06 Januari 2025
17:17 WIB
Meski Lebih Baik Dari 2023, Penerimaan Pajak APBN 2024 Tak Capai Target
Realisasi penerimaan pajak lebih besar dibandingkan 2023, namun tak mencapai target yang ditetapkan dalam APBN 2024. Hal yang sama juga terjadi pada penerimaan bea dan cukai.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kemenkeu, Jakarta, Senin (23/9/2024). Antara Foto/Hafidz Mubarak A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan penerimaan pajak pada 2024 tumbuh 3,5% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski demikian, penerimaan negara meleset dari angka yang ditargetkan dalam APBN 2024.
Sepanjang 2024, penerimaan pajak mencapai Rp1.932,4 triliun, tumbuh 3,5% dibandingkan realisasi 2023 sebesar Rp1.867,9 triliun.
Realisasi penerimaan pajak juga lebih baik dibandingkan proyeksi yang dibuat pada pertengahan tahun (lapsem) sebesar Rp1.921,9 triliun.
Namun, Sri Mulyani mengakui berbagai tekanan menyebabkan penerimaan pajak meleset dari target yang ditetapkan dalam APBN 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun. Hingga akhir 2024, realisasi penerimaan pajak mencapai 97,2% dari target.
"Tidak mencapai target awal, tapi lebih baik dari laporan semester kita. Dan bahkan kalau dibandingkan penerimaan pajak tahun lalu, 2023, Rp1,867 triliun, penerimaan pajak meskipun harga komoditas dan tekanan bertubi-tubi masih tumbuh 3,5%. Ini adalah sesuatu yang kita syukuri dan kita akan terus jaga," ujar Menkeu dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (6/1).
Cerita yang sama dengan bea dan cukai. Total penerimaan bea dan cukai ditutup di angka Rp300,2 triliun, tumbuh 4,9% dari tahun 2023 sebesar Rp286,3 triliun.
Baca Juga: Menkeu: Kondisi APBN Tertekan Hebat Semester I/2024
Penerimaa bea dan cukai juga lebih baik dari yang diprediksikan di pertengahan tahun Rp296,5 triliun, meskipun di bawah target APBN awal yang Rp321,3 triliun.
“Jadi kita lihat ya, kita di semester I sudah mengoreksi berbagai penerimaan karena tekanan, namun kerja keras dari teman-teman (Ditjen) Pajak dan Bea dan Cukai mampu meningkatkan penerimaan di atas yang tadinya kita prediksi mengalami koreksi yang cukup dalam di semester I," tambah Sri Mulyani.
Selain itu, lanjutnya, PNBP juga tetap terjaga baik. Realisasi tercapai Rp579,5 triliun, jauh melampaui laporan semester Rp549,1 triliun dan lebih jauh lagi melampaui APBN awal Rp492 triliun.
"Jadi ini tiga pendapatan negara kita dalam situasi yang begitu rentan, begitu tidak pasti tekanan bertubi-tubi, masih terjaga. Sehingga, pendapatan negara Rp2.842,5 triliun, itu artinya kita masih tumbuh dibandingkan tahun 2023 yang Rp2.783,9 triliun," tutur dia.
Sri Mulyani menerangkan, pada tahun 2023, commodity boom (lonjakan harga komoditas) memberikan sumbangan luar biasa besar pada penerimaan negara. Hasilnya, penerimaan negara pada tahun 2023 mencapai Rp2.783,9 triliun, tumbuh 5,6% dibandingkan tahun 2022. Alhasil, defisit di tahun 2023 bisa ditekan di 1,61%.
Namun, sejak kuartal terakhir 2023 hingga 2024, harga komoditas mulai mengalami koreksi. Hal ini menurut, Sri Mulyani, adalah kondisi yang sangat berat bagi penerimaan negara.
"Namun, teman-teman di (Ditjen) Pajak, dan Bea dan Cukai, PNBP tetap bisa menjaga, sehingga pendapatan negara kita masih tumbuh dari tahun 2023 yang terus mengalami kenaikan sejak tahun 2022. Ini hal yang patut kita syukuri dan kita akan jaga terus dari sisi pendapatan negara," kata Menkeu.
Defisit
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjabarkan belanja APBN didesain sebesar Rp3.325,1 triliun dalam UU APBN 2024. Belanja pemerintah pusat dipatok Rp2.467,5 triliun, dengan rincian belanja Kementerian/Lembaga Rp1.090,8 triliun dan belanja non Kementerian/Lembaga Rp1.376,7 triliun. Sedangkan, transfer ke daerah sebesar Rp857,6 triliun.
