c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

EKONOMI

03 Juni 2025

20:29 WIB

OJK Ungkap Dua Tantangan Besar Hadapi Wabah Penipuan Keuangan Digital

OJK mengungkap dua tantangan besar memerangi maraknya penipuan digital yang kini menyasar masyarakat luas, terutama generasi muda. Yakni, pola pikir masyarakat dan rendahnya pelaporan oleh korban.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

Editor: Khairul Kahfi

<p>OJK Ungkap Dua Tantangan Besar Hadapi Wabah Penipuan Keuangan Digital</p>
<p>OJK Ungkap Dua Tantangan Besar Hadapi Wabah Penipuan Keuangan Digital</p>

Ilustrasi - Seseorang tampak depresi setelah tertipu secara atau scamming daring. Shutterstock/fizkes

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap dua tantangan besar yang dihadapi dalam memerangi maraknya penipuan digital yang kini menyasar masyarakat luas, terutama generasi muda. Parahnya, penipuan digital ini langsung menyasar sektor keuangan masyarakat yang belum waspada. 

Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen OJK Rizal Ramadhani menyebut, kedua tantangan tersebut terkait dengan pola pikir masyarakat dan rendahnya pelaporan oleh korban.

“Tantangannya (memberantas penipuan digital) agak rumit. Generasi digital sekarang cenderung ingin yang serba instan dan untung besar. Ini melawan kodrat,” ujar Rizal dalam diskusi CIPS Digiweek, Jakarta, Selasa (3/6).

Baca Juga: Waspada Scam Idul Adha, OJK Imbau Masyarakat Cepat Lapor

Menurutnya, banyak anak muda kini terjebak dalam mentalitas frenzy care, yaitu dorongan untuk cepat untung tanpa memahami risiko. Padahal dalam dunia keuangan, prinsip dasar risiko tinggi, keuntungan tinggi atau high risk, high return harus selalu menjadi pertimbangan utama.

OJK menilai, fenomena ini muncul karena lemahnya budaya membaca dan berpikir kritis masyarakat digital saat ini. 

“Ketika dihadapkan pada internet dan gadget, semuanya terlihat mudah. Rayuan-rayuan manis dari para pelaku scam tidak dikritisi. Ini jadi tantangan besar kita,” jelas Rizal.

Untuk itu, dia menekankan, pentingnya pendekatan literasi dan edukasi untuk mengubah pola pikir masyarakat, bukan hanya meningkatkan pemahaman teknis.

“Kalau mau ubah perilaku (keuangan masyarakat), mindset-nya dulu yang harus diubah,” katanya.

Baca Juga: Waspada! OJK Sebut Ini Modus Penipuan Jelang Lebaran

Tantangan kedua yang dihadapi OJK adalah rendahnya tingkat pelaporan dari korban penipuan. Banyak masyarakat yang menganggap melapor ke penegak hukum tidak membawa manfaat, apalagi jika uangnya sudah terlanjur hilang.

“Mereka (korban penipuan) berpikir, ‘uang sudah hilang, lapor buat apa? Apakah uangnya akan kembali?’ Belum lagi anggapan bahwa proses pelaporan itu rumit. Padahal kenyataannya tidak seperti itu,” ungkap Rizal.

Dia menambahkan, sikap enggan melapor justru menyulitkan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku. Pada gilirannya, keeengganan melapor juga membuat pelaku penipuan semakin aman dan nyaman melaksanakan aksi culasnya.

Jika sudah begitu, penelusuran kegiatan penipuan keuangan menjadi lebih sulit terlacak ke depannya.

“Kalau tidak ada laporan dan kesaksian, penyidik kesulitan untuk menindaklanjuti. Akhirnya, pelaku tidak jera dan kejahatan terus berulang,” tegasnya.

BPS dan OJK mencatat, indeks literasi keuangan 2025 naik menjadi 66,46%, sementara indeks inklusi keuangan juga naik ke level 80,51%. Capaian ini masuk dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025.

Sebagai informasi, sejak peluncuran Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) pada November 2024 hingga 23 Mei 2025, total kerugian penipuan sektor keuangan yang dilaporkan sudah mencapai Rp2,6 triliun. Adapun dana korban yang telah berhasil diamankan mencapai Rp163 miliar atau sekitar 22% dari total kasus yang ditangani.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar