11 September 2024
09:08 WIB
Kejar Kemandirian Bahan Baku Obat, Begini Upaya Kemenperin
Kemenperin memetakan ada beberapa solusi untuk menyokong kemandirian bahan baku obat, di antaranya pemberian insentif hingga pembaruan regulasi TKDN.
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Ilustrasi harga obat mahal. Shutterstock/irfan_setiawan
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai pentingnya penguatan hulu industri farmasi untuk mengejar kemandirian bahan baku obat atau BBO. Dengan kata lain, Indonesia bisa memproduksi BBO sendiri, dan mengurangi ketergantungan impor BBO.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Eko S.A Cahyanto mengatakan, saat ini Indonesia mengimpor 90% bahan baku obat dari luar. Untuk mewujudkan kemandirian dan mengurangi impor tersebut, menurutnya perlu penguatan industri hulu.
Itu mencakup industri kimia dan farmasi serta petrokimia. Eko menuturkan, keduanya merupakan industri pionir untuk menghasilkan bahan baku obat dalam negeri. Menurutnya, pemerintah perlu menyuntik insentif untuk menguatkan industri tersebut.
"Kita perlu penguatan di sektor hulu sehingga hasil dari penguatan industri petrochemical itu bisa diturunkan menjadi bahan baku obat. Itu yang sekarang kita dorong, ini kan industri pionir, kita akan memberikan insentif yang besar untuk itu," ujarnya saat ditemui sebelum Seminar Nasional Ketahanan dan Kesinambungan Percepatan Kemandirian BBO dan Vaksin, di Jakarta, Selasa (10/9).
Eko menjelaskan, industri bahan baku obat di Indonesia baru saja mulai berkembang, sehingga membutuhkan investasi jumbo untuk pengembangan sekaligus menjaga keberlanjutan industrinya. Itu sebabnya membutuhkan insentif, baik fiskal maupun non fiskal.
Adapun salah satu upaya yang telah dilakukan Kemenperin adalah melaksanakan penelitian dan pengembangan (research and development) serta produksi bahan baku obat alami. Ini dijalankan melalui salah satu unit kerjanya, yakni Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kimia, Farmasi dan Kemasan.
Baca Juga: Obat di Indonesia Mahal, Ini Sederet Tantangan Besar Industri Farmasi
Eko menerangkan langkah tersebut baru saja dilaksanakan tahun lalu. Sejalan dengan itu, dia mengaku belum melihat adanya penurunan impor bahan baku obat yang signifikan. Namun dia meyakini kemampuan industri RI memproduksi BBO mulai meningkat.
"Belum, belum besar (penurunan impor BBO), tapi dari sisi kemampuan industri kita memproduksi ini sekarang sudah semakin tinggi," ucap Sekjen Kemenperin.
Ini sesuai dengan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mencatat, terjadi peningkatan produksi bahan baku obat dalam negeri. Berdasarkan volumenya, pada 2024 produksi BBO mencapai 44,23 ton.
Secara nilai atau value, produksi BBO dalam negeri pada 2024 mencapai sebesar Rp61 miliar. Kemudian pada 2023 senilai Rp29 miliar, pada 2022 dan 2021 masing-masing senilai Rp76 miliar dan Rp77 miliar, serta pada 2020 senilai Rp8 miliar.
Sementara pada 2023 produksi BBO hanya sebanyak 20,29 ton. Pada 2022 sebanyak 21,16 ton, pada 2021 hanya 7,55 ton, dan pada 2020 sebanyak 3,04 ton.
"Pengembangan industri BBO membutuhkan dukungan kebijakan dan insentif, baik melalui peningkatan penggunaan BBO produksi dalam negeri dan pengaturan tata niaga impor BBO," ujar Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Roy Himawan dalam acara Seminar Nasional.
Solusi Guna Sokong Industri Farmasi dan BBO
Pada kesempatan yang sama, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Ditjen IKFT Kemenperin Emmy Suryandari memetakan sedikitnya ada 5 butir upaya yang bisa dilaksanakan pemerintah untuk mengejar kemandirian industri farmasi dan bahan baku obat dalam negeri.
Pertama, kepastian pasar dan pengembangan investasi. Ini perlu guna mendorong kepastian pasar dengan peningkatan penggunaan produk dalam negeri, terutama untuk pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menarik investasi PMDN maupun PMA di industri farmasi nasional.
Kedua, pemetaan dan pengembangan industri farmasi dan BBO. Emmy menerangkan, pengembangan dan pengadaan bahan intermediate dari industri kimia dasar atau petrokimia maupun obat berbasis alam, yaitu fitofarmaka untuk meningkatkan daya saing industri lokal di pasar dalam negeri maupun global.
Ketiga, pemberian insentif fiskal dan non fiskal. Pemerintah sudah memberikan suntikan insentif fiskal di antaranya tax holiday, tax allowance dan super deduction tax yang bisa dimanfaatkan oleh para produsen.
Kemudian, ada pula pengusulan bea masuk ditanggung pemerintah untuk BBO yang belum bisa diproduksi lokal, dan penghapusan PPN bagi produk yang menggunakan BBO lokal, serta pendampingan industri 4.0.
Baca Juga: Kendala Indonesia Masih Sama, Impor Bahan Baku Obat Capai 90%
Keempat, kajian regulasi halal dan infrastruktur Lembaga Pemeriksa Halal (LHP). Kemenperin melihat pentingnya penyusunan acuan sertifikasi halal yang utuh dan pasti sebagai panduan sertifikasi serta penambahan LPH untuk industri farmasi.
"Nah sertifikasi halal juga menjadi salah satu tantangan. Kenapa? Karena memang dari LPH-nya untuk yang farmasi dan kosmetik masih sangat sedikit, jadi kami berusaha untuk berkomunikasi internal yang menyatakan bahwa perlu beberapa infrastruktur yang disiapkan kalau kita sudah bicara halal," kata Emmy.
Kemenperin memetakan salah satu tantangan yang perlu ditangani adalah sulitnya memperoleh bahan baku yang sudah tersertifikasi halal. Ini mengingat mayoritas masih diperoleh impor, dan terbatasnya LPH dan sumber daya penunjang lainnya yang memiliki kompetensi dan ruang lingkup untuk sertifikasi halal produk farmasi.
Kelima, pembaruan regulasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) farmasi. Kemenperin melihat pemerintah perlu memperbarui ambang batas atau threshold TKDN untuk mendorong produksi lokal dan penggunaan BBO dalam pengadaan pemerintah.
"Salah satu tantangan adalah bagaimana kita meningkatkan threshold dari TKDN produk farmasi untuk mendorong kenaikan penyerapan produk ber-BBO lokal pada pengadaan pemerintah," tutup Emmy.
Untuk diketahui, saat ini dan tahun-tahun sebelumnya, Indonesia masih ketergantungan impor bahan baku obat. Adapun porsi impor BBO mencapai 90%.