c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

15 Juli 2024

17:59 WIB

KPPI dan KADI Tak Takut Kebijakan Antidumping Dibalas Negara Lain

KPPI dan KADI memastikan kebijakan antidumping telah sesuai dengan aturan WTO dan juga diterapkan negara lain yang menginginkan. Sehingga kebijakan ini tak akan dikhawatirkan dibalas negara lain.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">KPPI dan KADI Tak Takut Kebijakan Antidumping Dibalas Negara Lain</p>
<p id="isPasted">KPPI dan KADI Tak Takut Kebijakan Antidumping Dibalas Negara Lain</p>

(Kiri ke kanan) Ketua KADI Danang P Danial, Stafsus Mendag Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara K Hasibuan, Ketua KPPI Franciska Simanjutak dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan, Senin (15/7). ValidNewsID/Erlinda PW

JAKARTA - Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Franciska Simanjutak tidak khawatir kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang disusun bersama Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) akan mendapat aksi retaliasi atau tindakan pembalasan dari negara yang menerima kebijan tersebut. Alasannya, dua kebijakan tersebut sudah sesuai dengan aturan World Trade Organizaton (WTO).

Franciska menuturkan, setiap inisiasi atau inovasi berkaitan kebijakan perdagangan internasional, pihaknya selalu memberikan notifikasi kepada WTO dan anggota perjanjian dagang internasional yang terlibat.

"Kami melakukan sebagai otoritas, ada dasar hukumnya sudah pasti. Ada agreement on safeguard, ada agreement on antidumping. Yang kami lakukan ini sudah pasti sejalan dengan komitmen kita di WTO. Ada notifikasi setiap kami melakukan inisiasi, investigasi, lalu juga nanti akhirnya itu semua ada notifikasinya dan kami sampaikan di dalam WTO," jelas Franciska saat ditanya Validnews dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan, Senin (15/7).

Baca Juga: Ekonom Sebut Antidumping Keramik Porselen Belum Mendesak Diterapkan

Ketua KPPI ini juga meyakinkan kebijakan pengamanan impor berupa BMAD dan BMTP diterapkan oleh negara lain, bukan hanya Indonesia. Dua kebijakan ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengmanan Perdagangan.

"Negara lain juga melakukan dan mempunyai hak yang sama seperti yang kami lakukan. Apabila syarat terpenuhi dan sesuai hasil investigasi, baru pasti akan dilakukan penerapan BMAD dan BMTP," ungkapnya.

Sejauh ini, menurut Franciska, sudah banyak negara yang pernah dikenakan tarif BMAD dan BMTP, antara lain India, Republik Korea, Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, Kazhastan, australia, Malaysia, Vietnam, Thailand, Hongkong, Turki, Pakistan, Persatuan Emirat Arab, Singapura, Taiwan, Bangladesh, dan Mesir.

Sementara itu, Indonesia diklaim Franciska merupakan negara yang aktif melakukan kebijakan antidumping, terlebih dalam lima tahun ke belakang. Dari catatan WTO, sejak 1996 Indonesia diketahui telah melakukan 154 kali penyelidikan antidumping yang dihitung berdasarkan penyelidikan per produk per negara.

Diketahui, saat ini KADI tengah menggodok kebijakan BMAD dengan menyelidiki impor untuk komoditas produk benang filamen sintetik, ubin keramik, film nilon, hot roled coil, hot rolled plate, dan polietilen tereptalat (PET). Sedangkan produk yang dikenakan BMAD saat ini adalah polyester staple fiber dan spin drawn yarn.

Sementara untuk tindakan pengamanan perdagangan dikenakan kepada negara yang ekspornya ke Indonesia melonjak tajam. Jika lonjakan itu menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri lokal, akan dikenakan tindakan pengamanan perdagangan atau BMTP.

Baca Juga: Aturan Bea Masuk Anti Dumping Segera Rampung, Sasar 7 Komoditas Ini

Sebelumnya, Direktur Kolaborasi Internasional Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menilai, kebijakan tersebut terutama BMAD berpotensi menimbulkan bahaya retaliasi atau tindakan pembalasan dari negara-negara yang terkena dampak kebijakan anti dumping, yaitu salah satunya dari China.

"Pemberian BMAD dapat memicu tindakan balasan (retaliasi) dari negara-negara eksportir yang terkena dampaknya, termasuk China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Tindakan balasan ini bisa berupa pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar mereka," kata Imaduddin dalam keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu (13/7).

Menurutnya, China merupakan mitra dagang penting bagi Indonesia, yakni pada 2023 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$64,94 miliar atau 23% dari total nilai ekspor. Tentu ini mencerminkan ketergantungan yang signifikan terhadap pasar China. Oleh karena itu, retaliasi dari China dapat berdampak serius pada industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar