c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

22 Mei 2025

20:46 WIB

Kredit Tumpul, Ekonom Pertanyakan Dampak Pemangkasan BI-Rate

Ekonom menilai pemangkasan BI-Rate menjadi 5,5% tidak akan memberi dampak berarti terlebih bagi pertumbuhan ekonomi, jika kredit di Indonesia belum disalurkan secara ekspansif.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="auto" id="isPasted">Kredit Tumpul, Ekonom Pertanyakan Dampak Pemangkasan BI-Rate</p>
<p dir="auto" id="isPasted">Kredit Tumpul, Ekonom Pertanyakan Dampak Pemangkasan BI-Rate</p>

Ilustrasi - Warga memilih pakaian saat berbelanja di Mall Blok M Square, Jakarta, Jumat (15/11/2024). Antara Foto/Sulthony Hasanuddin/foc.

JAKARTA - Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai, penurunan suku bunga acuan BI-Rate menandakan otoritas moneter mulai berani mendorong pemulihan ekonomi melalui jalur ekspansi kredit. Namun, hal tersebut dirasa percuma, jika rasio kredit di Indonesia masih rendah.


"Apakah pemangkasan suku bunga akan cukup efektif jika rasio kredit terhadap PDB Indonesia stagnan di angka 36%?" tanyanya dalam pernyataan tertulis yang diterima Validnews, Jakarta, Kamis (22/5).


Baca Juga: Meski Tumbuh, Kredit Perbankan Pada April 2025 Turun Dari Maret


Menurut data World Bank 2023, rasio kredit terhadap PDB di Indonesia seperti yang disebutkan Syafruddin di atas masih sangat jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara tetangga, misalnya Vietnam yang menembus 140%, Malaysia 130%, Thailand 150%, bahkan China di atas 180%.


Kondisi tersebut yang membuat rasio kredit di Indonesia bukan hanya rendah secara historis, tapi juga tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga.


Lebih lanjut, Syafruddin membeberkan sejumlah alasan mengapa penyaluran kredit di Indonesia masih sangat terbatas, namun satu hal yang paling utama adalah penyaluran kredit yang nyatanya masih dimonopoli oleh korporasi besar.


"Sekitar 80% kredit nasional dikucurkan kepada usaha besar dan kelompok elit ekonomi. Sementara UMKM, yang mencakup lebih dari 99% total pelaku usaha, hanya menikmati kurang dari 20% kredit bank," ungkapnya berpacu pada data Kementerian Koperasi dan UMKM di 2023.


Realita tersebut, sambungnya, menggambarkan skema pembiayaan masih bias terhadap pelaku usaha yang sudah mapan, bukan yang baru tumbuh.


Tak berhenti di situ, faktor lain yang membuat penyaluran kredit masih terbatas di Indonesia adalah sistem perbankan yang terlalu berhati-hati. Terlebih, saat ini, sektor perbankan khususnya bank tampak lebih nyaman menempatkan dana pada surat utang negara. 


"Ini memang aman, tapi tidak menciptakan pertumbuhan, orientasi kehati-hatian yang berlebihan justru membuat fungsi intermediasi (bank) mandek," kata Syafruddin.


Lebih lanjut, dirinya menambahkan, sistem penjaminan di Indonesia masih lemah, berbeda dengan seperti Vietnam dan Thailand yang memiliki skema penjaminan kredit aktif dan progresif. Akibatnya, bank di Indonesia enggan mengambil risiko kredit UMKM atau sektor informal.


Terakhir, literasi dan inklusi keuangan bagi masyarakat juga masih terbilang rendah. Sebab menurut Syafruddin, tanpa literasi, permintaan kredit produktif sulit meningkat, dan tanpa permintaan, pasar kredit tidak akan berkembang.


Mengapa Kredit Penting?
Syafruddin menegaskan, kredit bukan lagi sekadar statistik, melainkan urat nadi pembangunan yang memungkinkan investasi bergerak, konsumsi meningkat, dan produktivitas melonjak. Makin tinggi rasio kredit terhadap PDB, maka makin kuat kontribusi sektor keuangan terhadap ekspansi sektor riil. 


Lagi, melihat contoh dari negara tetangga Vietnam, negara tersebut berhasil menjadikan kredit sebagai amunisi pertumbuhan, dengan cara bekerja lebih keras dan disiplin dalam menyalurkan kredit ke sektor produktif. 


Baca Juga: Perbankan Lega! BI Longgarkan Aturan RPLN 35% Dan Pangkas PLM 4%


Pemerintah Vietnam diketahui secara langsung mengintervensi dengan arah yang jelas, mengarahkan bank-bank milik negara untuk mendanai sektor strategis seperti pertanian, industri ekspor, sampai startup teknologi. 


Tak heran, jika rasio kredit negara tersebut kini tinggi, pertumbuhan berkelanjutan, dan ekspor melonjak.


"Indonesia seharusnya bisa lebih dari itu. Tapi selama sistem keuangan tetap melayani elite dan menjauhi akar produktivitas, selama itu pula pertumbuhan ekonomi akan berat dan tertinggal dari negara tetangga," imbuh Syafruddin.


Kredit Tetap Tumpul
Kembali ke penurunan suku bunga acuan yang baru saja BI ketok ke level 5,5%, Syafruddin mensinyalir, pelaku usaha tidak akan merasakan manfaatnya, jika transmisi suku bunga tidak lancar.


"Pada banyak kasus, bunga pinjaman UMKM tetap bertahan di kisaran 9-12%, bahkan setelah BI menurunkan suku bunga berkali-kali," beber Syafruddin.


Menurut dia, kebijakan penetapan suku bunga perlu disinkronisasi dengan target pertumbuhan pemerintah, melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang menargetkan laju pertumbuhan ekonomi 5,2–5,8% pada 2026.


Target yang menurut Syafruddin ambisius tersebut, menuntut kerja sama erat antara kebijakan moneter dan fiskal. Sebab itu, pemangkasan suku bunga oleh BI seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat dukungan terhadap sektor riil. 


"Tapi itu tidak akan terjadi jika rasio kredit tidak dinaikkan secara signifikan dan terdistribusi merata," imbuhnya.


Sebagai solusi, pemerintah dirasa perlu mendorong berbagai langkah strategis untuk mendorong rasio kredit di Indonesia, mulai dari BI dan OJK yang harus berani mendesain ulang insentif dan disinsentif kredit, di mana bank secara agresif menyalurkan kredit UMKM.


Baca Juga: Gara-Gara Trump, Pertumbuhan Kredit Perbankan Diramal Tak Sesuai Target BI


Selain itu, pemerintah perlu memperbesar cakupan dan efisiensi penjaminan kredit melalui digitalisasi dan integrasi dengan sistem perbankan; hingga mendorong kredit digital dan fintech lending yang kredibel dan teregulasi. 


Tak kalah penting, memperkuat literasi keuangan sebagai program prioritas nasional yang terintegrasi dengan pendidikan formal dan layanan publik.


Syafruddin berpendapat, kredit merupakan salah satu bahan bakar utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,8% pada 2026. Karena itu, pemangkasan suku bunga BI tidak boleh berhenti sebagai simbol, namun harus diikuti oleh reformasi struktural agar kredit tidak seret, dan ekonomi tidak berat.


"Negara yang ingin tumbuh cepat, harus berani mengalirkan kredit secara luas, adil, dan produktif. Karena dalam ekonomi modern, pembangunan bukan hanya soal niat, tapi soal pembiayaan," tutup Syafruddin.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar