c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

23 Mei 2025

17:36 WIB

Implementasi Pajak RI Tak Mudah, Apindo Ingatkan PR Krusial Dirjen Baru

Apindo menyoroti perombakan besar-besaran jajaran Kemenkeu di tengah tantangan fiskal yang menantang pada 2025, khususnya pengangkatan Dirjen Pajak baru Bimo Wijayanto. 

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Khairul Kahfi

<p>Implementasi Pajak RI Tak Mudah, Apindo Ingatkan PR Krusial Dirjen Baru</p>
<p>Implementasi Pajak RI Tak Mudah, Apindo Ingatkan PR Krusial Dirjen Baru</p>

Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, Jakarta, Kamis (25/7/2024). Antara Foto/Erlangga Bregas Prakoso/Spt

JAKARTA - Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyoroti perombakan besar-besaran jajaran Kemenkeu di tengah tantangan fiskal yang menantang pada 2025. Info saja, Menkeu Sri Mulyani telah melantik 22 pejabat eselon I jajarannya, dengan yang paling mencolok adalah pengangkatan Dirjen Pajak baru Bimo Wijayanto. 

Ajib mengingatkan, Bimo selaku eks Asisten Deputi Investasi Strategis Kemenko Marves akan dihadapkan pada target penerimaan pajak APBN 2025 hingga Rp2.183,9 triliun, yang baru tercapai Rp322,6 triliun atau 14,7% di kuartal I/2025. Dalam kondisi ideal, penerimaan pajak kuartal pertama seharusnya bisa mencapai 20% dari target.

Di sisi lain, dia menekankan, penerimaan pajak Indonesia 2024 mengalami shortfall sekitar Rp50 triliun. Padahal, penerimaan pajak pada kuartal I tahun tersebut tercapai hingga 19,2%. 

"Kalau kondisi pencapaian hanya bersifat ceteris paribus (biasa-biasa saja) dan tanpa terobosan, potensi shortfall penerimaan pajak tahun 2025 mencapai Rp100 triliun lebih," kata Ajib dalam keterangan tertulis kepada Validnews, Jakarta, Jumat (23/5).

Baca Juga: Pesan ke Bimo-Djaka, Menkeu: Perbaiki Coretax Dan Mudahkan Wajib Pajak

Dia pun mengingatkan bahwa tantangan fiskal tahun 2025 sangat kompleks. Paling tidak, ada lima tantangan yang harus bisa dimitigasi dengan baik oleh jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dinakhodai kepala baru. 

"Pertama adalah kondisi ekonomi yang cenderung melandai. Proyeksi pertumbuhan ekonomi (RI) yang sebelumnya bisa mencapai angka konservatif 5,2%, dikoreksi karena kondisi domestik dan global yang fluktuatif," ujarnya.

Worldbank juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,7-4,9%. Proyeksi ini terkonfimasi pada pertumbuhan kuartal I/2025 yang hanya mencapai 4,87%. Faktor pertumbuhan ekonomi ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan. 

Kedua, persoalan grey economy di Indonesia yang belum terdeteksi oleh sistem perpajakan Indonesia. Data BPS menyebutkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2024 sebesar Rp22.139 triliun. Sekitar lebih dari 54% PDB tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga atau kisaran Rp12.000 triliun.

Di sisi lain, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2024 hanya sebesar Rp828,5 triliun. Kondisi ini pun juga karena sebagian restitusi dimasukkan pada periode tahun selanjutnya. 

"Dengan data-data tersebut, kisaran volume konsumsi sebesar Rp2.000 triliun sampai Rp4.000 triliun masih masuk grey economy," tambah dia.

Baca Juga: Ini Daftar 22 Pejabat Baru Kementerian Keuangan Yang Dilantik Sri Mulyani

Tantangan ketiga, utang jatuh tempo tahun 2025. Akibat scarring effect pandemi covid-19 lalu, kondisi fiskal 2025 terbebani utang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun. Adapun pemerintah sudah melakukan front loading utang sampai dengan April 2025 mencapai Rp250 triliun.

"Pemerintah harus lebih memitigasi, agar secara agregat sampai akhir tahun utang APBN tidak melebihi 3% dari PDB," tegas dia.

Tantangan keempat, berbagai program ultra populis pemerintah yang akan potensial menambah alokasi pengeluaran negara. Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Kopdes Merah Putih, dan Program 3 Juta Rumah, memerlukan kajian komprehensif dalam pengalokasian pengeluaran tambahan dari APBN. 

Bahkan, di sisi lain, program pemerintah lain seperti Danantara, Ajib sinyalir juga dapat mereduksi penerimaan negara. Lantaran, dari yang sebelumnya dividen BUMN masuk ke negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menjadi dikelola secara mandiri oleh Danantara. 

"Hal ini potensi mengoreksi penerimaan negara kisaran Rp90 triliun," sebutnya.

Tantangan kelima adalah sistem Coretax. Ajib menekankan, setidaknya Coretax sampai Mei ini masih menjadi masalah pajak tersendiri, jauh dari harapan sistem layanan perpajakan terintegrasi yang dapat mempermudah dan meningkatkan compliance wajib pajak Indonesia.

"Ketidaksiapan sistem dan mitigasi risiko (sistem Coretax), justru menjadikan cost compliance yang tinggi di sisi wajib pajak dan berkontribusi negatif terhadap penerimaan berjalan," tegasnya.

Baca Juga: Jadi Dirjen Bea Cukai, Menko Airlangga Pastikan Letjen Djaka Resmi Purnawirawan

Oleh karena itu, pemerintah harus lebih memitigasi agar penerimaan negara bisa bergerak 'nyaman', karena penerimaan pajak menopang lebih dari 60% total belanja APBN. 

"Paling tidak, pemerintah harus melakukan tiga hal. Pertama, memberikan daya ungkit ekonomi lebih cepat. Kedua, mendesain ulang struktur belanja, dengan prinsip spending better. Ketiga, memperbaiki sistem, database dan layanan terhadap wajib pajak," beber Ajib. 

Dengan demikian, pemerintah patut mengevaluasi Coretax secara proporsional dan objektif ke depannya. 

Selain itu, sambungnya, pemerintah bisa mempertimbangkan dua hal lain terkait kebijakan untuk menambal potensi shortfall penerimaan. 

Pertama, opsi membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Kedua, adalah mendorong pemberlakuan tax amnesty jilid III. Hal ini bisa menambah potensi penerimaan negara kisaran Rp60 triliun sampai Rp130 triliun.

"Harapan dunia usaha, perombakan struktur di Kementerian Keuangan, bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang akseleratif sekaligus menciptakan iklim berusaha yang positif," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar