10 Juni 2025
20:53 WIB
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Bisa Di Bawah 4,87%
Dalam kondisi ceteris paribus bersamaan dengan tidak adanya intervensi berarti dari pemerintah, pertumbuhan ekonomi tahun 2025 dikhawatirkan anjlok di bawah 4,87%.
Penulis: Siti Nur Arifa
Suasana salah satu mall sepi pengunjung di Jakarta, Jumat (6/10/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2025 bisa saja lebih rendah dibanding capaian pada kuartal I/2025, yakni di bawah 4,87%.
Prediksi tersebut, menurutnya bisa saja terjadi apabila mempertimbangkan kondisi ceteris paribus (konstan) dalam perekonomian Indonesia, ditambah tidak adanya intervensi yang berarti dari pemerintah.
Faktor lainnya adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 yang merujuk pada pelemahan ekonomi.
"Tren kuartal kedua juga menunjukkan indikator-indikator yang mengarah pada pelemahan ekonomi. Pada Bulan April dan Mei, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur mengalami kontraksi dengan kisaran 46,7 dan 47,4," ungkap Ajib dalam pernyataan resmi yang diterima Validnews, Selasa (10/6).
Sebagai catatan, kontraksi PMI manufaktur secara umum memberikan gambaran dan menjadi indikator penurunan daya beli masyarakat. Tidak hanya itu, sebelumnya Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 4,9% hanya menjadi 4,7% untuk tahun 2025.
Baca Juga: Kemenko Ekonomi: Sektor Tambang Berperan Penting Dalam Transisi Energi
Kondisi Mengkhawatirkan
Padahal, lanjut Ajib, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2025 sudah cukup mengkhawatirkan di kisaran 4,87%. Angka tersebut terkontraksi cukup besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2024 sebesar 5,11%.
Pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama biasanya cukup eskalatif lantaran terdapat siklus tahunan rutin berupa lebaran hari raya yang cukup mendongkrak perputaran uang dan konsumsi masyarakat.
Ajib menilai, kondisi pelemahan indikator-indikator makro pertumbuhan ekonomi yang saat ini terjadi disebabkan paling tidak karena empat hal.
"Pertama, karena kemampuan konsumsi masyarakat yang memang secara riil mengalami penurunan, hal ini didukung dengan data gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak awal tahun yang sudah menyentuh lebih dari 70 ribu pada kuartal pertama 2025," paparnya.
Faktor kedua, adalah pola government spending pada awal tahun 2025. Ajib menyorot penerimaan pajak pada kuartal I/2025 hanya mencapai 14,7% dari target penerimaan, yang idealnya bisa mencapai 20%.
Belum lagi, pemerintah juga melakukan program efisiensi belanja sehingga memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode awal tahun.
Faktor ketiga yang tak kalah berpengaruh, adalah konstraksi ekonomi karena faktor eksternal, terutama karena kebijakan tarif Trump.
Kondisi tersebut membuat permintaan barang terutama dari Amerika mengalami penurunan dan neraca transaksi keuangan sejak April 2025. Kompleksitas kebijakan efek tarif Trump ini memberikan sentimen negatif selama kuartal kedua.
Terakhir, Ajib menyebut pelambatan ekonomi terjadi karena sisi investasi yang lebih banyak terkonsentrasi pada sektor padat modal, sehingga multiplier effect terhadap penyerapan tenaga kerja kurang maksimal.
"Membandingkan data 10 tahun ke belakang, tahun 2014 setiap Rp1 triliun bisa menyerap sampai dengan 4.000 tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2024, setiap Rp1 triliun investasi menyerap kisaran 1.000 tenaga kerja," urainya.
Baca Juga: Relevansi Pertumbuhan Ekonomi Di Tengah Efisensi Anggaran
Intervensi Jangka Pendek
Dengan berbagai kondisi yang ada, Ajib menyebut pemerintah harus membuat orientasi jangka pendek pada bulan Juni dan selanjutnya pada semester kedua 2025.
Dia menyebut, program stimulus ekonomi yang fokus dengan pola Bantuan Langsung Tunai (BLT), akan efektif meningkatkan konsumsi masyarakat dan mendongkrak daya beli.
"Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2025 bisa lebih tinggi, atau minimal bertahan dibandingkan kuartal pertama," imbuh Ajib.
Lebih lanjut, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada semester kedua, pemerintah diharapkan dapat menjadikan belanja pemerintah sebagai stimulus utama dengan mengedepankan spending better, yaitu prudent dalam melakukan pola belanja pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan maksimal.