain adalah perdagangan karbon untuk menekan laju perubahan iklim, seperti yang dikemukakan Presiden Prabowo. 

Sama halnya dengan jual beli pada umumnya, perdagangan karbon adalah sistem untuk menjual dan membeli. Dalam hal ini, ‘benda’ yang dijual dan dibeli adalah kredit karbon. 

Satu kredit karbon yang dapat diperdagangkan sama dengan satu ton karbon dioksida, atau jumlah yang setara dari gas rumah kaca lain alias CO2e, yang dikurangi, diserap, atau dihindari. Ketika kredit digunakan untuk mengurangi, menyerap, atau menghindari emisi, kredit tersebut menjadi kompensasi dan tidak lagi dapat diperdagangkan.

Perusahaan atau individu dapat menggunakan pasar karbon untuk mengkompensasi emisi gas rumah kaca mereka dengan membeli kredit karbon dari entitas yang menghilangkan atau mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan sistem perdagangan ini, Indonesia punya peluang untuk menjual kemampuan menyerap karbon dioksia ke pihak yang mengeluarkan karbon dioksida. Dus, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru buat Indonesia sekaligus memberikan manfaat ekologis yang besar karena menjaga iklim.

Perekayasa Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arief Darmawan menguraikan lebih jauh. Mangrove dapat berperan dalam perdagangan karbon, karena merupakan salah satu dari tiga ekosistem karbon biru yang efektif dalam menyerap karbon.

“Potensi penerimaan negara dari mangrove tentu sangat besar, mengingat Indonesia memiliki kawasan yang sangat luas yaitu sekitar 3 juta hektare. Dan nilai perdagangan karbon itu dinilai dalam hitungan per ton CO2e,” kata Arief kepada Validnews, Jumat (20/12).

Nah soal pengurangan emisi, Arief menerangkan, ini tergantung dari seberapa besar nilai selisih antara nilai offset atau perimbangan dengan referensi CO2 mangrove.

“Misal digunakan CO2 yang diserap mangrove tahun 2019, lalu dilakukan perhitungan di tahun 2020, dan nilai selisihnya atau penambahan nilai CO2 yang diserap akibat pertumbuhan biomassa mangrove, dan keberhasilan replantasinya bisa diperdagangkan,” jelasnya.

Dia menyebut, kawasan Indo-Pasifik, Indonesia memiliki keanekaragaman spesies mangrove terbesar. Setidaknya, ada sekitar 47 jenis mangrove yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2020, Rhizophora mucronata (Mangrove Merah) merupakan jenis mangrove yang terluas, diikuti Avicennia marina (Mangrove Putih), Bruguiera gymnorhiza (Mangrove Ujung), Sonneratia alba (Mangrove Api), Kandelia candel (Mangrove Kandel) dan jenis lainnya. 

"Secara potensi dalam perdagangan karbon, tentu saja ini tidak terkait secara langsung dengan jenis mangrovenya tetapi lebih ditekankan bagaimana kita bisa melakukan pengukuran emisi karbon yang akurat, verifikasi dan validasi data mangrove itu sendiri," katanya.

Selain itu, menurutnya, beberapa kawasan yang memiliki mangrove bagus seperti di Papua dan Kalimantan patut dikonservasi. Sementara yang terdegradasi perlu direhabilitasi dan replantasi. 

Jauh Angan Perdagangan Karbon
Meski berpotensi besar, sayangnya angan Indonesia untuk bisa memperdagangkan karbon via mangrove nampaknya masih jauh panggang dari api. 

Anggota sekaligus Board of Supervisor Institute of Certified Sustainability Practitioners (ICSP) Jalal menjelaskan alasannya. Menurut Jalal, Indonesia menyumbang sekitar 20% dari total luas mangrove dunia, dengan estimasi sekitar 950 juta ton karbon dioksida yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia. Angka ini menunjukkan besarnya potensi yang bisa dimanfaatkan untuk perdagangan karbon.

Namun, dia menggarisbawahi, potensi karbon yang besar tersebut belum dapat dijadikan angka patokan yang langsung bisa diperdagangkan. Diingatkannya, perdagangan karbon membutuhkan validasi yang akurat.

"Kita kan enggak bisa jualan karbon mangrove se-Indonesia dengan abstrak, itu sama dengan kita mau jual seluruh mangga di Indonesia, enggak bisa kan? Harus ada validasi spesifik, seperti kita tahu pohon mangga di kebun Pak Amin, berapa jumlahnya, seberapa besar produksinya, dan kualitasnya," beber Jalal kepada Validnews, Kamis (19/12).

Selain itu, variasi stok karbon di hutan mangrove juga dianggapnya menjadi faktor penting dalam menentukan jumlah karbon yang dapat diperdagangkan. Jalal menekankan, tidak semua mangrove memiliki kapasitas yang sama dalam menyerap karbon. 

