14 Juni 2025
16:17 WIB
Iran Vs Israel Dongkrak Harga Minyak, Airlangga: Belum Ada Dampak Langsung Ke RI
Analis Goldman Sachs memperkirakan konflik tersebut bisa melumpuhkan sementara pasokan Iran sebanyak 1,75 juta barel per hari dalam waktu enam bulan, yang bisa berdampak pada kenaikan harga minyak.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Suasana anjungan lepas pantai Yakin Field Daerah Operasi Bagian Selatan (DOBS) Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT), Kalimantan Timur, Senin (25/3/2024). Antara Foto/Hafidz Mubarak A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara Iran dan Israel yang kian memanas belum memberikan dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia.
Meski begitu ia mengatakan pemerintah tetap mewaspadai dampak lanjutannya, terutama terkait potensi lonjakan harga minyak global.
“Kalau kita lihat di Timur Tengah kan transmisinya relatif lambat, dan kita lihat tergantung harga minyak. Dan harga minyak tentu beberapa negara punya kepentingan untuk menahan lonjakan harga minyak, jadi kita tunggu saja,” kata Airlangga saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/6).
Pernyataan ini disampaikan menyusul serangan udara Israel ke sejumlah titik di Iran pada Jumat pagi waktu setempat.
Sementara soal potensi dampak terhadap nilai tukar rupiah, Airlangga menyebut dampak dari konflik tersebut bersifat sentimen, khususnya terkait kekhawatiran akan ketersediaan pasokan minyak.
Baca Juga: Harga Minyak Stabil, Pasar Fokus Ke Negosiasi Dagang AS-China
“Penjalarannya (dampak) karena Timur Tengah memang sudah ‘panas’, jadi relatif dari segi perdagangan itu tidak tertransmisi (terdampak), tetapi dari segi sentimen, ketersediaan supply minyak itu yang perlu kita perhatikan dulu,” ungkapnya.
Adapun konflik yang memanas di kawasan Timur Tengah turut mendorong harga minyak dunia naik ke kisaran US$72-73 per barel, lebih tinggi dari rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang berada di level US$65,29 per barel.
Saat ditanya apakah pemerintah telah melakukan koordinasi khusus untuk mengantisipasi gejolak kawasan, Menko Airlangga menyebut pemantauan situasi masih dilakukan.
“Ya kan baru tadi pagi, ya kita monitor dulu,” ucapnya.
Harga Meroket
Harga minyak mentah dunia melonjak signifikan setelah Israel meluncurkan serangan udara ke Iran pada Jumat (13/6).
Melansir dari Mint Markets, harga minyak mentah melonjak lebih dari 7% pada hari Jumat karena konflik Israel-Iran meningkatkan kekhawatiran akan gangguan yang lebih luas dalam ekspor minyak dari Timur Tengah.
Minyak mentah Brent berjangka naik US$4,87, atau 7,02%, menjadi US$74,23 per barel setelah sebelumnya melonjak lebih dari 13% ke level tertinggi intraday US$78,50, level terkuat sejak 27 Januari. Untuk minggu ini, harga minyak Brent naik 12,5%.
Minyak mentah West Texas Intermediate AS berakhir US$4,94, atau 7,26%, lebih tinggi hingga mencapai US$72,98 per barel. Selama sesi tersebut, minyak WTI melonjak lebih dari 14% menjadi US$77,62, level tertinggi sejak 21 Januari. WTI naik 13% ke levelnya seminggu yang lalu.
Kedua patokan tersebut mencatat pergerakan intraday terbesar sejak 2022, ketika invasi Rusia ke Ukraina memicu lonjakan harga energi.
Sebelumnya, CBS News melaporkan Teheran akan membalas dengan menyerang fasilitas militer AS di Irak. Situasi ini menambah ketegangan geopolitik yang sudah lama terjadi di kawasan tersebut.
Baca Juga: Wamen ESDM: Lifting Minyak RI Sudah Capai 610 Ribu Barel Per Hari
Yahoo Finance melaporkan analis Goldman Sachs memperkirakan konflik tersebut bisa melumpuhkan sementara pasokan Iran sebanyak 1,75 juta barel per hari dalam waktu enam bulan, yang hanya bisa diimbangi sebagian oleh peningkatan produksi dari produsen lain di dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+).
"Kami memperkirakan bahwa Brent melonjak ke puncaknya sedikit di atas US$90/bbl tetapi turun kembali ke US$60-an pada tahun 2026 karena pasokan Iran pulih," tulis Daan Struyven dari Goldman dan timnya dalam sebuah catatan yang diterbitkan Jumat pagi.
Risiko kenaikan berikutnya akan bergantung pada ruang lingkup respons Iran terhadap serangan Israel terhadap program nuklirnya. Konflik yang lebih luas yang melibatkan produsen regional atau penutupan Selat Hormuz—yang dilalui sekitar 20% aliran minyak global—dapat mendorong harga sekitar 35% lebih tinggi dari level saat ini.
"Berdasarkan analisis kami sebelumnya, kami memperkirakan harga minyak dapat melampaui US$100/bbl dalam skenario ekstrem berupa gangguan yang berkepanjangan," tulis tim Goldman.
Sebelum serangan Israel, analis JPMorgan telah memperkirakan harga Brent bisa melonjak setinggi US$120 dalam skenario terburuk.
Namun, kedua perusahaan melihat penutupan Hormuz sebagai skenario yang tidak mungkin, dan kenaikan harga apa pun hanya akan berlangsung sebentar.
"Zona nyaman kami tetap pada harga minyak dalam kisaran US$60-65, karena kenaikan yang berkelanjutan dapat berdampak buruk pada inflasi, membalikkan penurunan harga konsumen AS selama berbulan-bulan," tulis Natasha Kaneva dari JPMorgan pada Jumat pagi.
Risiko hancurnya permintaan tetap menjadi faktor pembatas utama.
"Masalahnya adalah konsumen tidak mampu membayar harga tersebut. Jadi permintaan akan turun secara signifikan," kata analis energi Hedgeye Risk Management, Fernando Valle, kepada Yahoo Finance. "Biasanya, tidak butuh waktu lama setelah pertikaian awal ini sebelum keadaan berbalik."