03 Juli 2025
20:55 WIB
Negosiasi EUDR Krusial, Indonesia Tunggu Respons Resmi Uni Eropa
Pemerintah Indonesia menantikan respons lanjutan Uni Eropa terkait negosiasi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Indonesia sudah meminta klarifikasi mengenai berbagai hal terkait EUDR.
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Petani memetik kopi arabika saat panen massal dalam rangkaian festival panen kopi gayo di Rembele, Bener Meriah, Aceh, Rabu (21/11/2018). Antara Foto/Irwansyah Putra
JAKARTA - Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kemenko Bidang Perekonomian Dida Gardera mengungkapkan, Indonesia menantikan respons lanjutan dari Uni Eropa terkait negosiasi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
“Ya, terakhir kita menyampaikan segera pertanyaan buat mereka secara tertulis. Janjinya mereka akan menjawab secara tertulis juga,” kata Dida saat ditemui di Jakarta, Kamis (3/7) melansir Antara.
Baca Juga: GAPKI: Ekspor Sawit Indonesia Ke Uni Eropa Terus Merosot Sejak 2018
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (EU) menggelar dialog bilateral untuk membahas EUDR pada 4 Juni 2025 di Brussels, Belgia. Dalam pertemuan ini, sambungnya, Indonesia meminta klarifikasi mengenai berbagai hal terkait EUDR.
Mulai dari, dasar hukum dan metodologi klasifikasi risiko, pengakuan terhadap sistem legalitas nasional, potensi ketidaksesuaian dengan aturan WTO, serta beban administratif terhadap petani kecil terkait kewajiban geolokasi dan pelacakan digital.
“Tentang country benchmarking, artinya kan kita mempertanyakan metodologinya. Kemudian juga ada beberapa hal, yang paling utama kemarin kita sampaikan itu terkait dengan smallholder,” ujar Dida.
Dia menilai, upaya ini penting karena kebijakan tersebut dapat berdampak langsung kepada petani-petani kecil atau smallholders. Sebab, lebih dari 90% produsen kopi dan cokelat Indonesia dikelola oleh para petani kecil.
Selain itu, Dida mengatakan, Uni Eropa juga perlu melihat metode budidaya kopi dan cokelat Indonesia yang menggunakan pendekatan agroforestri.
“Untuk kopi di Pulau Jawa ini yang dikelola oleh Perhutani, (sekitar) 23% pekebun kopi kita berada dalam kawasan hutan. Nah ini bukan merusak hutan, bukan,” kata Dida.
“Jadi memang, cara budi dayanya kan seperti itu, agroforestri. Nah, jadi kita enggak mungkin kalau (mengikuti) model EUDR, hutan (produksi) harus terpisah gitu, ya. Untuk kopi dan kakao itu tidak mungkin, kalau untuk sawit, mungkin,” imbuhnya.
Baca Juga: EUDR Ditunda, Indonesia Diminta Tetap Bersiap
Adapun EUDR sendiri mengharuskan perusahaan untuk memastikan produk yang mereka tempatkan di pasar Uni Eropa bebas dari deforestasi. Artinya, produk tersebut tidak diproduksi di lahan yang telah mengalami deforestasi atau berkontribusi terhadap degradasi hutan.
Demi Petani Kecil, GAPKI Harap EUDR Ditunda Lagi
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Eddy Martono berharap, kebijakan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dapat kembali dipertimbangkan dan ditunda agar tidak berdampak kepada petani-petani kecil (smallholders). Adapun penundaan ditujukan untuk persiapan industri.
“Saya terus terang berharap, kalau memungkinkan, ya, di-postponed (tunda) lagi, supaya kita sambil mempersiapkan diri. Karena yang paling tidak siap adalah smallholder. Sedangkan kita juga terkena dampaknya (sebagai) perusahaan,” kata Eddy, Kamis (3/7).
Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kota Bengkulu, Bengkulu, Kamis (10/10/2024). Antara Foto/Muhammad Izfaldi
Menurut Eddy, implementasi EUDR bisa menjadi masalah ketika Indonesia melakukan ekspor ke negara-negara Uni Eropa.
“Bagi Indonesia yang merupakan produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, implikasi EUDR sangat mendalam,” ujar dia.
EUDR mengharuskan produk perusahaan di pasar Uni Eropa bebas deforestasi atau berkontribusi terhadap degradasi hutan.
Baca Juga: Miris, Riset INDEF Tunjukkan Banyak Petani Sawit RI Tak Tahu EUDR
Dalam daftar negara dengan risiko deforestasi yang dirilis oleh Komisi Eropa, Mei 2025, Indonesia masuk ke dalam kategori risiko standar. Dalam daftar yang sama, Rusia, Belarus, Korea Utara, dan Myanmar merupakan empat negara yang masuk kategori risiko tinggi.
Sedangkan, 27 anggota Uni Eropa, Amerika Serikat, dan China masuk ke dalam daftar risiko rendah deforestasi yang akan dikecualikan dalam pengecekan cukai serta penelusuran asal barang.
“Kalau menurut saya, sekarang sebenarnya untuk sementara di awal ini dengan standard risk atau medium risk itu sudah menurut saya bagus, itu sudah bagus,” kata Eddy.
“Tapi kalau memang nanti ternyata diberlakukan khusus untuk negara-negara EU dan petani EU maupun Amerika dengan zero risk, kita harus react, komplain, dan kompak, karena itu adalah diskriminasi,” ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, Eddy menilaim adanya Sertifikasi Berkelanjutan Minyak Sawit (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) juga menjadi momentum untuk mempersiapkan dan memperbaiki tata kelola dalam negeri.
“Yang harus kita benahi sebenarnya, di internal kita sendiri, aturan-aturannya,” kata dia.