"Jadi, APBN didesain dengan defisit sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29% dari PDB, di mana keseimbangan primernya juga negatif Rp25,5 triliun, dengan pembiayaan mencapai Rp522,8 triliun," terangnya.
Sri Mulyani menuturkan, pada semester I/2024, dalam perjalanan APBN 2024, Kemenkeu masih melaporkan penerimaan negara akan tetap di Rp2.802 triliun. Namun, penerimaan pajak dikoreksi ke bawah Rp1.921,9 triliun, di bawah target dari APBN awal yang Rp1.988 triliun.
Kemudian, bea dan cukai untuk semester I/2024, pemerintah estimasi dalam outlook (lapsem) hanya Rp296,5 triliun, di bawah target Rp321 triliun yang ditetapkan APBN. Sedangkan, PNBP mengalami kenaikan ke Rp549,1 triliun, di atas APBN sebesar Rp492 triliun.
Sementara itu, di sisi belanja justru terjadi kenaikan Rp3.412,2 triliun. Terutama belanja kementerian/lembaga naik dari Rp1.090,8 triliun di APBN awal menjadi Rp1.198 triliun atau hampir Rp108 triliun.
Baca Juga: Menkeu: Tembus Rp507,8 T, APBN 2024 Ditutup Defisit 2,29% PDB
Belanja non-K/L diproyeksi sebesar Rp1.359 triliun, sedikit turun dari anggaran semula Rp1.376 triliun. Sedangkan, transfer ke daerah masih relatif sama di Rp854 triliun.
Dengan demikian, lanjut Sri Mulyani, meskipun pendapatan negara targetnya sama, tapi komposisinya berubah karena belanja negara melonjak akibat berbagai tambahan belanja untuk melindungi masyarakat. Sehingga, APBN 2024 diperkirakan akan mencapai defisit Rp609,7 triliun, atau 2,7% dari PDB.
Hal itu didorong dengan pembiayaan yang akan membengkak ke Rp609,7 triliun dari Rp522 triliun, dan bahkan keseimbangan primer akan mengalami tekanan sangat berat di Rp110 triliun.
"Ini tentu adalah situasi yang berat, karena kita selalu berharap keseimbangan primer bisa kita netralkan," imbuhnya.
Hingga akhir tahun, Sri Mulyani menerangkan, realisasi sementara belanja negara mencapai Rp3.350 triliun, lebih tinggi angka yang dipatok di APBN Rp3.325 triliun, namun lebih rendah dari proyeksi lapsem.
"Belanja kementerian lembaga melonjak. Tadinya di APBN hanya Rp1.090,8 triliun, di laporan semester kita prediksi naik ke Rp1.198 triliun, di realisasi lebih tinggi lagi Rp1.315 triliun. Jadi, kalau kita lihat naiknya dari APBN awal, naiknya itu mencapai Rp200 triliun lebih di realisasi belanja kementerian/lembaga. Memang sebagian adalah perpindahan dari belanja non-K/L pindah, namun juga karena beberapa belanja K/L memang mengalami kenaikan," tuturnya.
Di sisi lain, belanja non-K/L bisa dijaga di Rp1.171 triliun, lebih rendah dari APBN awal dan juga lebih rendah dari outlook yang diprediksi di Rp1.359,4 triliun.
Kemudian, transfer ke daerah mencapai Rp863,5 triliun, lebih tinggi dari APBN awal maupun lapsem.
"Jadi artinya, kita tetap transfer ke daerah itu masih tetap meningkat, bahkan lebih tinggi dari APBN yang awal. Sehingga, APBN 2024 itu kita bisa tutup dengan jauh lebih baik dari yang kita prediksikan di pertengahan tahun," tegas Bendahara Negara.
Hingga akhir tahun, realisasi defisit APBN 2024 di Rp507,8 triliun. Sri Mulyani menilai angka ini sangat impresif, karena lebih rendah dari lapsem yang diprediksi memburuk, yakni Rp609,7 triliun. Bahkan, selisihnya mencapai lebih dari Rp100 triliun.
Selain lebih rendah dari outlook, defisit juga lebih rendah dari target APBN sebesar Rp522,8 triliun. Kemudian, defisit keseimbangan primer hanya Rp19,4 triliun. Sehingga realisasi defisit sebesar 2,29% terhadap PDB.
"Dan kita lihat untuk realisasi pembiayaannya di Rp553,8 triliun. Kita mengalami silpa Rp45,4 triliun, ini juga karena ada beberapa dari sisi pembiayaan yang terus kita lakukan," pungkas Menkeu Sri Mulyani.