c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

08 November 2023

10:36 WIB

China Batasi Ekspor Grafit, Industri Baterai RI 'Gigit Jari'

Indonesia punya rencana impor grafit sebesar 44.000 ton per tahun dari Tiongkok untuk kebutuhan produksi baterai IBC

Penulis: Yoseph Krishna

China Batasi Ekspor Grafit, Industri Baterai RI 'Gigit Jari'
China Batasi Ekspor Grafit, Industri Baterai RI 'Gigit Jari'
Ilustrasi Baterai AA. Shutterstock/dok

JAKARTA - Pemerintah China telah menerbitkan keputusan untuk membatasi ekspor grafit dalam rangka mencukupi kebutuhan industri nasional beberapa waktu lalu. Pembatasan itu dilakukan dengan mewajibkan beberapa surat perizinan untuk ekspor produk grafit.

Hal tersebut akan memberi pengaruh besar terhadap industri pembuatan baterai di Indonesia, utamanya untuk kendaraan listrik mengingat China merupakan salah satu negara eksportir grafit terbesar.

Kepala Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu Bara (tekMIRA) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Julian Ambassadur Shiddiq mengungkapkan pemerintah sejatinya punya rencana mengimpor 44.000 ton grafit per tahun dari Tiongkok untuk kebutuhan produksi baterai milik Indonesia Battery Corporation (IBC).

"Apabila pembatasan oleh China tetap dilakukan, kemungkinan rencana produksi baterai nasional kita tidak akan tercapai sesuai rencana," ungkap Julian kepada Validnews, Rabu (8/11).

Baca Juga: Potensi Biomassa Bambu Sebagai Pengganti Grafit Belum Memadai

Merujuk pada catatan Badan Pusat Statistik (BPS) soal impor grafit alam, Julian menerangkan Tiongkok punya dominasi yang kuat dengan porsi 90% selama lima tahun belakangan.

"Terdapat juga beberapa negara lain sebagai sumber impor grafit Indonesia, yaitu Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Austria," kata dia.

Tiongkok memang memegang predikat sebagai produsen grafit alam nomor wahid di dunia. Namun demikian, ada beberapa negara lain yang juga menjadi produsen grafit, seperti Mozambik dan Tanzania.

Untuk itu, Indonesia harus mulai menjajaki peluang kerja sama perdagangan dengan negara-negara tersebut sebagai solusi atas kebijakan pembatasan ekspor grafit oleh Tiongkok.

"IBC pun saat ini sedang menyusun roadmap untuk mengurangi ketergantungan Indonesia mengimpor 20% bahan baku baterai untuk kendaraan listrik," sebutnya.

Negeri Panda sendiri diketahui memegang predikat sebagai produsen dan eksportir grafit terbesar dunia. Mengutip Reuters, Tiongkok memiliki teknologi untuk memurnikan lebih dari 90% grafit dunia menjadi bahan yang digunakan hampir pada semua anoda baterai kendaraan listrik.

Kementerian Perdagangan Tiongkok menyebut langkah pembatasan ekspor grafit itu sangat kondusif untuk memastikan keamanan dan stabilitas rantai pasok dan industri global, termasuk kondusif untuk mengamankan kepentingan industri di dalam negeri.

Pembatasan ekspor grafit pun menyusul kebijakan sebelumnya. Tiongkok juga membatasi ekspor galium dan germanium. Hal tersebut mengakibatkan harga logam-logam itu terkerek naik di negara lain.

Hilirisasi Coal Tar Sangat Menjanjikan Gantikan Grafit
Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu Bara (tekMIRA) telah melakukan penelitian pemanfaatan batu bara menjadi grafit sintetis sejak 2020 hingga 2021 lalu.

Kepala Balai Besar tekMIRA Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq menerangkan penelitian itu dilakukan dengan menggunakan bahan baku coal tar, yakni produk samping proses karbonisasi batu bara metalurgi.

