07 Oktober 2025
10:22 WIB
PBB Sentil Kemenkeu dan BKKBN Soal Anggaran Kontrasepsi
PBB via UNFPA mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia yang disebut berhenti menyediakan fasilitas kontrasepsi dan meminta anggaran program tersebut kembali disediakan.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Petugas kesehatan memasangkan alat kontrasepsi jenis KB implan kepada akseptor di Kantor Kelurahan Bakti Jaya, Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (10/7/2024). Antara Foto/Sulthony Hasanuddin
JAKARTA - Kepala Perwakilan Dana Kependudukan PBB (United Nations Population Fund/UNFPA) Indonesia Hassan Mohtashami mengkritik kebijakan pemerintah, yang dinilai sengaja memangkas anggaran dan program kontrasepsi untuk perempuan di Indonesia.
Menurutnya, kebijakan tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia khususnya kalangan perempuan yang memiliki kehendak untuk tidak memiliki anak, salah satunya dengan mendapatkan akses ke alat kontrasepsi yang memadai.
“Saya tidak tahu apakah ada orang dari Kementerian Keuangan atau BKKBN di sini, tapi karena Bappenas berada di sini, jadi saya harap Bappenas mengingatkan semua orang bahwa kita tidak harus menghentikan pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi,” ujar Hassan dalam Diseminasi Tabel Kehidupan di kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Senin (6/10).
Baca Juga: Bappenas: Tabel Kehidupan Baru Dukung Manfaat Perlinsos
Dalam pemaparannya, Hassan lebih dahulu menyorot pergeseran pola hidup masyarakat di mana perempuan di masa kini tidak sama seperti beberapa dekade atau satu abad lalu, yang bisa memiliki lebih dari dua atau bahkan tiga anak.
Menurutnya, kini kalangan perempuan makin menyadari pentingnya ikut mengambil peran dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, mulai dari bersekolah, menempuh pendidikan tinggi, hingga bekerja.
Kondisi tersebut, nyatanya juga menjadi salah satu faktor utama dari menurunnya Total Fertility Rate (TFR) yang saat ini sedang dialami hampir kebanyakan negara. Meski di saat bersamaan, Hassan mengakui kondisi perekonomian global jadi faktor penting lain dan ikut memengaruhi penurunan jumlah kelahiran anak di dunia.
“Biaya tempat tinggal, pengorbanan waktu, kepadatan penduduk, biaya hidup, biaya membesarkan anak, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Dunia telah berubah dan ini bagian dari konstruksi sosio-ekonomi, tidak mudah saat ini membuat keputusan untuk memiliki satu, dua atau lebih dari tiga anak,” beber Hassan.
Lebih jauh, Hassan menekankan bahwa anggaran kontrasepsi yang sebelumnya digelontorkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan di atas sejauh ini baru tersedia di layanan kesehatan yang umum diakses oleh kalangan masyarakat kelas bawah.
“Perempuan di Menteng, Senayan dan sebagainya, mereka akan pergi ke rumah sakit pribadi untuk mendapatkan kontrasepsi. Tapi siapa yang menggunakan kontrasepsi dari puskesmas? Perempuan dari kalangan masyarakat miskin, kenapa kita berhenti menyediakan kontrasepsi untuk mereka?” tandas Hassan.
Baca Juga: Bappenas: Wujudkan Indonesia Emas 2045 Harus Dimulai Dengan Statistik Yang Benar
Mengakhiri pemaparannya, Hassan kembali meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali penyediaan anggaran untuk program kontrasepsi.
“Tolong amankan anggaran untuk kontrasepsi, pastikan kontrasepsi tersedia untuk semua perempuan,” imbuhnya.
Anggaran Kontrasepsi Terancam
Asal tahu saja, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN tengah mengalami persoalan serius terkait anggaran alat kontrasepsi di tahun berjalan 2025 yang terdampak efisiensi, begitu pula untuk tahun anggaran 2026 yang masih dalam tahap pematangan.
Kemendukbangga mencatat, penyediaan alat obat kontrasepsi hanya mendapat anggaran Rp200 miliar setelah adanya pemblokiran dalam efisiensi. Anggan tersebut turun drastis dibanding tahun sebelumnya yang memperoleh dana sebesar Rp850 miliar, sebagai pengendali jumlah penduduk melalui program KB/alat kontrasepsi.
Mendukbangga Wihaji mengungkap, alokasi pengadaan alat dan obat kontrasepsi hanya sebesar 33,17% dari total kebutuhan karena terjadi efisiensi.
Baca Juga: Manfaat Lain Kontrasepsi Oral Kombinasi Selain Cegah Kehamilan
Sementara untuk pagu anggaran 2026, menurutnya belum ada alokasi khusus untuk penyediaan kontrasepsi, disebabkan penurunan anggaran Kemendukbangga pada 2026 sebesar Rp518 miliar dibandingkan dengan tahun anggaran 2025.
“Berdasarkan pagu anggaran tahun 2026 sesuai surat edaran bersama, Kemendukbangga/BKKBN belum dapat mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pengadaan alat dan obat kontrasepsi (alokon)," ujar Wihaji dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI, Kamis (4/9).
Wihaji menyebutkan, tidak adanya penyediaan alat dan obat kontrasepsi meningkatkan risiko Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD), angka kematian ibu, angka kematian anak, dan risiko stunting. Dalam jangka panjang, kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dan tidak berkualitas.
Pada kesempatan sama, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Achmad Ru’yat mengkritisi belum adanya alokasi kontrasepsi dalam pagu anggaran 2026 yang justru meningkat dari tahun ke tahun.
“Terus terang dengan melihat anggaran yang ada, dari tahun 2021 sampai 2025 BKKBN meningkat, tetapi justru di tahun 2026 ini menurun. Anggaran untuk obat dan kontrasepsi tidak ada, jadi ini sangat ironis. Kalau alokon tidak tersedia, kemungkinan terjadi hamil yang tidak diinginkan akan meningkat,” ujar Ru’yat.
Legislator PKS tersebut mengingatkan bahwa kehamilan tidak diinginkan bisa menimbulkan dampak domino, mulai dari kecemasan ibu, risiko bayi lahir tidak sehat, hingga meningkatnya angka kematian ibu dan bayi.
“Kalau hamil yang tidak diinginkan ini terjadi, ibu merasa cemas, ini berpengaruh terhadap kualitas anak. Ada kemungkinan aborsi tidak aman, keguguran, bahkan meningkatnya angka kematian ibu dan bayi,” tegas Achmad.