19 Desember 2024
18:53 WIB
Indef: Indonesia Harus Bersiap, Permintaan Tembaga Global Terus Meningkat
Permintaan pasar global terhadap produk turunan tembaga akan makin tinggi rata-rata sebesar 14% sampai 2035. Ke depannya pasar global tidak lagi menggemari bijih tembaga alias tembaga mentah.
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi Pabrik Produksi Tembaga. Shutterstock/Jose Luis Stephens
JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan, Indonesia sebagai salah satu produsen utama perlu bersiap-siap menghadapi tingkat konsumsi global tembaga yang terus meningkat hingga 2035 mendatang.
Karena itu, Indonesia mesti bersiap menyambut permintaan pasar tembaga global ke depan, utamanya terhadap produk turunannya. Dia menilai, RI berperan penting sebagai pemain tembaga di pasar global.
"Kita melihat konsumsi tembaga global diprediksi akan terus meningkat sampai dengan tahun 2035, dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 14%," ujarnya dalam Diskusi Publik: Strategi Memperkuat Hilirisasi dan Daya Saing Melalui Optimalisasi Industri Tembaga, Jakarta, Kamis (19/12).
Esther juga menyampaikan, saat ini Indonesia maupun global sudah mengarah kepada ekonomi hijau (green economy) atau melakukan transisi hijau. Sekali lagi, perubahan lanskap ini menjadi peluang ekonomi bagi Indonesia yang tak bisa diabaikan.
Dia menjelaskan, perkembangan global itu membuka peluang besar bagi Indonesia sebagai negara penghasil bahan baku mineral kritis, seperti nikel dan tembaga, untuk mendukung teknologi ramah lingkungan.
"Perkembangan global ke arah green economy juga berpeluang besar bagi Indonesia, karena kita adalah produsen mineral-mineral yang lumayan cukup dibutuhkan di dunia," katanya.
Lewat nikel dan tembaga, sambungnya, Indonesia berpotensi menyuplai bahan baku untuk teknologi hijau. Contohnya, baterai kendaraan listrik atau sebagai komponen untuk infrastruktur Energi Baru Terbarukan (EBT).
Untuk diketahui, tembaga merupakan salah satu bahan baku untuk membuat baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Selain tembaga, pembuatan baterai EV bisa menggunakan litium dan nikel.
Baca Juga: Tembaga RI Laris Di Pasar Global US$3,21 M, Ingat 2025 Tutup Keran Ekspor
Lebih lanjut, Esther menyampaikan, permintaan global terhadap produk turunan tembaga tumbuh positif. Ada empat jenis produk, yakni katoda, batang tembaga (Cu rod), kabel/kawat tembaga (Cu wire), dan electric wire.
"Kalau kita lihat permintaan dari produk-produk turunan atau derivative products dari komoditas tembaga ini juga relatif sangat besar, baik itu berupa katoda, tembaga rod, wire atau pun electric wire," jabarnya.
Indef mencatat, permintaan globalnya untuk katoda di 2023 sebanyak 247.900 ton, atau lebih rendah dari capaian 2022 yang sebanyak 272.300 ton.
Permintaan produk Cu rod juga demikian. Pada 2023 sebanyak 8,9 juta ton, atau lebih rendah dari 2022 yang sebanyak 9,5 juta ton.
Sementara permintaan tembaga wire meningkat, dari 2,1 juta ton pada 2022 menjadi 2,2 juta ton pada 2023. Serupa, permintaan electric wire juga naik, dari 651.100 ton di 2022 menjadi 754.800 ton di 2023.
Melihat perkembangan ini, permintaan global terhadap produk turunan tembaga akan makin tinggi. Terlebih, dia menekankan, saat ini negara lain sudah tidak lagi mengimpor bijih tembaga atau tembaga mentah, melainkan produk bernilai tambah hasil hilirisasi.
"Tren ini menunjukkan pergeseran ke produk bernilai tambah tinggi. Jadi permintaan global sudah tidak dalam bentuk bijih tembaga, tetapi sudah dalam bentuk katoda, tembaga rod, atau produk turunan dari tembaga yang lainnya," tegas Esther.
Sebagai negara penghasil tembaga, Esther menuturkan, Indonesia harus mengambil kesempatan permintaan tembaga global yang tinggi ini. RI harus bisa mengolah bijih tembaga menjadi produk-produk turunan yang memang menjadi permintaan di pasar global.
Posisi Tembaga Indonesia dan Dunia
Indef mencatat, Indonesia memegang posisi strategis dalam peta persebaran tembaga global. RI juga memiliki sekitar 3% cadangan tembaga dunia, yakni sebanyak 24 juta ton.
Indonesia menduduki peringkat ke-10 negara dengan cadangan tembaga terbesar di dunia, sekaligus produsen tembaga terbesar di Asia Tenggara.
Secara rinci, ada 13 negara dengan cadangan tembaga terbesar. Mencakup Chile (190 juta ton), Peru (120 juta ton), Australia (100 juta ton), Kongo (80 juta ton), dan Rusia (80 juta ton).
Kemudian, Meksiko (53 juta ton), Amerika Serikat (50 juta ton), China (41 juta ton), Polandia (34 juta ton), Indonesia (24 juta ton), Zambia (21 juta ton), Kazakhstan (20 juta ton), dan Kanada (7,6 juta ton).
Baca Juga: Bea Keluar Berpotensi Raib Rp10 T Imbas Larangan Ekspor Tembaga 2025
Sementara untuk jumlah produksinya, Indonesia mampu menghasilkan 840.000 ton pada 2023. Dengan torehan ini, RI mengukuhkan posisi sebagai produsen penambangan tembaga terbesar ke-7 di dunia.
Indef juga mencatat, negara produsen tembaga terbesar di dunia, seperti Chile (5 juta ton), Peru (2,6 juta ton), Kongo (2,5 juta ton), China (1,7 juta ton), dan Amerika Serikat (1,1 juta ton).
Kemudian, Rusia (910.000 ton), Indonesia (840.000 ton), Australia (810.000 ton), Zambia (760.000 ton), Meksiko (750.000 ton), Kazakhstan (600.000 ton), Kanada (840.000 ton), dan Polandia (400.000 ton).
Meski memiliki cadangan dan kapasitas produksi tembaga yang jumbo, Esther menyoroti, industri hilir tembaga Indonesia masih tertinggal ketimbang negara lain. Begitu pula, jika dibandingkan dengan beberapa negara yang tidak memiliki cadangan tembaga signifikan.
"Kita juga harus fokus bagaimana mengoptimalisasi apa yang sudah kita lakukan di hilirisasi ini. Jadi kita harus meningkatkan kapasitas teknologi, transfer teknologi, transfer knowledge, kemudian produksi dan bagaimana bisa mengintegrasi rantai nilai dari hulu sampai hilir," imbuhnya.