19 Desember 2024
20:31 WIB
Indef: Hilirisasi Tembaga RI Masih Lesu, Belum Kuasai Rantai Pasok Global
Ekonom menilai, Indonesia seharusnya masuk Top 5 eksportir produk turunan tembaga di dunia, mengingat posisinya sebagai produsen dan eksportir bijih tembaga utama.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Ilustrasi Pabrik Produksi Tembaga. Shutterstock/Jose Luis Stephens
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, hilirisasi tembaga di Indonesia masih lemah dan belum menguasai rantai pasok global, padahal Indonesia adalah penghasil tembaga.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan, itu tecermin dari ekspor produk turunan tembaga asal Indonesia yang minim. Contohnya, RI hanya berada di peringkat ke-18 sebagai eksportir tembaga katoda.
Menurut Esther, Indonesia sebagai penghasil bijih tembaga sekaligus eksportir terbesar ketiga setidaknya bisa masuk Top 5 negara penghasil produk turunan tembaga di dunia.
"Seharusnya kalau kita menjadi produsen tembaga nomor tiga terbesar di dunia, maka kita juga bisa menjadi produsen tembaga katoda, tembaga rod, tembaga wire, elektrik wire, juga paling tidak 5 besar di dunia," ujarnya dalam Diskusi Publik: Strategi Memperkuat Hilirisasi dan Daya Saing Melalui Optimalisasi Industri Tembaga, Kamis (19/12).
Esther memerinci, ada 4 jenis produk turunan tembaga, yaitu tembaga katoda, batang tembaga atau tembaga rod (Cu rod), kabel/kawat tembaga (Cu wire), dan electric wire.
Berdasarkan data TradeMap 2024, Indonesia berada di ranking ke-3 sebagai eksportir bijih tembaga terbesar dunia. Adapun nilai ekspornya mencapai US$8.326 dengan volume 2,9 juta ton.
Baca Juga: Indef: Indonesia Harus Bersiap, Permintaan Tembaga Global Terus Meningkat
Adapun yang lebih unggul dari Indonesia, yakni Chili dengan ekspor bijih tembaga 12 juta ton atau senilai US$23.854 juta. Kemudian, Peru dengan ekspor 10 juta ton atau senilai US$19.991 juta.
Meski demikian, Esther beranggapan RI kurang unggul sebagai eksportir produk turunan tembaga atau hasil hilirisasinya. Ini tecermin dari posisinya di rantai pasok global.
"Ini kan sangat disayangkan, kita produsen tembaga ketiga terbesar, tetapi ketika kita diolah menjadi tembaga katoda, ini masih berada di peringkat ke-18," ucapnya.
Secara rinci, Indef mencatat, Indonesia berada di peringkat ke-18 eksportir tembaga katoda. Adapun volume ekspornya sebanyak 15.000 ton, dengan nilai US$981.000.
Indonesia kalah dari beberapa negara yang menjadi eksportir tembaga katoda. Di antaranya, Chili, Kongo, Jepang, Rusia, dan Australia.
Untuk komoditas tembaga rod, Indonesia berada di peringkat ke-14, dengan volume ekspor 5.793 ton dan nilai ekspor US$2 juta. Adapun negara yang lebih unggul meliputi Bulgaria, Taipei, Prancis, Jerman dan Thailand.
Untuk tembaga wire dan electric wire, Indonesia sama-sama berada di posisi ke-13 rantai pasok dunia. Ekspor tembaga wire mencapai 52.268 ton dengan nilai US$444.000, sedangkan ekspor electric wire sebanyak 17.094 ton dan nilainya US$177.000.
Negara eksportir tembaga wire terbesar ada Jerman, Belgia, AS, Kanada, Polandia. Sementara negara eksportir electric wire terbesar, yakni Djibouti, China, Jerman, AS, dan Spanyol.
Melihat posisi Indonesia, Esther menyarankan, agar pemerintah mengembangkan produk hilir seperti tembaga wire dan electric wire. Sebab, posisi keduanya, lebih unggul di pasar global ketimbang tembaga rod dan katoda.
"Untuk produk-produk hilir seperti electric wire dan tembaga wire ini, kita punya daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu potensi hilirisasi itu sebaiknya dikembangkan ke arah sana," imbaunya.
Ekonom Indef itu mengatakan, Indonesia perlu mendorong ekspor produk hilir yang bernilai tambah. Menurutnya, ini menjadi tolok ukur keberhasilan program hilirisasi nantinya.
Baca Juga: Tembaga RI Laris Di Pasar Global US$3,21 M, Ingat 2025 Tutup Keran Ekspor
Ia menyarankan, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas teknologi, transfer knowledge dan teknologi, serta mengintegrasi rantai nilai dari hulu ke hilir. Tujuannya, guna menyukseskan program hilirisasi.
"Cerminan keberhasilan awal hilirisasi itu, maka kita harus terus mendorong untuk mengekspor barang-barang atau produk-produk yang bernilai tambah," ungkap Esther.
Ia menambahkan, ada tren peningkatan ekspor tembaga wire dari 50.000 ton pada 2019, menjadi 150.000 ton pada 2023. Menurutnya, ini menunjukkan keberhasilan awal hilirisasi.
Sementara itu, Esher menyebutkan, ada penurunan ekspor produk antara, seperti ekspor katoda. Puncaknya pada 2021, Indonesia mengekspor 700.000 ton, lalu anjlok pada 2023 menjadi 400.000 ton saja.
Dia memetakan, tembaga wire bisa menjadi komoditas unggulan hasil hilirisasi RI berikutnya yang siap diekspor ke negara lain. Nah, peningkatan tersebut perlu didorong dengan membangun smelter atau fasilitas pemurnian tembaga.
"Tren peningkatan ini harus didorong dengan pembangunan sejumlah smelter dan pengolahan tembaga yang lainnya, sehingga kita bisa menciptakan produk-produk dari turunan tembaga dan kita ekspor ke negara lain," kata Esther.