20 Maret 2024
13:52 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
JAKARTA - Masyarakat Indonesia diprediksi akan mulai menahan belanja hingga plesiran atau berwisata apabila pemerintah mengerek tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.
Hal itu disampaikan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bidang Makroekonomi dan Keuangan, Abdul Manap Pulungan. Secara garis besar dia mengatakan, perekonomian RI akan menjadi lesu imbas kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Untuk diingat, PPN merupakan pajak konsumsi. Itu sebabnya, tarif PPN yang lebih tinggi dapat menekan daya beli atau konsumsi masyarakat. Abdul menerangkan jika daya beli menurun, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut menurun.
"Ketika kebijakan PPN ini diambil, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, di mana orang akan menahan konsumsi karena memengaruhi disposable income-nya atau pendapatan yang akan dibelanjakan," ujarnya dalam Diskusi Publik PPN Naik Beban Rakyat Naik, Rabu (20/3).
Abdul menambahkan apabila perekonomian RI melambat atau menurun, maka penerimaan negara yang berasal dari PPN pun menurun. Di samping membebani rakyat, ternyata kenaikan PPN juga bisa menekan setoran PPN.
Namun di satu sisi, lanjut Abdul, komposisi penerimaan pajak bruto di Indonesia memang didominasi PPN. Itu sebabnya, jika tarif PPN naik maka penerimaan pajak keseluruhan bakal naik signifikan.
Baca Juga: Dirjen Pajak Masih Kaji Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%
Meski berdampak positif ke pundi-pundi negara, ia kembali mengingatkan dampak negatif kenaikan PPN yang dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Dia mewanti-wanti kenaikan tarif PPN menjadi 12% bakal menggerus daya beli yang berujung menggerus perekonomian domestik.
"Ketika diambil jalan kenaikan tarif PPN nanti dampaknya agak terasa ke perekonomian. Jangan sampai kenaikan PPN ini akan menekan pertumbuhan ekonomi, karena selama 2023 pertumbuhan ekonomi kita memang sudah turun dari 5,31% di 2022 menjadi 5,05% di 2023," ujar Abdul.
Dia memaparkan, pertumbuhan ekonomi dan PPN dalam negeri pun sudah menunjukkan tren menurun sepanjang 2022-2023. Dia juga membeberkan indikator penurunan konsumsi terlihat pada komponen konsumsi rumah tangga, transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 4,93 pada 2022 lalu turun menjadi 4,82 pada 2023. Transportasi dan komunikasi sebesar 9,38 pada 2022, turun menjadi 7,59 pada 2023. Restoran dan hotel dari 6,58 pada 2022 turun menjadi 6,38 pada 2023.
"Ini khawatirnya ketika PPN naik, orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi bukan kebutuhan pokok itu menurun," katanya.
Baca Juga: Pertimbangan Daya Beli, Legislator: PPN 12% Di 2025 Kontraproduktif
Padahal, Abdul menegaskan, konsumsi rumah tangga selain bahan makanan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ia pun menyebut lebih dari 50% perekonomian RI disusun oleh konsumsi rumah tangga.
Indef juga mencatat perbandingan tarif PPN alias Value Added Tax (VAT) Indonesia dengan negara lain. Di antaranya, Jepang dan Korea Selatan tarif PPN-nya sebesar 10%, Laos sebesar 7%, Filipina 12%, Singapura 9%, Thailand 7% dan Vietnam 8%.
"Dengan adanya perbedaan PPN yang terjadi bisa saja berkontribusi terhadap nanti semakin tingginya impor pembelian barang-barang dari luar negeri karena untuk mendapatkan harga yang lebih murah," imbuh Abdul.
Untuk diketahui, kenaikan PPN sudah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Tarif PPN naik dari 10% menjadi 11% pada April 2022, lalu ditetapkan akan naik dari 11% menjadi 12% paling lambat Januari 2025.