10 September 2024
14:51 WIB
Kendala Indonesia Masih Sama, Impor Bahan Baku Obat Capai 90%
Indonesia sekarang masih menghadapi tantangan yang sama dengan satu dekade lalu, yaitu ketergantungan impor bahan baku obat dan vaksin sebesar 90%.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Ilustrasi penelitian farmasi. Ist
JAKARTA - Indonesia masih menghadapi kendala yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu belum mencapai kemandirian bahan baku obat (BBO). Dengan kata lain, impor BBO masih fantastis mencapai sebesar 90%.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Eko S.A Cahyanto mengatakan pemerintah tengah menggali potensi bahan baku obat lokal. Karena impor bahan baku mencapai 90%, dia melihat sisanya 10%, Indonesia memiliki kemampuan menciptakan bahan baku obat sendiri.
"Bahan baku obat sekarang masih 90% (impor). Nah yang 10% ini kan kita punya kemampuan, nah bagaimana meningkatkan terus angka ini," ujarnya saat ditemui sebelum Seminar Nasional Ketahanan dan Kesinambungan Percepatan Kemandirian BBO dan Vaksin, di Jakarta, Selasa (10/9).
Eko menjelaskan, ketergantungan impor bahan baku obat masih masif karena pohon industri untuk industri farmasi masih belum memiliki struktur yang dalam. Indonesia saat ini membutuhkan industri hulu kimia dasar dan petrokimia yang mumpuni untuk menghasilkan bahan intermediate.
Bahan intermediate adalah produk setengah jadi yang memerlukan pengolahan lebih lanjut, misalnya dengan penambahan bahan lain sampai menjadi produk jadi.
Eko menambahkan, nantinya bahan intermediate dari industri hulu dapat dimanfaatkan untuk memproduksi bahan baku obat. Selain itu, berpotensi pula untuk diekspor, minimal ke negara tetangga kawasan Asean.
Berdasarkan catatan Validnews, pada 2022 lalu, pemerintah menyampaikan hal yang sama, bahwa impor bahan baku mencapai 90%. Begitu pula hampir satu dekade lalu, pada 2015, pemerintah mengungkapkan ketergantungan impor menjadi kendala industri farmasi nasional.
Lebih lanjut, Eko memetakan ada dua kendala selain ketergantungan impor BBO, yaitu kompleksitas produksi dan persaingan global. Dia menerangkan proses produksi bahan baku obat dan vaksin sangat kompleks dan memerlukan teknologi tinggi, serta SDM yang terampil.
"Kendala teknis ini perlu diatasi untuk mencapai kemandirian," imbuhnya.
Kemudian, industri farmasi global sangat kompetitif. Menurut Sekjen Kemenperin, Indonesia harus mampu bersaing dengan negara lain yang sudah lebih dulu maju dalam memproduksi BBO. Sementara saat ini, posisi industri bahan baku obat RI masih berada di tahap awal karena baru berkembang.
"Kita juga tidak bisa ragu-ragu dalam mengambil terobosan kebijakan, terutama dalam menanggulangi pemasok bahan baku obat yang melakukan praktik dumping," terang Eko.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Ditjen IKFT Kemenperin Emmy Suryandari membenarkan, Indonesia belum bisa memproduksi bahan baku obat secara masif, sehingga masih mengimpor. Importasi mencapai 90% dan mayoritas berasal dari China dan India.
Dia menyampaikan, jumlah industri bahan baku obat di Indonesia masih sedikit, hanya 20 produsen. Beberapa di antaranya, yakni Bio Farma, Dexa Medica, Daewoong Infion, Karya Daya Syafarmasi, Kimia Farma Tbk, Sanbe Farma, Indocap, Monix Indonesia.
"Tentu kami berharap 20 produsen ini bisa bertambah dari sisi jumlahnya dan juga bertambah dari sisi bahan baku obat yang bisa diproduksi," tutur Emmy.
Baru 62 Jenis BBO Produksi Domestik
Ketua Umum Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) FX Sudirman juga mengungkapkan, industri bahan baku obat di Indonesia masih dalam tahap awal untuk berkembang. Itu tercermin dari masih sedikitnya pabrik di Indonesia yang mampu memproduksi sendiri bahan baku obat.
FX Sudirman yang akrab disapa Dirman juga menyebutkan, dari 1.105 bahan baku obat, baru sekitar 62 jenis bahan baku yang diproduksi di dalam negeri. Jika dikalkulasi, hanya 5,61% bahan baku obat yang diproduksi pabrik RI.
"Sebenarnya dari 1.105 bahan baku obat ya, kan baru 62-an yang diproduksi di sini. Jadi masih banyak lah, industri bahan baku obat itu adalah infant industry di sini," ujarnya kepada awak media saat ditemui sebelum Seminar Nasional di Jakarta, Selasa (10/9).
Dirman menerangkan, industri bahan baku obat di Tanah Air masih tergolong infant industry karena keberadaannya masih baru dan economic of scale atau penghematan biaya untuk skala produksinya belum tercapai. Menurutnya, pemerintah perlu menyuntikkan dukungan demi keberlanjutan industri tersebut.
"Industri yang masih baru, masih bayi, karena itu perlu di-take care oleh pemerintah, enggak bisa dilepas seluruh perang sendiri," tutur Dirman.
Dia menyampaikan, upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian bahan baku obat sebenarnya sudah banyak. Dia mencontohkan, pembayaran uji klinis obat, dan fasilitasi change source dari Kementerian Kesehatan bagi industri farmasi.
Selain itu, pemerintah juga memberikan suntikan insentif fiskal seperti tax holiday untuk pembangunan pabrik baru, dan super tax deduction untuk penelitian dan pengembangan. Namun, Dirman mengungkapkan belum banyak industri yang memanfaatkan insentif tersebut.
"Terus dari sisi fiskal, pemerintah sebenarnya sudah kasih banyak ya, contohnya tax holiday, super tax deduction, kemudian insentif lain, tapi mungkin karena syaratnya masih banyak, masih ribet, mungkin enggak banyak (industri) yang bisa memanfaatkan," ucap Ketum AB3O.