13 September 2023
21:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, pemerintah mengedepankan aspek adil dan terjangkau (just and affordable) dalam penerapan transisi energi berkelanjutan dan hijau ke depan. Upaya ini dilakukan agar target transisi energi bisa tercapai, tanpa berpotensi meninggalkan beban baru di belakangnya.
“Pemerintah punya satu perspektif dalam menuju energi berkelanjutan, kita harusnya mendorong suatu transisi menuju energi yang berkelanjutan atau hijau dengan prinsip just and affordable,” terangnya dalam agenda The Cooler Earth Sustainability Summit 2023, Jakarta, Rabu (13/9).
Dirinya menyampaikan, adil tersebut terletak pada upaya target transisi energi hijau yang mesti menyesuaikan setiap karakter negara atau wilayah dalam penerapannya. Seperti diketahui, Indonesia hendak mentransisi energinya menjadi lebih hijau selayaknya negara maju.
Kendati demikian, saat ini tingkat emisi per kapita antara Indonesia dengan negara maju sudah terpaut begitu tinggi. Suahasil pun menyampaikan, semestinya negara maju tersebut ikut berkontribusi pada upaya transmisi energi di dalam negeri.
Baca Juga: Menteri ESDM Dorong ASEAN Miliki Skema Pendanaan Transisi Energi
Entah dalam bentuk kompensasi aliran dana kepada Indonesia maupun kepada negara berkembang yang tengah mengupayakan target pengurangan emisi juga. Pasalnya, efek positif dari pengurangan emisi karbon tersebut juga bakal dinikmati oleh dunia secara umum.
“Jadi kalau di UNFCCC dimunculkan (pendanaan transisi energi) US$100 miliar/tahun, kita pengin lihat sejauh mana membantu kita. Sebagian, (pendanaan) nanti tentu intermediasinya bisa lewat perbankan atau multilateral, tetapi sekali lagi bisnis besarnya (harus) adil,” katanya.
OECD mencatat, COP15 UNFCCC di Kopenhagen pada 2009 menyatakan, negara-negara maju berkomitmen terhadap tujuan kolektif untuk memobilisasi US$100 miliar/tahun pada 2020 untuk aksi iklim di negara-negara berkembang. Dalam konteks penerapan aksi mitigasi yang bermakna dan transparansi mengenai isu-isu iklim.
Tujuan tersebut diresmikan pada COP16 di Cancun, dan pada COP21 di Paris, tujuan tersebut ditegaskan kembali dan diperpanjang hingga 2025.
Baca Juga: ESDM: Mineral Kritis Punya Peran Vital Pada Transisi Energi
Selanjutnya, Wamenkeu menegaskan, upaya transisi energi yang diterapkan juga mesti terjangkau ditilik dari aspek ekonomi. Dirinya mencontohkan, energi listrik nasional yang bersumber dari PLTU batu bara tidak bisa secara mendadak ditutup.
Jika demikian, transisi energi yang tengah diupayakan tidak akan terjangkau dalam sisi ekonomis. Mengacu Third Biennial Update Report (BUR) KLHK di 2021, kebutuhan porsi pendanaan sektor energi dan transportasi pada NDC 2030 merupakan yang terbesar mencapai Rp3.500 triliun atau US$245,61 miliar.
“Dari perspektif Indonesia, rakyat masih membutuhkan listrik yang terjangkau. Kalau listrik tidak terjangkau, pembangunan ekonomi akan terkendala. (Saat ini) listrik harus terjangkau,” ucapnya.
Ke depan, prinsip adil dan terjangkau terkait transisi energi juga akan terus dipromosikan Indonesia bisa diterapkan secara efektif di dunia. Hal itu pun, Suahasil nilai tak akan mudah, karena setiap negara punya perspektif yang berbeda-beda dalam konteks geopolitik ketika meladeni energi hijau.
“Karena itu, Indonesia akan mem-promote (prinsip ini). Untuk Indonesia, kemarin kita promote ke ASEAN taxonomy of green,” ucapnya.
Transisi PLTU Batu Bara Bertahap
Dirinya pun mengaku, bahwa PLTU batu bara mengeluarkan emisi karbon kepada dunia. Karena itu, Indonesia juga tengah bersiap untuk memensiunkan dini sebagian PLTU batu bara untuk mendukung target transisi energi hijau-berkelanjutan.
“Harusnya (PLTU batu bara) masih beroperasi 20 tahun lagi, kita kurangin (masa) beroperasinya tinggal 14 tahun atau 12 tahun,” ucapnya.
Pemerintah optimistis, periode Indonesia mengurangi operasi PLTU batu bara itu akan menciptakan saving dalam praktik ekonomi karbon dunia. Karena itu, dirinya menghormati seluruh komitmen ketenagalistrikan Indonesia di PLN.
Oleh karena itu, bisa menghormati komitmen bisnis, sembari mencari titik impas tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return/IRR).
“(Di sisi lain), financing harusnya enggak boleh berhenti. Sehingga perbankan bisa tetap melakukan financing tanpa ragu kepada PLTU batu bara karena sebagiannya akan kita early retire kan,” pungkasnya.