c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

14 Agustus 2025

17:23 WIB

Indonesia Dinilai Kurang Berambisi Wujudkan Industri Hijau

Memiliki pasar dan peluang yang sama seperti China, sayangnya Indonesia dirasa belum memiliki ambisi besar dalam merealisasikan praktik industri hijau.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Indonesia Dinilai Kurang Berambisi Wujudkan Industri Hijau</p>
<p id="isPasted">Indonesia Dinilai Kurang Berambisi Wujudkan Industri Hijau</p>

Ilustrasi aneka industri hijau. Shutterstock/bombermoon

JAKARTA – Deputi Direktur The Prakarsa Victoria Fanggidae mengatakan, Indonesia tidak memiliki ambisi yang cukup dalam merealisasikan industri hijau secara keseluruhan, meski agenda tersebut sering disuarakan dalam berbagai narasi pembangunan.

Membandingkan dengan China yang kerap menanamkan investasi dalam proyek industri hijau di tanah air, Victoria menilai bahwa Indonesia sebenarnya memiliki pasar dan kapasitas yang besar, namun modal tersebut tidak diikuti dengan ambisi dan keseriusan yang memadai.

“Kita mengundang investor dari China, tapi apa yang kalau secara green industrial policy, apa yang bisa kita adaptasi dari apa yang telah dilakukan China? China punya pasar, dia melakukan itu, kita juga punya pasar sebetulnya, tapi kita belum melakukan itu dengan ambisi yang cukup besar sesuai kapasitas,” ujar Victoria dalam Talkshow Indef bertajuk ‘Akselerasi Kebijakan Industri Hijau Sebagai Mesin Pembangunan Ekonomi’ di Jakarta, Kamis (14/8).

Baca Juga: Tekan Emisi Sektor Industri, Kemenperin Godok Kebijakan Pembatasan dan Pendanaan

Lebih detail, Victoria juga menyorot kurangnya kebijakan industri hijau yang dibuat Indonesia jika disandingkan dengan negara tetangga yang berada di satu kawasan, salah satunya Vietnam.

Dirinya menyorot pemerintah Vietnam yang sudah menetapkan bahwa di tahun 2026, kawasan ring satu di Kota Hanoi sepenuhnya hanya akan diisi oleh berbagai moda transportasi listrik. Sementara di Indonesia, pada kawasan rendah emisi (KRE) di Jakarta kebijakannya masih sebatas meningkatkan standard emisi dari euro 2 ke euro 4.

Sebagai catatan, euro 2 dan euro 4 merupakan standar emisi yang ditetapkan Uni Eropa untuk kendaraan bermotor terkait teknologi gas buang, di mana euro 4 menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih efisien dan emisi yang lebih rendah.

Terlepas dari berbagai faktor, Victoria kembali menyorot Vietnam yang telah berupaya membentuk ekosistem produksi EV sejak tahun 90-an, meski dilakukan melalui perusahaan-perusahaan skala kecil.

“Ini kita dua negara yang berada di satu region, dan itu menunjukkan ambisi kita untuk pindah transisi itu rendah,” ujarnya.

Baca Juga: Kemenperin-UNIDO Kerja Sama Kembangkan Industri Hijau dan Hilirisasi Nikel

Lebih lanjut mengenai daya saing, Victoria kembali menegaskan bahwa Indonesia memiliki semua modal yang dibutuhkan dan potensi jika ingin membangun ekosistem EV secara serius. Ditambah lagi, Indonesia memiliki potensi nikel yang hingga saat ini masih tercatat sebagai salah satu negara dengan deposit nikel terbesar dunia, diikuti dengan adanya pasar yang dimiliki.

Namun, berbagai potensi tersebut diingatkan Victoria terhalang oleh berbagai faktor, mulai dari permasalahan tata kelola, konsistensi, dan insentif-insentif yang masih berantakan di banyak tempat sehingga tidak terpusat ke dalam satu paket kebijakan besar.

“Kalau dikelola dengan baik optimal itu pasar, mungkin Indonesia tidak perlu khawatir persaingan. Ini negara besar dengan ambisi cukup kecil, itu kira-kira saya bilang bahwa Indonesia (sebenarnya) bisa,” pungkas Victoria.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar