10 November 2025
14:05 WIB
Pakar Nilai Indonesia Punya Modal Kuat Kembangkan Industri Budidaya Kepiting
Investasi pada budidaya kepiting dan rajungan dinilai sebagai peluang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penulis: Fin Harini
Ilustrasi hasil laut. Pekerja mengumpulkan rajungan hasil tangkapan nelayan di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (9/10/2020). ANTARAFOTO/Dedhez Anggara
JAKARTA – Ekosistem mangrove yang luas menjadi modal kuat bagi budidaya rajungan dan kepiting. Dengan adanya budidaya rajungan dan kepiting, ekosistem mangrove juga lebih terjaga.
Hal itu terungkap dalam Forum Ilmiah Kepiting Berkelanjutan yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jumat (7/11).
Rokhmin Dahuri, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia sekaligus anggota legislatif DPR RI, menegaskan Indonesia punya modal kuat karena memiliki ekosistem mangrove terluas dan pasar ekspor perikanan yang besar. Sehingga menurutnya, investasi pada budi daya rajungan merupakan peluang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Indonesia dapat menjadi produsen kepiting terbesar di dunia dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, selama riset, pembenihan, industrialisasi hatchery, pembiayaan, serta kemitraan antara pemerintah, kampus, pelaku usaha, dan swasta dapat berjalan seimbang,” ujarnya dalam siaran resmi di Jakarta, Senin (10/11).
Hal senada disampaikan Yushinta Fujaya dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Apalagi teknologi pembenihan dan pembesaran kepiting sudah dikuasai Indonesia.
Baca Juga: Produk Laut Indonesia Pikat Konsumen Eropa
Tantangannya justru pada hilirisasi teknologi dan diseminasi kepada masyarakat, dan salah satu pendekatan yang terbukti efektif menurutnya adalah konsep crab silvofishery, yakni kegiatan budidaya kepiting yang dilakukan di lingkungan mangrove.
“Jka masyarakat dapat memperoleh penghasilan dari budidaya di kawasan mangrove, maka mereka akan turut menjaga ekosistem tersebut, sehingga ekonomi dan konservasi dapat berjalan beriringan,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), Kuncoro C. Nugroho, menyampaikan keberlanjutan sumber daya rajungan dapat dicapai apabila pelaku usaha, pembeli, dan pemerintah terus menjaga keseimbangan antara permintaan pasar dan ketersediaan stok di alam.
Untuk itu dia menekankan pentingnya penelitian dan pengembangan budidaya rajungan sehingga menghasilkan produk berkualitas yang setara dengan hasil tangkapan alam dan mampu memenuhi kebutuhan ekspor.
Tantangan Penangkapan di Alam
KKP terus memperkuat sinergi dengan berbagai mitra strategis untuk membangun industri budidaya kepiting berkelanjutan dan berorientasi ekspor. Salah satunya melalui Forum Ilmiah Kepiting Berkelanjutan yang mempertemukan akademisi, peneliti, pemerintah daerah dan pusat, asosiasi usaha, serta pelaku industri.
Pertemuan yang berlangsung akhir pekan kemarin di Makassar itu untuk merumuskan langkah konkret dalam memperkuat riset, hilirisasi inovasi, dan penguatan ekosistem bisnis budidaya kepiting nasional.
“Pembangunan industri kepiting tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan volume produksi, tetapi juga memastikan keberlanjutan sumber daya dan kelestarian lingkungan pesisir,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya, Tb Haeru Rahayu.
Seiring meningkatnya permintaan global terhadap rajungan dan kepiting, Indonesia menghadapi tantangan berupa potensi penangkapan berlebihan di alam. Untuk menjaga keberlanjutan sumber daya, KKP mendorong menggeliatkan budidaya kepiting berkelanjutan dan edukasi kepada masyarakat pesisir.
Data ekspor menunjukkan bahwa rajungan dan kepiting merupakan komoditas strategis. Pada tahun 2024, keduanya tercatat sebagai komoditas ekspor perikanan terbesar keempat Indonesia setelah udang, tuna–cakalang–tongkol, dan cumi–sotong–gurita, dengan nilai mencapai US$513,35 juta atau sekitar 8,6% dari total ekspor perikanan Indonesia. Negara tujuan ekspor terbesar meliputi Tiongkok, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
Baca Juga: KKP: Penangkapan Kepiting Cenderung Eksploitatif
“Peningkatan kebutuhan pasar ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat industri budidaya kepiting yang stabil dan berkelanjutan,” tambah Dirjen Tebe.
Indonesia memiliki sejumlah sentra produksi budi daya kepiting yang potensial dan strategis. Kalimantan Timur tercatat sebagai wilayah dengan produksi tertinggi secara nasional dengan total produksi mencapai 9.801 ton, disusul Jawa Barat dengan produksi sebesar 3.007 ton, serta Sulawesi Selatan dengan produksi sebanyak 2.866 ton.
Untuk memperkuat pengembangan sektor tersebut, KKP telah membangun modeling budi daya kepiting di Pasuruan, Jawa Timur, seluas 30 hektare yang dikelola oleh Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo. Kawasan ini dirancang sebagai model teknologi budidaya kepiting yang berorientasi pada peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Dirjen Tebe menegaskan bahwa pencapaian target pengembangan industri budidaya kepiting berkelanjutan tersebut dapat diwujudkan melalui sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan.
“Kolaborasi dan peran yang saling melengkapi tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam mewujudkan industri budidaya kepiting yang berkelanjutan, berdaya saing, dan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat,” tandas Tebe.