10 September 2024
19:00 WIB
Obat di Indonesia Mahal, Ini Sederet Tantangan Besar Industri Farmasi
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Roy Himawan memaparkan, sedikitnya ada 7 tantangan industri farmasi dalam penggunaan bahan baku obat dalam negeri atau BBO.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Ilustrasi harga obat mahal. Shutterstock/irfan_setiawan
JAKARTA - Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) mengungkapkan, persaingan penyedia bahan baku obat secara global menjadi tantangan besar dalam menciptakan kemandirian industri bahan baku obat di Indonesia.
Ketua Umum A3BO FX Sudirman alias Dirman mengatakan, industri bahan baku obat RI baru berkembang. Itu membuat industri Tanah Air belum mampu bersaing dengan industri yang sudah lebih maju terutama para pemain skala global.
"Tantangan terbesarnya competitiveness. Karena Indonesia baru, economic scale-nya terbatas, mungkin kalau yang bahan baku obat ya, mungkin akan lebih mahal. Di beberapa negara kayak India, pemerintah subsidi supaya bisa affordable," ujarnya saat ditemui awak media di Jakarta, Selasa (10/9).
Hal ini didukung data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyebutkan, harga bahan baku obat produksi dalam negeri lebih tinggi dari impor. Ini menyebabkan harga produk menjadi lebih mahal, terutama produk yang mengandung bahan baku obat lebih dari 50%.
Lebih lanjut, Dirman juga menyampaikan dari 1.105 bahan baku obat, baru sekitar 62 jenis bahan baku yang diproduksi di dalam negeri. Apabila dikalkulasi, hanya 5,61% bahan baku obat yang diproduksi pabrik RI.
Baca Juga: Terganjal Obat Mahal
Dia menegaskan, ke depannya industri bahan baku obat di Indonesia perlu menjadi perhatian pemerintah. Untuk sekarang ini, dia memprediksi harga obat RI masih bakal mahal lantaran industri bahan baku obatnya baru mulai dikembangkan.
Menurut Dirman, salah satu upaya yang bisa didorong saat ini yaitu mengoptimalkan bahan baku lokal untuk industri farmasi nasional. Nantinya, seiring dengan penemuan bahan baku obat lokal dan penambahan jumlah industri pengolah BBO, Dirman meyakini harga obat bisa turun.
"In the long run, kita harus bisa berdiri sendiri. Memang dalam jangka pendek mungkin akan mahal (harga obat), karena kan dibandingkan dengan luar negeri, itu kan besar mereka (industrinya), tapi dalam jangka panjang pasti kebetulan banyak kok bahan baku," tutur Dirman.
7 Tantangan Industri Farmasi
Pada kesempatan yang sama, Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Roy Himawan memaparkan, sedikitnya ada 7 tantangan industri farmasi dalam penggunaan bahan baku obat dalam negeri atau BBO.
Pertama, kebutuhan spesifikasi BBO, sehingga industri bahan baku obat dalam negeri harus meningkatkan kualitas produk.
Kedua, uji stabilitas dan bioekivalensi produk. Ini membutuhkan waktu minimal 1-2 tahun dan biaya yang besar. Jika hasilnya tidak memenuhi syarat, maka harus dilakukan pengembangan ulang.
Ketiga, registrasi produk. Ini dilakukan setelah uji stabilitas produk dan dokumen persyaratan lengkap yang diatur oleh BPOM. Jika sesuai, maka izin edar akan terbit. Proses ini terdiri dari 2 kategori, registrasi variasi major 100 hari kerja dan minor 40 hari kerja.
Keempat, harga obat. Kemenkes mencatat, harga bahan baku obat produksi dalam negeri lebih tinggi dari impor. Itu menyebabkan harga produk menjadi lebih mahal, terutama produk yang mengandung bahan baku obat lebih dari 50%.
Baca Juga: Dinilai Hambat Inovasi, Regulasi Sektor Farmasi Perlu Dievaluasi
Kelima, kapasitas industri bahan baku obat nasional. Indonesia memerlukan industri kimia dasar yang mumpuni sehingga bisa memproduksi sendiri BBO secara end to end. Selain itu, perlu kepastian produksi oleh industri BBO nasional.
Keenam, ekspor produk industri farmasi. Kemenkes menilai industri farmasi harus melakukan registrasi ulang ke negara tujuan ekspor jika melakukan change source bahan baku. Hal itu membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar pula.
Ketujuh, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Sediaan farmasi dengan BBO yang TKDN lebih dari 52% belum menjadi produk yang diprioritaskan untuk dipilih pada tender e-katalog.
Pasalnya, banyak produsen yang memproduksi BBO dengan nilai TKDN 52%. Namun pemerintah masih mengacu pada Perprea 12/2021 yang menyatakan tender penggunaan obat dalam negeri TKDN-nya hanya 25%. Oleh karena itu, perlu peningkatan threshold TKDN produk farmasi untuk mendorong kenaikan penyerapan produk ber-BBO lokal pada pengadaan pemerintah.