Ada hutan mangrove yang sudah dewasa dan rapat, sehingga memiliki stok karbon yang lebih tinggi. Sementara, ada pula yang masih muda dengan kapasitas serapan karbon yang lebih rendah.

"Jadi walaupun dinyatakan, misalnya, satu hektare rata-ratanya 1.000 ton (ekuivalen karbon) kayak gitu, tetapi ada yang masih muda ini mangrovenya mungkin hanya 150 ton, kayak gitu," ucapnya.

Selain itu, semua pihak juga mesti sadar, mekanisme perdagangan karbon mangrove atau blue carbon masih dalam tahap pengembangan. Walaupun ada diskusi global terkait ini, dia menekankan, masih banyak detail yang perlu diselesaikan, terutama terkait validasi data dan standar ilmiah yang disepakati secara internasional. Kini, mekanisme perdagangan karbon di level global juga masih perlu menunggu kejelasan, termasuk detail harga dan siapa yang akan membeli.

Menurut Jalal, meski ada potensi besar, tanpa data akurat dan sistem validasi yang kuat, sebagian besar potensi karbon dari mangrove ini mungkin tidak dapat dijual. Oleh karena itu, dia mendukung, keberadaan metodologi ilmiah yang disepakati untuk memastikan bahwa karbon yang dihasilkan dapat diperdagangkan secara sah dan transparan.

Senada, Chintya berujar, Indonesia kini juga belum memiliki aturan spesifik mengenai perdagangan karbon mangrove. Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon yang berfungsi sebagai platform perdagangan unit karbon sendiri belum menyediakan perdagangan karbon mangrove.

“Sebenarnya kalau saat ini kita semua lagi menunggu, menunggu regulasi yang keluar dari pemerintah, regulasi untuk perdagangan karbonnya,” ungkap Chintya.

Arief juga ikut mengamini. Secara regulasi memang belum diputuskan mekanisme perdagangan karbon dari mangrove. Namun, bisa saja ke depan akan disatukan dengan mekanisme perdagangan karbon yang sudah berjalan, seperti sektor pembangkit listrik tenaga batu bara.

“Dari sisi regulasi Indonesia masih memiliki keterbatasan seperti standardisasi serta proses verifikasi dan validasi yang rumit. Secara internasional, kendala yang juga dihadapi adalah dari sisi perbedaan standar dan regulasi, kerja sama dan konflik kepentingan antar negara,” imbuh Arief.

Tingginya Laju Kerusakan Hutan Mangrove
Namun sebelum muluk-muluk sampai ke perdagangan karbon, Chintya mengingatkan, pelestarian hutan mangrove merupakan isu yang tidak bisa dikesampingkan. Data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) 2022 menunjukkan, total hutan mangrove yang rusak atau mengalami deforestasi di Indonesia bisa mencapai 700 ribu ha.

Laporan yang sama mengidentifikasi, tambak merupakan penyebab paling banyak bertanggung jawab dalam deforestasi mangrove itu. Untuk itu, Chintya mengatakan, edukasi berperan penting nan krusial untuk menahan laju negatif ini.  Terlebih,  masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami potensi manfaat ekologis dan ekonomis yang bisa diperoleh dari keberadaan hutan pasang surut ini.

"Mungkin mereka (masyarakat) tidak merasakan karena tidak tahu, yang mereka tahu adalah butuh makan dan mereka babat itu mangrove jadi tambak. Nah itu yang harus diedukasi," ucapnya.

Padahal, masyarakat pesisir bisa merasakan manfaat jangka panjang keberadaan mangrove.  Dan, mangrove bukan hanya berfungsi sebagai pelindung alam, tetapi juga memiliki produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi. 

Misalnya, buah dari mangrove dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk olahan seperti manisan atau minuman. Sementara bagian-bagian tanaman mangrove bisa digunakan untuk pewarna alami dalam industri kerajinan tangan, seperti batik. 

"Nah, itu nilai-nilai yang tidak didapatkan, padahal di situ ada benefit besar dari keberadaan mangrove. Karena mereka tahunya lapar dan mau makan, mereka babat jadi tambak, padahal itu bukan solusi," urainya.

Lebih lanjut, Chintya menekankan, pentingnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi mangrove. Tanaman mangrove yang dirawat dengan baik dan ditanam secara massal dapat menutupi area yang lebih luas, menyediakan perlindungan lebih baik bagi masyarakat pesisir dari bencana alam, serta meningkatkan hasil perikanan.

"Itu bisa menjadi mata pencarian buat mereka. Bagaimana kaitannya dengan karbon? Buat saya, (perdagangan) karbon itu adalah bonus untuk mereka," tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar