26 September 2023
10:34 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
SHARM EL-SHEIKH - Menkeu Sri Mulyani menyampaikan, inovasi pembiayaan untuk memitigasi dampak perubahan iklim di dunia masih menjadi isu krusial. Khususnya, dalam menjamin akses pendanaan yang terjangkau. Hal ini mengemuka dalam agenda Governors' Business Roundtable pada Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) Annual Meeting di Mesir.
AIIB merupakan salah satu Multilateral Development Bank (MDB) yang menjadi mitra pembangunan banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam delapan tahun perjalanan, AIIB telah memiliki 106 anggota dan tumbuh progresif di tengah krisis pandemi lalu, serta mampu melewati turbulensi perekonomian global saat ini.
“Dalam diskusi kali ini, isu perubahan iklim masih menjadi topik utama. Inovasi pembiayaan pun menjadi krusial dalam menjamin akses pendanaan yang terjangkau,” sebutnya dalam Seminar Raising the Ambition to Meet the Climate Challenge: Mobilization of Resources for Climate Finance di akun @/smindrawati yang dipantau Validnews, Jakarta, Selasa (26/9).
Menurutnya, AIIB punya peranan sangat penting sebagai katalisator dalam mendesain berbagai instrumen pembiayaan. Selain itu, dukungan dalam persiapan proyek juga sangat diperlukan untuk menarik partisipasi sektor swasta.
Baca Juga: Atasi Perubahan Iklim Dengan Sustainable Finance
Menkeu juga mengakui bahwa proses transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan memang tidak sederhana. Indonesia pun terus berupaya menggaungkan aspek adil dan terjangkau (just and affordable) dalam proses penerapan transisi energi berkelanjutan dan hijau ke depan.
“(Karena itu), kerja sama dari berbagai pihak termasuk peran multilateral development bank bisa menjadi oase (pendanaan perubahan iklim) di tengah tingginya tingkat suku bunga,” jelasnya.
Dalam seminar AIIB mengenai climate finance ini pun, Menkeu memaparkan sejumlah langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menarik keterlibatan sektor swasta dalam investasi transisi energi. Skema ini pun menjadi salah satu yang paling penting untuk dilakukan.
Indonesia telah sering memelopori inisiatif untuk penanganan perubahan iklim. Misal, ETM Country Platform yang terus berprogres, juga membentuk Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Masih banyak inisiatif lainnya yang Indonesia lakukan untuk membangun awareness terhadap climate action… Blended finance for the climate finance is very, very important,” terangnya.
Dirinya berharap, penyelenggaraan agenda ini akan semakin menambah wawasan mengenai bagaimana negara-negara di dunia bisa bersama berkolaborasi secara efektif untuk mengatasi isu pendanaan iklim atau climate financing.
Menkeu Sri meyakini, peluncuran AIIB Climate Action Plan bisa mewujudkan dunia yang lebih baik, berkelanjutan, rendah emisi karbon, dan inklusif. Lebih dari sekadar komitmen, rencana aksi ini merupakan langkah nyata AIIB sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim dunia.
“Mari membangun masa depan dengan peduli terhadap lingkungan, keadilan sosial, dan kesejahteraan ekonomi untuk semua,” ucapnya.

Hitungan Biaya Mitigasi Perubahan Iklim
Sebelumnya di agenda A New Global Financing Pact for Climate Change action di Paris, Menkeu Sri menyampaikan biaya bagi seluruh negara-negara berkembang dunia untuk menghindari terjadinya bencana perubahan iklim mencapai US$500 miliar - 1 triliun sepanjang 2019-2025.
Angka ini mengutip perhitungan Nick Stern-Amar Battacharya. Stern adalah Profesor Ekonomi dan Pemerintahan IG Patel, Ketua Institut Penelitian Perubahan Iklim dan Lingkungan Grantham dan Kepala Observatorium India di London School of Economics.
Sementara itu, Amar Bhattacharya adalah Profesor Tamu di Grantham Research Institute di LSE. Amar bekerja sama dengan Stern dan timnya di bidang keuangan internasional, aksi iklim dan pertumbuhan berkelanjutan, serta kebijakan ekonomi dan iklim di India.
Nilai biaya investasi ini ditaksir terus meningkat menjadi US$2,4 triliun hingga 2030. Bahkan, pasca pandemi, nilai investasi yang diperlukan diperkirakan makin besar yaitu US$5,3 triliun.
“Untuk perspektif perbandingan, GDP Indonesia saat ini sekitar US$1,24 triliun,” ucap Menkeu Sri, Jumat (23/6).
Baca Juga: Akibat Perubahan Iklim, Indonesia Berpotensi Merugi Rp1.380 T Di 2030
Pertemuan ini membahas sumber dana untuk membiayai Investasi di negara-negara berkembang dalam rangka menghindarkan dunia dari bencana perubahan Iklim. Prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs) harus tidak menciptakan trade off atau pilihan antara usaha mengatasi kemiskinan dan upaya menghindari perubahan iklim.
Pasalnya, setiap negara memiliki kedaulatan dan langkah untuk melakukan program perubahan iklim. Diperlukan upaya lebih besar dan reformasi dari lembaga multilateral dalam mendukung negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan.
“Peran sektor swasta sangat penting dan diperlukan, namun perlu upaya untuk menangani isu risiko dan instrumen katalis untuk mencapai hal tersebut,” tegasnya.
Mekanisme monitoring dan akuntabilitas juga patut dilakukan, agar komitmen negara maju dan dunia dalam pembiayaan dan pelaksanaan program perubahan iklim bisa terlaksana. Perubahan iklim merupakan ancaman bagi seluruh kemanusiaan dan dunia.
Karena itu, kerja sama global merupakan keharusan, namun untuk mewujudkannya Menkeu Sri akui tidak mudah dalam situasi dunia yang makin terfragmentasi.
“Indonesia akan terus berpartisipasi aktif dan konstruktif dalam ikut menjaga ketertiban dan keselamatan dunia berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan dan keadilan sosial. Itu perintah konstitusi kita,” tegasnya.