16 Juni 2025
13:24 WIB
OJK: Penurunan Suku Bunga BI Bisa Dorong Sektor Asuransi Properti
Penurunan suku bunga BI dapat meningkatkan aktivitas pembangunan dan pembelian properti, yang pada gilirannya mendorong permintaan akan perlindungan asuransi properti.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 5,50% pada Mei 2025 bisa mendorong pertumbuhan sektor asuransi properti nasional.
Pasalnya, dia menjelaskan, penurunan suku bunga acuan dapat meningkatkan aktivitas pembangunan dan pembelian properti, yang pada gilirannya mendorong permintaan akan perlindungan asuransi properti.
"Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 5,50% pada Mei 2025 dipandang sebagai peluang untuk mendorong pertumbuhan lebih lanjut di sektor asuransi properti," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono dalam pernyataan pers di Jakarta, Senin (16/6).
Baca Juga: OJK: Dorong Program 3 Juta Rumah, Perusahaan Properti Bisa IPO
Berdasarkan data OJK per April 2025, asuransi umum dan reasuransi mencatatkan jumlah premi pada lini usaha harta benda (properti) sebesar Rp18,2 triliun, atau naik 9,08% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Adapun, asuransi harta benda masih mendominasi premi asuransi umum dan reasuransi dengan porsi sebesar 32,59% dari total premi.
Asal tahu, BI pada Rabu (18/6) siang, akan kembali mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 dan 18 Mei 2025 yang memutuskan untuk mempertahankan atau menurunkan BI-Rate.
Tantangan dan Peluang Tarif Dagang AS
Secara terpisah, Country Head Knight Frank Indonesia Willson Kalip mengatakan, terdapat sejumlah tantangan dan peluang yang diperkirakan akan sektor properti hadapi dari penetapan kebijakan tarif dagang Amerika Serikat (AS).
Tantangan pertama adalah pasar yang melemah. Kebijakan tarif dagang AS diperkirakan akan melemahkan transaksi pasar pada kurun waktu tertentu.
"(Pelemahan pasar) sebagai bentuk adaptasi konsumen untuk menahan/membatasi transaksi di tengah ketidakpastian global. Selain itu, pelemahan pasar juga diprediksi akan terjadi karena pelemahan yang terjadi di sektor manufaktur dan perdagangan," kata Willson, Rabu (30/4).
Kedua, peningkatan harga. Potensi melemahnya rupiah yang dipicu kenaikan tarif dagang AS, dapat menyebabkan biaya yang lebih tinggi untuk bahan bangunan impor, yang berpotensi meningkatkan harga properti, terutama di segmen kelas menengah ke atas.
Ketiga adalah persaingan regional. Indonesia menghadapi persaingan ketat dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand dalam upaya menarik relokasi industri dari AS dan China.
Di sisi lain, terdapat beberapa peluang yang menyertainya. Pertama, pertumbuhan industri dan pergudangan. Potensi relokasi industri dari AS dan China menghadirkan peluang, terutama di sektor properti industri dan pergudangan.
Daerah seperti Greater Jakarta seperti Karawang, Bekasi, Cibitung, Marunda, lalu Subang, Batang, Gresik dan Sidoarjo mengalami peningkatan minat sejak tahun lalu. Bahkan, wilayah Jakarta Raya mencatat serapan lahan industri 313 ha, atau tumbuh 22% (yoy) pada akhir 2024.
Kedua, destinasi investasi yang menarik. Pasar domestik Indonesia yang besar, reformasi regulasi, dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan menjadikan posisi Indonesia menjadi tujuan investasi yang menarik.
Ketiga, diversifikasi pasar ekspor. Penetapan kebijakan tarif, menjadikan Indonesia perlu beradaptasi dengan membuka peluang terhadap diversifikasi pasar ekspor lebih luas lagi, misalnya upaya peningkatan ekspor ke kawasan Uni Eropa, Asia, Timur Tengah, Australia dan kawasan lainnya.
Baca Juga: Premi Asuransi Umum Tumbuh 8,7% Yoy Di 2024, AAUI: Sesuai Ekspektasi
Kendati demikian, Knight Frank mendukung pemerintah untuk mewaspadai terhadap tantangan yang dihadapi, sambil mempersiapkan instrumen untuk mewujudkan peluang yang terbuka.
Pasalnya, iklim investasi dan perizinan usaha perlu menjadi perhatian, sehingga tidak menjadi hambatan dalam upaya percepatan relokasi industri.
Willson mengatakan, relokasi bisnis ke Indonesia diperkirakan akan meningkat bertahap pada 2025-2026, didukung oleh langkah pemerintah dalam meningkatkan daya saing investasi dan kesiapan kawasan industri baru.
Sementara itu, sektor properti Indonesia secara umum diperkirakan relatif masih aman dari dampak langsung tarif Trump, meskipun efek domino kebijakan tersebut diperkirakan akan mempengaruhi pasar properti dalam kurun waktu tertentu sampai pasar menemukan titik keseimbangan baru.
"Di tengah ketidakstabilan pasar saat ini, pemantauan situasi secara seksama dan kesiapan mitigasi menghadapi gejolak beberapa bulan ke depan menjadi krusial," tegas dia.