01 Maret 2024
13:20 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi optimis ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia bisa tumbuh dan kompetitif.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, pihaknya tengah mendorong hilirisasi baterai dari segala lini.
"Jadi untuk fasilitas High Pressure Acid Leaching (HPAL), prekursor, katoda, hingga lithium refinery meski tidak berkaitan sama nikel, ini sedang kita dorong dan investasinya sudah mulai banyak masuk," sebut Seto dalam sesi diskusi salah satu stasiun TV swasta nasional, Kamis (29/2).
Artinya bukan hanya dari sisi nikel, Seto meyakini ekosistem baterai lithium di Indonesia juga bisa semakin lengkap dalam 2-3 tahun mendatang.
"Dari lithium refinery, anoda, copper foil, itu akan terbentuk. Jadi kita nanti Indonesia akan compete dengan negara lain bukan hanya soal nikel, tapi juga kita punya ekosistem mobil listrik, ekosistem baterai listrik juga yang kompetitif," kata dia.
Baca Juga: China Batasi Ekspor Grafit, Industri Baterai RI 'Gigit Jari'
Khusus untuk copper atau tembaga, Seto melihat komoditas itu punya tren konsumsi yang terus meningkat dalam rangka membentuk ekosistem kendaraan listrik.
Pasalnya, dibutuhkan sekitar 50 kg tembaga untuk produksi satu unit mobil listrik. Beberapa produsen mobil listrik pun dia katakan telah mendatangi pemerintah dan menanyakan soal kesediaan copper.
"Jadi ada pabrikan EV datang ke Indonesia, ke saya selalu bertanya bisa atau tidak dapat supply copper? Karena ini penambahan supplynya tidak seperti nikel yang bisa dilakukan dengan cepat," imbuhnya.
Baca Juga: Pertamina Siap Pasok Green Coke Untuk Industri Baterai
Dalam menggenjot produksi tembaga, Seto menjelaskan pemerintha punya tantangan dalam bentuk kebutuhan capital expenditure (capex) yang besar. Besarnya kebutuhan capex itu dimulai dari pengembangan greenfield hingga operasional smelter yang membutuhkan waktu lama.
"Jadi saya kira kita punya Freeport, Amman, itu membuat positioning kita bagus. Ini makanya harga copper relatif masih cukup tinggi," ucap Seto.
Di sisi lain, Seto tak menampik recycling tembaga masih sangat rendah. Sebagai pembanding, peluang recycling pada komoditas nikel mencapai 99%, sedangkan copper hanya sekitar 60%. Hal tersebut menjadi penyebab suplai primer tembaga masih akan mengandalkan tambang.
"Sehingga kita harus manfaatkan ini, kita dorong Freeport bangun smelter, kita tarik hilirisasinya, ada copper foil pabrikan yang dibangun di depan smelternya PT Freeport di Gresik, Jawa Timur," ucap Seto.