Hasil penelitian pun menunjukkan pemanfaatan batu bara menjadi grafit sintetis itu cukup menjanjikan untuk menggantikan grafit alam impor. Karena itu, Julian menyebut penelitian itu harus dilanjutkan dalam skala yang lebih besar (pilot plan atau demo plan).

"Harus dilanjutkan dalam skala lebih besar untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk grafit sintetis, terutama dari batu bara kalori rendah," ucapnya.

Tak hanya bisa menggantikan impor grafit alam, potensi peningkatan nilai tambah dari dasar harga batu bara menjadi grafit sintetis juga sangat tinggi. 

Menurut perhitungan Balai Besar tekMIRA, kenaikan nilai tambah batu bara dengan asumsi harga US$100/MT bisa meningkat 200 kali lipat atau menjadi sekitar US$20.000/MT pada produk grafit sintetis.

Namun di sisi lain, proses pembuatan grafit atau grafitisasi perlu energi yang luar biasa tinggi guna mencapai peningkatan nilai tambah dari CTP menjadi grafit sintetis.

"Sampai saat ini, perhitungan keekonomian detail untuk pembuatan grafit sintetis dari batu bara kalori rendah belum pernah dilakukan sehingga belum diketahui nilai keekonomiannya," tutur Julian.

Adapun potensi batu bara mutu rendah merujuk pada neraca sumber daya dan cadangan batu bara nasional per 2020 lalu mencapai total 62.203 juta ton. Sehingga, kajian keekonomian grafit sintetis ia nilai harus dilakukan sesegera mungkin.

Baca Juga: Tekmira Kembangkan Anoda Baterei Berbahan Batu Bara

Apalagi, Tiongkok sebagai produsen grafit alam nomor satu dunia memutuskan untuk melakukan pembatasan ekspor grafit. Kebijakan Negeri Bambu itu turut membuat industri baterai di Indonesia 'gigit jari' karena 90% impor grafit alam RI berasal dari Tiongkok dalam kurun lima tahun terakhir.

Ditambah, pemerintah punya rencana impor 40.000 ton grafit alam per tahun guna memenuhi kebutuhan produksi dari Indonesia Battery Corporation (IBC). Artinya, pembatasan ekspor grafit oleh China akan mengganggu rencana produksi baterai nasional.

Kajian nilai keekonomian grafit sintetis, sambung Julian, juga harus diiringi upaya lanjutan dalam bentuk usulan status hilirisasi batu bara supaya masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

"Ataupun dukungan lain supaya dapat insentif keuangan, insentif kemudahan perizinan, dan kemudahan atau jaminan market domestik maupun global sebagaimana telah diterima industri yang terkait kendaraan listrik yang lebih dulu masuk ke Indonesia," kata dia.

Tak terbatas pada industri baterai, grafit juga bisa dimanfaatkan untuk produk teknologi tinggi, seperti industri komponen mobil dan transportasi darat, pesawat terbang, hingga alat pertahanan dan militer.

Lebih lanjut, Julian tak menampik bahwa harga batu bara terus meroket beberapa tahun belakangan hingga US$350 per ton pada batu bara mutu tinggi. Akibatnya, harga batu bara mutu rendah pun ikut terkerek naik.

"Sehingga aspek keekonomian hilirisasi batu bara berupa grafit sintetis menjadi rendah sekali," imbuhnya.

Meski begitu, siklus batu bara mutu rendah pada satu dekade terakhir tidak jauh pada harga produksi di Indonesia. 

Dengan kata lain, batu bara mutu rendah masih kurang ekonomis untuk dijual langsung, misalnya sebagai energi pembangkit listrik seperti GAR di bawah 3600 yang tidak diterima oleh PT PLN (Persero).

"Jadi bila harga produk grafit sintetis US$20.000/ton, akan lebih menjanjikan keuntungan besar bagi produsen dan pemanfaat batu bara mutu rendah," tandas Julian Ambassadur Shiddiq.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar