c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

18 Juli 2023

20:11 WIB

Menkeu RI Serukan Stakeholders Global Atur Instrumen Kripto

Menkeu RI menyadari aset kripto merupakan salah satu instrumen yang terus berkembang dengan banyak peluang dan tantangan.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Menkeu RI Serukan <i>Stakeholders</i> Global Atur Instrumen Kripto
Menkeu RI Serukan <i>Stakeholders</i> Global Atur Instrumen Kripto
Ilustrasi koin kripto syariah, Caizcoin. Sumber: caizcoin.medium.com

GANDHINAGAR - Menkeu RI Sri Mulyani menyerukan stakeholders dunia untuk segera mengatur instrumen kripto yang makin masif hari ini. Penilaiannya, aset kripto merupakan salah satu instrumen yang terus berkembang dengan banyak peluang dan tantangan. 

Hal ini ditekankannya pada sesi Policy Dialogues: A Roundtable Discussion on Crypto Assets dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) G20 ke-3 yang dihelat di India.

Menkeu Sri menggarisbawahi, saat ini ketentuan atau regulasi yang mengatur aset kripto bervariasi antar yuridiksi setiap negara. “Karenanya, (instrumen kripto) perlu diatur dalam suatu standar kebijakan global,” ujarnya dikutip dalam akun resmi @smindrawati yang dipantau Validnews, Jakarta, Selasa (18/7).

Menkeu Sri menyebut, aset kripto memerlukan regulasi dan pengawasan standar global yang menganut prinsip ‘same activity, same risk, same regulation’. Pernyataan ini pun sempat disuarakannya dalam pertemuan ketiga FMCBG Presidensi G20 di hari pertama. 

Baca Juga: Sejumlah Altcoin Menguat Ketika Bitcoin Sideways

Kepada Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20, dirinya juga membagi pengalaman Indonesia dalam reformasi sektor keuangannya. Pengaturan dengan prinsip yang sama terwujud melalui UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

Selain itu, standar kebijakan aset kripto harus bisa meningkatkan perlindungan konsumen tanpa menghentikan inovasi di sisi teknologinya. “(Hal ini) selaras dengan agenda Bali Fintech,” katanya mengingatkan.

Menkeu Sri meyakini, keberadaan standar global akan mengatasi berbagai tantangan fundamental berkaitan dengan aset digital. Mencakup perlindungan konsumen, pencucian uang, pendanaan teroris, hingga manipulasi pasar. 

Lebih jauh, standar yang sama antar negara juga akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam industri kripto. “Sehingga menumbuhkan kepercayaan penggunanya,” ujarnya. 

Tiga Tantangan
Atlantic Council mengungkapkan, banyak pembuat kebijakan dan regulator di seluruh dunia tergesa-gesa menulis, mengadopsi, dan mengubah peraturan aset kripto. Jumlahnya, hampir tiga perempat negara yang disurvei dalam Pelacak Regulasi Cryptocurrency.

Setidaknya, ada tiga poin mendasar yang menjadi tantangan dalam regulasi kripto.

Pertama, aturan perlindungan konsumen tertinggal dari bentuk regulasi lainnya, padahal konsumen yang berpartisipasi dalam pasar kripto menghadapi risiko yang cukup besar. Terlihat dari pencurian kripto yang semakin umum, begitu juga volatilitas pasar kripto yang sering dipicu oleh spekulasi. 

Terlepas dari risiko yang dihadapi konsumen, Atlantic Council menemukan bahwa hanya sepertiga dari negara yang diteliti memiliki aturan untuk melindungi konsumen. Negara lain mungkin memiliki perlindungan hukum yang mencakup peserta pasar kripto, meskipun undang-undang tersebut sering kali belum teruji atau ambigu. 

Kedua, peraturan untuk mencegah keruntuhan ‘FTX lainnya’ masih jauh. Pertukaran terpusat seperti FTX dan Binance memainkan peran penting dalam ekosistem kripto. 

Dengan mengizinkan individu berpartisipasi dalam transaksi ‘off-chain’ yang melibatkan aset kripto, mereka secara dramatis mengurangi hambatan untuk masuk yang ditimbulkan oleh transaksi ‘on-chain’ yang lebih kompleks secara teknis. Keuntungan substansial yang dibuat dalam kapitalisasi pasar dan adopsi tak mungkin terjadi pada pertukaran terpusat.

Baca Juga: Mengenal ETF Bitcoin Sebagai Pilihan Investasi di Aset Kripto

Tetapi pertukaran terpusat yang melakukan banyak fungsi, menimbulkan risiko yang harus ditangani oleh regulator. Banyak bursa tidak cukup transparan tentang operasi, keuangan, atau tata kelolanya sehingga membuat investor tidak mengetahui hal-hal penting. 

Beberapa perusahaan mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini dengan mengungkapkan ‘bukti cadangan’, akuntansi yang transparan atas aset dan kewajiban perusahaan. Meskipun lebih dari separuh negara yang dilacak memiliki aturan lisensi atau pendaftaran, namun ini biasanya tak menyertakan persyaratan pengungkapan. 

Ketiga, tingkat adopsi kripto di negara berpenghasilan rendah dan menengah tak kalah jauh dengan negara dengan ekonomi maju, meski hal berkebalikan terjadi pada sisi pengembangan peraturan. Pelacak Regulasi Cryptocurrency mempertimbangkan empat kategori regulasi yakni perpajakan, anti pencucian uang, perlindungan konsumen, dan lisensi. 

Dari ekonomi maju, sekitar 64%-nya memiliki peraturan di setiap kategori di atas. Lalu, hanya 11% dari negara berpenghasilan menengah memiliki aturan di keempat kategori, dan tidak ada negara berpenghasilan rendah yang melakukannya. Temuan ini mengidentifikasi tren yang jelas, bahwa negara berpenghasilan rendah dan menengah mengadopsi peraturan kripto lebih lambat. 

Pengembangan peraturan yang terbatas, bagaimanapun tidak memperlambat adopsi. Faktanya, Atlantic Council tidak menemukan hubungan antara regulasi kripto dan tingkat adopsi. Enam dari sepuluh negara dengan tingkat adopsi tertinggi telah memberlakukan larangan sebagian atau umum terhadap aset kripto.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar