c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

06 Agustus 2025

15:57 WIB

Indef Beberkan Kejanggalan Data BPS Soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12%

Indef menilai data yang dirilis BPS tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan, sekaligus tidak sinkron dengan data-data lain yang dikeluarkan pemerintah.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="auto" id="isPasted">Indef Beberkan Kejanggalan Data BPS Soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12%</p>
<p dir="auto" id="isPasted">Indef Beberkan Kejanggalan Data BPS Soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12%</p>

Ilustrasi - Warga beraktivitas di kawasan Petamburan, Jakarta, Selasa (5/5/2020). Antara Foto/Dhemas Reviyanto/hp.

JAKARTA - Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menekankan kejanggalan terhadap data pertumbuhan ekonomi 5,12% di kuartal II/2025 yang baru saja diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS).

Menurutnya, kejanggalan itu terlihat lantaran banyak data dalam laporan yang dimaksud tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Terlebih, terdapat ketidaksinkronan data yang dikeluarkan BPS dengan laporan pemerintah dari berbagai sektor sebelumnya.

"Beberapa data tidak match ini tentu menjadi pertanyaan publik. Apakah pertumbuhan ekonomi 5,12% itu cukup menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia riil," ujar Andry dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2025, Jakarta, Rabu (6/8).

Baca Juga: Tepis Tudingan Manipulasi Data Pertumbuhan Ekonomi, Menko Airlangga: Mana Ada

Lebih jauh, Andry menyampaikan, kinerja ekonomi di kuartal kedua pada tahun ini belum terlihat kuat mengacu informasi yang disampaikan sejumlah asosiasi dan pelaku industri.

Kondisi tersebut, khususnya terjadi pada sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, serta pertambangan.

Namun pada data yang BPS laporkan, beberapa sektor yang dimaksud justru tercatat mengalami pertumbuhan. Misalnya, lapangan usaha perdagangan yang diumumkan tumbuh 5,37%.

Di sisi lain, pengusaha ritel mengakui adanya penurunan omzet, terutama setelah adanya fenomena yang mengindikasikan pelemahan daya beli yang kemudian dikenal dengan istrilah Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya).

"Apa yang disampaikan BPS, terkait pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali, apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” tambah Andry.

Sorot Realita Investasi
Dalam kesempatan sama, Ekonom Senior Indef M. Fadhil Hasan juga meragukan keabsahan data BPS yang secara spesifik menyorot salah satu komponen penyumbang pertumbuhan, yakni investasi.

Adapun, BPS melaporkan, sektor Investasi atau PMTB tumbuh 6,99% (yoy) pada kuartal II/2025 atau menjadi yang tertinggi sejak kuartal II/2021. 

Padahal, merujuk pada data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, terdapat penurunan perolehan penanaman modal asing atau PMA (FDI) di kuartal ini. 

"FDI asing, ini keterangan dari Pak Rosan (Menteri Investasi) sendiri menyatakan bahwa turun (menjadi) Rp202,2 triliun, dari periode tahun lalu triwulan II/2024 yang Rp217,3 triliun," urai Fadhil.

Baca Juga: PCO Jelaskan Jeda Waktu PMI-PMTB, Ungkit Investasi Kuartal II

Selain itu, dirinya juga menyorot beberapa indikator lain yang juga banyak digarisbawahi oleh kalangan ekonom lainnya. Seperti peningkatan PHK selama semester I/2025, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun, serta pesimisme terhadap penghasilan masyarakat.  

Selain itu, terdapat net capital outflow di pasar keuangan Indonesia dan turunnya penerimaan pajak, khususnya PPN dan PPnBM. Menurut Fadhil, seharusnya komponen penerimaan negara via pajak tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi.  

"Jadi saya kira ini sesuatu yang juga menyebabkan atau mendorong seharusnya pemerintah itu lebih transparan lagi, lebih terbuka lagi, lebih akuntabel lagi dalam hal pendataan tentang pertumbuhan ekonomi tersebut," tegasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar