14 November 2024
08:00 WIB
Kakao Masuk Swasembada Pangan, Petani: Masih Banyak PR Pemerintah
APKAI menyambut rencana pemerintah memasukkan kakao dalam target swasembada pangan. Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah untuk bisa mencapai target swasembada kakao.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Petani membelah buah kakao yang membusuk dari pohonnya di Desa Takosang, Mamuju, Sulawesi Barat beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Akbar Tado
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Arief Zamroni mengaku setuju jika pemerintah menetapkan swasembada kakao, mengingat produksi kakao Indonesia saat ini terus mengalami penurunan. Namun di sisi lain, menurutnya banyak masalah terkait produksi kakao yang harus dibenahi dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
“Untuk swasembada kakao, saya pikir saya setuju dan senang sekali,” kata Arief saat dihubungi Validnews, Rabu (13/11).
Data produksi kakao dari Badan Pusat Statistik (BPS) memang menunjukkan adanya penurunan produksi, di tahun 2019 terakumulasi produksi mencapai 774,2 ribu ton, lalu 2020 anjlok menjadi 720,6 ribu ton. Penurunan masih berlanjut, yakni pada 2021 sebanyak 688,21 ribu ton, kemudian 2022 hanya 650 ribu ton, dan tahun 2023 sebanyak 641,7 ribu ton.
Baca Juga: Ikhtiar Mengembalikan Kejayaan Kakao Nusantara
Namun menurut Arief, data tersebut salah, lantaran perhitungan yang digunakan adalah berdasarkan estimasi luasan lahan yang pernah gencar digalakkan melalui Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Jumlah produksi tersebut masih terlalu tinggi daripada realitas di lapangan.
“Data itu yang ditertawakan orang. Sebenarnya produktivitas kita itu per hari ini tinggal 219 ribu ton per tahun. Itu sudah dari tahun 2018 hanya 300an ribu ton sekian. Jadi data BPS itu hitungnya dari estimasi luasan yang pernah ditanam, bukan benar-benar hidup,” ungkapnya.
Penurunan produksi yang terjadi saat ini menurut Arief, disebabkan banyak faktor. Pertama, banyaknya pohon kakao yang sudah menua sehingga produktivitas menurun. Kedua, penuaan usia juga terjadi pada petani yang menggarap perkebunan kakao. Ketiga adalah alih fungsi lahan menjadi lahan komoditas tanaman lain yang memiliki harga jual lebih unggul, dan keempat adalah penurunan produktivitas kakao imbas El Nino.
Oleh karena itu, ia mengusulkan beberapa upaya perbaikan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar impian swasembada kakao. Langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah rehabilitasi perkebunan.
“Yang pertama itu adalah rehabilitasi, yang tua-tua dipotong atau disambung dan seterusnya,” jelas Arief.
Upaya kedua adalah ekstensifikasi atau pengembangan kembali lahan. Ini erat kaitannya dengan alih fungsi lahan kakao yang terjadi, dan diperkirakan saat ini menyisakan lahan kakao sekitar 700 ribu hektare (ha). Upaya ketiga adalah dengan agroforestry.
Baca Juga: Peringkat RI Turun Sebagai Negara Penghasil Kakao Dunia, Ada Apa?
Melalui perbaikan-perbaikan tersebut dan jika segera dilakukan, Arief optimis peningkatan produksi kakao bisa melonjak drastis dalam empat tahun ke depan.
“(Langkah-langkah) itu cepat sekali pulih. Kira-kira dalam empat tahun nanti panen pertama, kita produksinya sudah bagus. Kalau memang bisa tambah sekitar 500 ribu hektare (ha) itu sudah bagus,” imbuhnya.
Arief pun mengaku bahwa pihaknya sempat menyampaikan usulan mengenai perlunya ekstensifikasi untuk peningkatan produksi kakao kepada pemerintah.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, Indonesia perlu melakukan swasembada selain tanaman pangan seperti beras, jagung dan tebu. Swasembada yang perlu dikejar lainnya adalah kakao, kopi, dan kelapa.
“Kami sekarang tambah lagi, cokelat karena itu unggulan kita,” kata Zulhas di Jakarta, Rabu (30/10).