21 Maret 2025
10:07 WIB
Pemerintah Gali Opsi Genjot Penerimaan Pajak
Pemerintah tengah menggenjot penerimaan pajak untuk mencapai target tax ration 23% setelah penerimaan negara menurun signifikan pada Februari 2025.
Penulis: Al Farizi Ahmad
Editor: Fin Harini
Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Serang Timur, Kota Serang, Banten, Rabu (15/1/2025). AntaraFoto/Muhammad Bagus Khoirunas
JAKARTA - Pemerintah tengah menggenjot penerimaan pajak setelah penerimaan negara menurun signifikan pada Februari 2025. Untuk pertama kalinya sejak 2021, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah mengalami defisit sejak awal tahun.
Berdasarkan data APBN KiTa, anggaran mengalami defisit Rp31,2 triliun hingga akhir Februari 2025. Jumlah itu setara dengan 0,13% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Defisit tersebut disebut masih dalam target APBN yang sebesar 2,53% terhadap PDB atau sekitar Rp616,2 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Presiden Prabowo Subianto menyinggung meningkatkan tax ratio negara yang saat ini sedang diupayakan untuk mencapai 23%.
Hal itu disampaikan Sri Mulyani seusai bertemu Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/3).
Baca Juga: Peneliti INDEF Prediksi Posisi Utang Negara Bisa Tembus Rp10.000 Triliun
"{Berdiskusi) mengenai bagaimana kita bisa meningkatkan tax ratio dan bagaimana upaya upaya intensifikasi dan perbaikan administrasi. Kita upayakan beberapa langkah (tax ratio) 23%," tandasnya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, mengatakan, pemerintah membuka wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
Kemudian PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia.
"Pembahasan melakukan exercise beberapa sumber pendapatan negara baru khususnya peningkatan royalti di sektor emas, nikel dan beberapa komoditas lain termasuk batu bara. Perubahannya sekarang sudah hampir final. Berkaitan royalti, baik dari bahan bakunya sampai dengan barang jadinya. Ini juga dalam rangka menunjang proses hilirisasi," papar Bahlil.
Ia mengakui emas dan nikel sebelumnya sudah dikenakan royalti. Setelah revisi aturan, royalti akan naik karena harga komoditas cenderung fluktuatif. Menurut Bahlil, tidak fair jika harga naik dan negara tidak dapat pendapatan tambahan.
"Naik antara 2% sampai 3%. Tergantung dan itu harganya fluktuatif. Kalau harganya naik, kita naikkan ke yang paling tinggi, tapi kalau harganya lagi turun, kita juga tidak boleh mengenakan pajak besar ke pengusaha. Karena kita butuh pengusaha berkembang," pungkasnya.
Penerimaan dan Belanja
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pendapatan negara per Februari 2025 adalah Rp316,9 triliun atau terealisasi 10,5% dari target APBN 2025.
Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penerimaan negara turun 20,85% secara tahunan. Sebagai perbandingan, pada Februari 2024, pendapatan negara adalah Rp400,4 triliun atau terealisasi 14,29% dari target APBN 2024.
Turunnya pendapatan negara awal tahun ini terutama disebabkan oleh penerimaan perpajakan yang lebih rendah, khususnya setoran pajak.
Baca Juga: Penerimaan Negara Bukan Pajak per Februari 2025 Terkontraksi 4,5%
Tercatat penerimaan perpajakan sebesar Rp240,4 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp187,8 triliun dan kepabeanan dan cukai sebesar Rp52,6 triliun, ditambah dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp76,4 triliun.
Sementara itu, hingga akhir Februari 2025 belanja negara telah mencapai Rp348,1 triliun atau sebesar 9,6% dari target belanja negara terhadap APBN.
Angka tersebut terdiri dari Rp211,5 triliun untuk belanja pemerintah pusat, yang digunakan untuk belanja K/L sebesar Rp83,6 triliun dan belanja non-K/L sebesar Rp127,9 triliun. Selain itu ada pula biaya transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp136,6 triliun.