c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

17 November 2018

09:01 WIB

KKP: Penangkapan Kepiting Cenderung Eksploitatif

Pengaturan pemanfaatan sumberdaya kepiting diperlukan karena hingga saat ini keberhasilan pembenihan kepiting dan rajungan menunjukkan tingkat kelulushidupan/survival rate (SR) masih rendah

Editor: Agung Muhammad Fatwa

KKP: Penangkapan Kepiting Cenderung Eksploitatif
KKP: Penangkapan Kepiting Cenderung Eksploitatif
Ilustrasi. Penyelundupan kepiting. ANTARA FOTO/Ampelsa

JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan, penangkapan kepiting selama ini lebih banyak dari hasil penangkapan dari alam yang dilakukan secara tidak terukur dan cenderung eksploitatif. Fakta di lapangan menunjukkan, populasi kepiting baik jumlah maupun ukuran menurun sejak tahun 1990. Hal ini dapat dilihat di eksportir dari Jakarta, Bali, dan Surabaya yang sangat sulit mendapatkan ukuran di atas 1 kg.

"Akibatnya terjadi kelebihan tangkapan dan depleting stok sumber daya kepiting di alam," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (16/11).

Berdasarkan hasil kajian terkait estimasi potensi, lanjutnya, terlihat jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan sumber daya kepiting dan rajungan di 10 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPN RI). Data tersebut menunjukkan, status pemanfaatan kepiting rajungan berada pada kategori tereksploitasi penuh hingga eksploitasi berlebih.

"Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016, jadi anggapan bahwa pemerintah sengaja mematikan usaha kerapu masyarakat itu tidak benar sehingga ini harus diluruskan," tegasnya.

Ia mengingatkan, regulasi tersebut tidak melarang ekspor kepiting dan rajungan, namun membatasi ukuran ekspor, kondisi bertelur/tidak bertelur dan musim penangkapan. Berdasarkan data BPS (2018) tercatat rata-rata volume ekspor kepiting rajungan periode 2012–2017 tumbuh 0,67% per tahun, sedangkan nilai ekspor tumbuh 6,06% per tahun.

"Jadi tidak benar kalau ada yang bilang ekspor kepiting anjlok 81% dan negara kehilangan devisa sebesar US$0,0552 miliar per tahun," ujar Slamet.

Slamet juga menjelaskan, pengaturan pemanfaatan sumber daya kepiting diperlukan karena hingga saat ini keberhasilan pembenihan kepiting dan rajungan menunjukkan tingkat kelulushidupan/survival rate (SR) masih rendah. Masing-masing untuk kepiting 10–20% dan rajungan 25–30%. Sedangkan di tingkat pembesaran SR untuk kepiting dan rajungan sebesar 30–35%.

"Dengan demikian, Permen KP tersebut diperlukan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya di alam melalui pemanfaatan sumber daya kepiting secara lebih terukur, bertanggungj awab dan sejalan dengan prinsip perikanan berkelanjutan," paparnya.

Sebelumnya, Ditpolair Polda Kalbar menggagalkan upaya penyelundupan sebanyak 2.609 ekor kepiting yang tengah bertelur ke Sarawak, Malaysia.

"Upaya penggagalan penyelundupan kepiting bertelur tersebut di jalur `tikus` atau jalan ilegal di Kabupaten Bengkayang," kata Kapolda Kalbar, Irjen (Pol) Didi Haryono di Pontianak, Rabu (14/11)

Dalam kasus tersebut, diamankan tiga tersangka, yakni berinisial Li (pemilik kepiting), Ni (pekerja), Hen (pekerja) yang kini sedang menjalani pemeriksaan di Markas Polair Polda Kalbar. Berdasarkan penghitungan oleh Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Ikan Pontianak, dari satu ekor kepiting betina bertelur dapat menghasilkan jutaan telur kepiting sehingga dengan 2.609 ekor atau senilai Rp182 juta kalau dijual di Malaysia.

“Yang berhasil diselamatkan berpotensi menghasilkan 3,9 miliar calon kepiting baru," ungkapnya.

Terungkapnya upaya penyelundupan sebanyak 16 keranjang yang berisi kepiting telur tersebut, Selasa (13/11) sekitar pukul 00.30 WIB yang dimuat di mobil bak terbuka KB 1937 WK oleh ketiga tersangka, dengan TKP Jalan Raya Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang oleh Tim Unit Tindak II Subdit Gakkum Polair Polda Kalbar.

Dalam kesempatan itu, Kapolda Kalbar mengimbau, kepada masyarakat agar cepat melaporkan kalau melihat ada aktivitas mencurigakan ataupun ilegal, agar bisa secepatnya diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku.

Ia menambahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI sejak 27 Desember 2016 memberlakukan pelarangan pengiriman atau penangkapan atau pengeluaran kepiting bertelur berdasarkan Permen Kelautan dan Perikanan No. 56/PERMEN/KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari wilayah Negara Republik Indonesia.

Menurut dia, dikeluarkannya larangan tersebut erat kaitannya dengan menjaga habitat kepiting bakau betina atau petelur yang apabila tidak dilakukan pembatasan atau pengendalian dalam penangkapan atau pengiriman maka dapat dipastikan habitat kepiting bakau di wilayah perairan Indonesia akan terjadi kepunahan.

Menurut data dan penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan satu ekor kepiting bakau jenis betina bertelur memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi karena harga di pasaran bisa 100 % lebih tinggi dari harga kepiting biasa, katanya.

Sehingga, menurut dia, Polri selaku aparatur negara penegak hukum memiliki kewajiban dan kewenangan berdasarkan UU untuk turut serta dalam upaya pengendalian dan pengawasan penangkapan atau pengiriman kepiting betina tersebut, agar tidak punah. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar