c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

05 Januari 2023

16:52 WIB

Indef: Manufaktur Indonesia Tunjukkan Gejala Deindustrialisasi

Indef memandang sektor industri manufaktur Indonesia mengalami perlambatan sebelum waktunya, atau sebelum mencapai titik optimumnya.

Penulis: Khairul Kahfi

Indef: Manufaktur Indonesia Tunjukkan Gejala Deindustrialisasi
Indef: Manufaktur Indonesia Tunjukkan Gejala Deindustrialisasi
Ilustrasi manufaktur. Pekerja merakit sepeda motor listrik Gesits di pabrik PT Wika Industri Manufaktur, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021). Antara Foto/Aditya Pradana Putra

JAKARTA – Ekonom Senior Indef Faisal Basri menilai, kondisi pertumbuhan industri manufaktur nasional berada dalam gejala dini deindustrialisasi. Hal ini dia simpulkan, berdasarkan catatan historis pertumbuhan sektor utama tersebut yang selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara umum (PDB). 

Mengacu data BPS, pertumbuhan manufaktur selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB sejak 2005, kecuali tahun 2011 yang tumbuh 6,3% secara tahunan (year on year/yoy) dibanding PDB yang tumbuh 6,2% yoy saja. 

Bahkan, selama Januari-September 2022, pertumbuhan industri manufaktur (4,6%) kembali lebih rendah daripada capaian PDB (5,4%). 

“Sektor industri manufaktur kita mengalami perlambatan sebelum waktunya, atau sebelum mencapai titik optimumnya,” jelasnya dalam ‘Catatan Awal Ekonomi 2023’, Jakarta, Kamis (5/1).

Lebih lanjut jika dibandingkan negara lain, peranan industri manufaktur Indonesia terhadap PDB juga telah merosot tajam dari level yang belum tinggi di kisaran 29,1% pada awal 2000-an, dengan tren terus menurun hingga hari ini. Sementara itu, hingga kuartal III/2022, kontribusi sektor ini tersisa 18,3% saja.

Baca Juga: BKF: Pemulihan Manufaktur Berlanjut di Tengah Perlambatan Global

Dirinya pun tidak heran, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat kondisi ini bisa disalip oleh Vietnam yang industri manufakturnya terus tumbuh optimal sejak 2010. 

Indonesia juga terlihat belum bisa mencapai level pertumbuhan industri yang seperti yang dialami oleh China dan Korea, begitu juga negara tetangga terdekat seperti Thailand dan Malaysia.

“Jika industri melemah, kelas menengah jadi memble, sehingga lapisan buruh formal relatif sedikit,” ungkapnya. 

Penelitian IPB University menjelaskan, menurunnya kontribusi sektor industri cukup mengkhawatirkan bagi sebuah negara. Mengingat sektor industri sangat diharapkan berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingginya tingkat pengangguran.

Pada gilirannya, Faisal menyebut, kondisi deindustrialisasi juga akan mempersempit dan memperlemah pola ekspor manufaktur Indonesia. 

Akibatnya, Indonesia hanya bisa menjual produknya ke dunia yang berbentuk komoditas mentah saja, alih-alih menjual produk bernilai tambah tinggi yang berasal dari manufaktur.

“Jadi, kita tetap bergantung pada ekspor komoditas yang hanya membutuhkan upaya otot, tenaga, keringat dan kurang pakai otak. Karena tinggal petik-jual, keruk batubara-jual, tebang pohon-jual,” terangnya. 

Sejauh ini pun, persentase ekspor produk manufaktur Indonesia di 2021 hanya sekitar 44,9%, lebih rendah dari medio 2000-an yang sempat menyentuh 56,7%. 

Bahkan, situasi ini pun semakin miris, karena Indonesia sudah tertinggal jauh dibandingkan India, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Kamboja yang sudah di atas 60%.

Adapun, agar dapat dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas persentase ekspor produk manufakturnya harus menyentuh 81,5%. 

“Struktur ekspor kita juga jomplang dengan negara-negara lain yang lebih mengandalkan otak, kalau kita otot,” ucapnya. 

Situasi ini pun terkonfirmasi dengan manufakturisasi industri di dalam negeri yang cenderung rendah diversifikasi. Faisal menyayangkan, industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada segelintir subsektor industri.

“Bayangkan dua jenis industri, yakni industri makanan-minuman dengan kontribusi hampir 40%, ditambah industri kimia-farmasi dan herbal itu menyumbang 50% dari total (pertumbuhan) industri manufaktur nonmigas," ucapnya.

Belum Bisa Disebut Dutch Disease
Meski demikian, Faisal menyebut situasi yang saat ini terjadi belum bisa mengategorikan Indonesia telah terjangkit dutch disease. Hal itu Faisal jelaskan, ketika ditanya mengenai tren harga komoditas yang tinggi sehingga mendorong kinerja ekspor, berbanding kontribusi manufaktur ke PDB yang cenderung menurun.

Dutch disease tidak terjadi, itu kan kita rely on pada satu atau dua jenis komoditas, diekspor sehingga devisa kita naik, rupiahnya menguat, (situasi) itu merusak ekspor yang lain. Karena barang kita dalam mata uang US dolar jadi lebih naik,” terangnya.

Informasi tambahan, dutch disease merupakan istilah yang diperkenalkan oleh The Economist pada tahun 1977 untuk menggambarkan pelemahan sektor manufaktur di Belanda, setelah ditemukan cadangan gas di Groningen, yang merupakan cadangan gas terbesar di Eropa. 

Secara mudah, dutch disease dapat dijelaskan, bahwa pertumbuhan di sektor tertentu (booming sector), biasanya bersumber dari ekstraksi sumber daya alam atau produksi tanaman komoditas, yang dapat menyebabkan melemahnya sektor lain (lagging sector), seperti sektor manufaktur atau pertanian.

Sebelumnya, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita bersyukur karena sepanjang 2022, sektor industri manufaktur di Tanah Air konsisten berada dalam level ekspansif. Tercermin pada capaian Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia dengan posisi di atas 50 poin. 

Baca Juga: Meski Optimistis, Menperin Waspadai Pertumbuhan Manufaktur Tahun Depan

Pada Desember 2022, PMI Manufaktur Indonesia ditutup pada tingkat 50,9 poin atau berhasil naik dibandingkan perolehan bulan sebelumnya yang menyentuh di angka 50,3.Berdasarkan hasil survei yang dirilis S&P Global, PMI Manufaktur Indonesia bertahan dalam fase ekspansif selama 16 bulan beruntun sejak September 2021. 

Kemenperin menilai, kinerja positif ini menunjukkan, geliat industri manufaktur nasional terus mengalami perbaikan dan semakin pulih. 

Setelah beberapa waktu sebelumnya terdampak pandemi covid-19 dan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu karena ancaman resesi.

Realisasi investasi dari industri manufaktur diperkirakan akan mencapai Rp450-470 triliun pada 2023, naik 7% dibandingkan tahun ini yang diproyeksi sebesar Rp439,33 triliun. 

“Seiring dengan itu, nilai ekspor industri pengolahan nonmigas pada 2022 diproyeksikan mencapai US$210,38 miliar, dan pada 2023 ditargetkan sebesar US$225 -245 miliar,” sebut Menperin.

Di samping itu, peningkatan investasi di sektor industri juga akan mendongkrak serapan tenaga kerja. Pada 2022, total serapan tenaga kerja diperkirakan mencapai 19,11 juta orang, sedangkan pada 2023 sebanyak 19,2-20,2 juta orang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar