21 November 2022
21:00 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Empuk, manis dan legit. Ini yang banyak orang ingat dari rasa khas dodol Betawi. Tak heran, meski kini banyak camilan asal mancanegara menyambangi Ibu Kota Jakarta, dodol Betawi tetap punya tempat di hati warga. Hal ini pula yang membuat Samsudin (51), pemilik Dodok Nyak Mai masih yakin menggantungkan pundi-pundi dari bisnis dodol.
Berlokasi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, tak sulit bagi Dodol Nyak Mai untuk menjual dodol pada akhir pekan. Di lokasi ini memang banyak orang bertamasya. Penganan Betawi dan beragam elemen budayanya biasa ditemui di kawasan wisata ini.
Akan tetapi, belakangan, pembeli Dodol Nyak Mai tidak semata wisatawan di sana. Sebagian besar justru dari luar Jabodetabek.
Produksi Dodol Nyak Mai dilakukan dua kali sepekan. Tiap produksi menghasilkan 30 kg dodol. Produksi pertama dilakukan saban Selasa, lalu produksi kedua, dilakukan pada Kamis atau Jumat untuk dijual di akhir pekan.
Baca juga: Dodol Nyak Mai, Kuliner Asli Betawi
Samsudin mengaku, tak butuh waktu lama untuk menghabiskan hasil produksi itu. Biasanya, dodol langsung ludes terjual keesokan harinya.
"Itulah namanya rezeki. Sering kita produksi Selasa, lalu Rabu sudah habis. Tapi produksi Selasa, Jumat masih ada, itu juga pernah. Kalau kita produksi Kamis atau Jumat, itu kita jual di weekend," kata Samsudin saat disambangi Validnews di Jakarta, Jumat (18/11).
Dari situ, Samsudin pun menganggap berbisnis yang dilakukan paralel dengan melestarikan kebudayaan masih sangat menjanjikan. Dia optimistas upaya ini juga bisa meraup perhatian anak-anak muda saat ini.
Di sisi lain, dia meneguhkan hati, bahwa dalam menjalankan bisnis tersebut harus tak boleh setengah-setengah. Yang dilakukannya berkaitan dengan tradisi dan adat istiadat.
"Misalnya saja dodol, kita harus bikin dengan senang hati agar nanti rasa yang diciptakan bisa tertular dari senang yang kita rasakan. Jadi, kalau kita yakin apa yang kita jalanin ini benar dan sepenuh hati, pasti menjanjikan," katanya.
Baca juga: Kuliner Khas Garut Yang Wajib Dicicipi
Dibayar Sekepal Dodol
Samsudin menjelaskan, warga asli DKI Jakarta memang punya tradisi mengaduk dodol. Proses pembuatan dodol bahkan dijadikan orang Betawi sebagai momentum gotong royong dan menjaga tali silaturahmi.
Awalnya, pembuatan Dodol Betawi dilakukan dengan dana patungan kala mendekati Hari Raya Idulfitri. Keluarga besar Suku Betawi yang biasanya hidup bertetangga dan berdekatan pun saling berkumpul dan saling melengkapi bahan dasar pembuatan dodol.
Kerja bareng dilakukan, lantaran pembuatan dodol yang menguras tenaga. Untuk menghasilkan dodol yang licin dan legit, butuh kekuatan ekstra dalam mengaduk adonan dodol. Proses mengaduk tanpa henti ini bisa memakan waktu di kisaran 7-8 jam. Adonan yang lengket pun membuat adukan terasa berat. Ya, memang melelahkan.
Hal yang sama masih dilakukan Samsudin. Proses produksi Dodol Nyak Mai biasanya dimulai pukul 05.30, dimulai dari mencairkan dan menyaring gula yang akan digunakan, mengadon tepung ketan dan santan, hingga akhirnya diaduk dalam kuali besar.
"Produksi kita maksimal selesai jam 16.00. Jadi, dicicipi dulu sama enyak, kalau sudah matang ya kita angkat. Kalau enyak bilang belum matang, ya sudah molor lagi waktunya," ucapnya.
Baca juga: Nurhidayah Sulap Umbut Sawit Jadi Oleh-Oleh Populer Jambi
Mengingat prosesnya yang sangat menguras energi, empat orang pekerja Dodol Nyak Mai pun melakukan pengadukan secara bergantian, sesuai kekuatan masing-masing.
"Kekuatannya beda-beda, ada yang kuat mengaduk 10 menit, 15 menit, atau 20 menit juga ada. Kalau ini, intinya kebersamaan aja dan tidak ada batasan mengaduk sekian menit per orang," tutur dia.
Dalam sekali produksi, total dodol yang matang biasanya seberat 30 kg, lalu dikemas dalam berbagai ukuran.
Kisah Dodol Nyak Mai juga merupakan kisah keluarga. Awal mula, kakek dari Samsudin lah yang memulai membuat Dodol Betawi. Kira-kira, Dodol Nyak Mai mulai aktif beroperasi sejak 25 tahun silam dengan menerima pesanan untuk hajatan atau acara tertentu.
"Waktu itu, kita tidak bisa jual harian karena produksi tidak banyak. Jadi, itulah langkah kita melestarikan kebudayaan Betawi dengan membuat dodol ini," kata Samsudin.
Samsudin juga bercerita bahwa pada masa muda, dia turut membantu sang kakek membuat dodol. Bahkan, kala itu para pekerja tak dinilai dengan uang, melainkan dengan sekepal dodol Betawi untuk dibawa pulang ke rumah.
Kala itu, prinsip memperkuat gotong royong dan tali silaturahmi dahulu kala masih dipegang erat. Dalam hal ini, tetangga-tetangga sekitar yang masih ada garis saudara diikutsertakan ketika sang kakek mendapat pesanan dodol yang biasanya saat Hari Raya Idulfitri ataupun pesanan hajatan.
Ketika dodol sudah rampung dibuat, orang-orang yang bekerja pulang bukan dengan upah di saku, melainkan menjinjing kantung berisi sekepal Dodol Betawi.
"Istilahnya, kita nyambat tetangga untuk bikin dodol. Jadi, tradisinya memang mereka membawa pulang sekepal Dodol Betawi, mereka juga sudah paham. Tapi ketika sudah rutin berjualan harian, kita juga mengerti dan membayar mereka pakai uang," ceritanya.

Hingga kini, gotong royong masih menjadi nafas Dodol Nyak Mai. Pengembangan bisnis pun lebih diarahkan untuk membuka lebih banyak kesempatan kerja bagi tetangga.
Sayangnya, rencana untuk membuka cabang terbentur kehadiran pandemi. Daya beli yang menurun drastis membuat Samsudin menunda rencana membuka cabang. Dia menilai, masyarakat lebih memilih membeli kebutuhan lain ketimbang membeli dodol.
"Kita sebenernya ingin juga ada nambah cabang supaya bisa tambah tenaga kerja lagi, bantu tetangga juga istilahnya," ujar dia.
Varian Rasa
Hingga saat ini, Dodol Nyak Mai masih memproduksi dodol orisinal tanpa varian rasa apapun. Akan tetapi, untuk memperluas pasar, rasa durian dan ketan hitam dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dodol orisinal, juga dibuat.
"Kalau durian itu yang kita pakai betul-betul buah durian, jadi memang rasanya beda dan harganya juga tentu beda," terang Samsudin.
Sayangnya, produksi dodol rasa durian dan ketan hitam tak bisa bertahan lama karena peminatnya tak begitu banyak. Alhasil, Dodol Nyak Mai hanya memproduksi kedua rasa itu ketika ada pesanan khusus.
Soal varían rasa, dia punya cerita berbeda. Pada varian ketan hitam, tekstur dodol akan menjadi lebih cepat keras. Kondisi ini menyebabkan dodol selayaknya dibeli dari dua hari pascaproduksi. Apabila stok tak terbeli, dodol ketan hitam tersebut harus dilebur lagi.
Sementara untuk rasa durian, biasanya Dodol Nyak Mai menerima pesanan kala Hari Raya Idulfitri. Itupun, akan mulai produksi ketika pesanan sudah mencapai minimal 20 kg karena pembuatan dodol dilakukan dalam wadah yang besar.
"Jadi saat pesanannya baru 5 kg, kita tunggu dulu sampai 20 kg, baru kita bikin. Kalau hanya 5 kg, mungkin kita masih tolak karena wadahnya ini besar," papar Syamsudin.
Untuk dodol original sendiri, Samsudin mematok harga terendah sebesar Rp15 ribu pada kategori gulungan kecil, lalu Rp20 ribu, dan Rp35 ribu untuk gulungan yang lebih besar.
"Dari situ, naik lagi Rp100 ribu ukurannya untuk seserahan hajatan, lalu Rp200 ribu dan Rp300 ribu yang ukuran lebih besar lagi," imbuhnya.
Baca juga: Cokelat Dodol, Varian Baru Kit Kat
Kepuasan Pelanggan
Beberapa prinsip bisnis dijalankan Samsudin demi menjaga pelanggan. Salah satunya adalah menjaga kualitas dodol yang dihasilkan. Soal higienitas juga tak diabaikan. Karena itu, gula yang dicairkan wajib disaring agar tak ada kotoran yang masuk dalam dodol.
Namun, kepuasan pelanggan itulah yang menjadi pertimbangan Dodol Nyak Mai belum merambah ke pasar online. Dalam hal ini, Samsudin menyebutkan keraguan ada pada faktor pengiriman dodol. Pasalnya, cita rasa dan tekstur dodol ini akan mudah berubah ketika ditempatkan pada suhu yang tidak seharusnya.
Misalnya saja beberapa kali, dia mendapatkan pembeli yang akan membawa dodol ke luar daerah, mulai dari Medan, Pekanbaru, hingga Papua. Kala itu, dia langsung menyarankan agar dodol sebaiknya tetap dalam genggaman pembeli dan jangan sampai masuk bagasi ketika di perjalanan.
"Suhunya pasti berbeda kalau ikut penumpang pasti kan adem. Tapi, kalau ditaruh bagasi pasti panas ketika dua hari perjalanan, itu berpengaruh ke tekstur dan cita rasa," kata dia.
Di sisi lain, Samsudin meyakini bisnisnya akan berkembang pesat ketika berhasil menjamah pasar online.
"Tapi sekali lagi, kita ada keraguan misalnya kita harus punya stok atau bagaimana kita tidak paham.Lalu soal kekuatan, kita tidak bisa untuk kirim ke luar daerah karena kita tidak tahu pengirimannya gimana takutnya malah merusak ketahanan kue," jabar Samsudin.
Sementara untuk opsi lain, yakni pesan makan online dan sejenisnya, ia terhambat oleh fleksibilitas para pekerja. Seluruh pegawainya tak ada satupun yang bisa standby di toko untuk menerima pesanan melalui platform tersebut.