28 Agustus 2024
09:23 WIB
Kalah Saing, Ekspor Minyak Kelapa Sawit Cenderung Turun
GAPKI mencatat, nilai ekspor dan volume ekspor minyak kelapa sawit RI cenderung menurun. Salah satunya karena kurang kompetitif dibandingkan pesaingnya.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Pekerja mengangkut kelapa sawit hasil panen di Desa Pucok Lueng, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (4/2/2023). Antara Foto/Syifa Yulinnas
BELITUNG - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyampaikan, ekspor komoditas minyak kelapa sawit RI mencapai US$9,78 miliar atau setara Rp159 triliun hingga Mei 2024 (kurs Jisdor Rp16.251).
Berdasarkan data GAPKI, nilai ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dalam dua tahun terakhir cenderung menurun.
"Sampai dengan Mei 2024, kontribusi sawit terhadap devisa negara adalah US$9,78 miliar," ujar Ketua Umum GAPKI Eddy Martono dalam diskusi Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, di Belitung, Selasa (27/8).
Eddy pun memaparkan, kontribusi CPO terhadap pendapatan negara pada 2020 berada di angka US$22,7 miliar. Kemudian saat pandemi covid-19 melanda, pada 2021, nilai ekspornya melonjak menjadi US$34,9 miliar.
Baca Juga: Ekspor Komoditas Unggulan CPO, Batu Bara, Besi Baja Kompak Anjlok, Kenapa?
Pada 2022, GAPKI mencatat nilai ekspor CPO masih mengalami peningkatan menjadi US$37,76 miliar. Namun, pada 2023 nilainya anjlok menjadi US$29,54 miliar, dan hingga Mei 2024 hanya senilai US$9,78 miliar.
Eddy menjelaskan, penyebab nilai ekspor minyak kelapa sawit menjadi anjlok pada 2023, yaitu karena tahun lalu harga CPO dunia sedang turun. Penurunan harga komoditas tersebut pun berdampak ke nilai ekspor CPO.
"(Nilai ekspor) turun di tahun 2023 menjadi US$29,54 miliar. Ini akibat memang harga sawit di dunia sedang turun itu menjadi US$29,5 miliar," papar Eddy.
Selain harga sawit di dunia yang melemah, Ketum GAPKI menyebutkan, nilai ekspor komoditas CPO menyusut karena volume ekspornya pun cenderung menurun. Dari sebanyak 33,56 juta ton pada 2020, turun tipis menjadi 33,12 juta ton pada 2021.
Tren itu berlanjut dan volume ekspor CPO kembali turun menjadi 31, 9 juta ton pada 2022. Kemudian, volumenya naik 32,21 juta ton pada 2023, dan hingga Mei 2024 volume ekspor CPO berada di angka 11,72 juta ton.
Tidak Kompetitif
Penurunan kinerja ekspor CPO ini, lanjut Eddy, turut disebabkan lesunya permintaan dari negara tujuan ekspor, terutama China. Dia menyebutkan CPO asal Indonesia paling banyak diimpor oleh China, kemudian disusul India dan Pakistan.
"Kenapa demikian? Kemarin saya balik dari China, itu minyak bunga matahari lebih murah dibandingkan sawit karena mereka oversupply," ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) penurunan ekspor CPO dan produk turunannya terjadi di sejumlah negara tujuan. Seperti di antaranya adalah angka ekspor CPO ke India turun 59,31% (mtm) dan turun 67,50% (yoy).
Di samping itu, ekspor CPO Indonesia ke China juga menurun ke angka 49,56% (mtm) dan 30,04% (yoy). Tak sampai di situ, penurunan ekspor CPO juga terjadi ke Pakistan sebesar 17,78% (mtm) dan 18,62% (yoy).
Baca Juga: RI Tak Bisa Tentukan Harga CPO Dunia, GAPKI: Pangsa Pasar Kurang
"Saya langsung (bertemu) dengan Ketua Kadin di sana, yang khusus untuk impor nabati, minyak sawit lebih mahal, sehingga mereka melakukan pembelian banyak ke minyak matahari dan pengurangan ke sawit," tambah Eddy.
Sejalan dengan itu, Eddy meminta kepada pemerintah untuk mengeluarkan instrumen atau kebijakan fiskal. Jadi, saat harga sawit tidak kompetitif, dapat turunkan sementara dan bisa menjadi kompetitif naik kembali.
"Karena minyak sawit bukan satu satunya minyak nabati di dunia. Sawit ini pangsanya di dunia 33% artinya masih ada 67% minyak nabati lain, salah satunya minyak bunga matahari," ucap Eddy.