c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

26 Juni 2025

10:20 WIB

ILO Bahas Tenaga Kerja Berbasis Platform Digital, APINDO: Baru 15% dan Penuh Tantangan

APINDO menyatakan ILO tengah membahas kebijakan untuk tenaga kerja berbasis platform digital. Banyaknya tantangan membuat progres baru mencapai 15% substansi.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p id="isPasted">ILO Bahas Tenaga Kerja Berbasis Platform Digital, APINDO: Baru 15% dan Penuh Tantangan</p>
<p id="isPasted">ILO Bahas Tenaga Kerja Berbasis Platform Digital, APINDO: Baru 15% dan Penuh Tantangan</p>

Ilustrasi pekerja ekonomi digital. Sejumlah pengemudi ojek daring menunggu penumpang di Jalan Raya Margonda, Kota Depok, Jawa Barat, R abu (20/3/2024). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA - Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam mengungkapkan kebijakan untuk ekonomi digital, termasuk pekerja berbasis platform digital, yang adaptif dan realistis menjadi salah satu topik yang dibahas Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) ke -113 di Palais des Nations, Jenewa, Swiss.

Pada sesi Konferensi tahun 2025, delegasi Pemerintah, pemberi kerja dan pekerja dari 187 Negara Anggota ILO membahas berbagai masalah penting dunia kerja seperti standar internasional baru tentang perlindungan pekerja terhadap bahaya biologis di lingkungan kerja, pekerjaan layak dalam ekonomi berbasis platform dan pendekatan inovatif untuk mendorong transisi dari ekonomi informal ke ekonomi formal.

Bob yang mewakili kelompok pengusaha Indonesia, menjadi bagian dari delegasi tripartit Indonesia bersama pemerintah dan serikat pekerja.

Ia menyampaikan, pembahasan isu pekerjaan layak di ekonomi berbasis platform merupakan pembahasan perdana dalam Komite Penetapan Standar ILO.

Menurutnya, seluruh pihak tripartit yang hadir sepakat perlindungan menyeluruh penting bagi seluruh pekerja di ekonomi digital, yakni bagi pekerja itu sendiri, maupun keberlanjutan bagi ekosistem platform dan UMKM.

"(Pembahasan ini) disepakati pendekatan berbasis prinsip agar instrumen yang dihasilkan fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara," ungkap Bob dalam keterangan tertulis, Rabu (25/6).

Dalam pembahasan tersebut, Bob menyatakan negara dari Kawasan Eropa, Amerika Latin, dan Afrika mendukung jenis instrumen konvensi yang mengikat sebagai penentu kebijakan pekerjaan layak di ekonomi berbasis digital. Hal ini dengan alasan menyesuaikan sistem ketenagakerjaan di negara-negara tersebut.

Sementara negara lainnya dengan populasi pekerja platform terbesar seperti Tingkok, Amerika Serikat (AS), India, Swiss, dan Jepang, justru mendorong rekomendasi yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional.

Artinya, mayoritas pekerja platform di dunia adalah berusaha sendiri, serta pentingnya menjaga kestabilan agar tidak mematikan UMKM yang sangat bergantung pada ekonomi digital.

Baca Juga: Tenaga Kerja Butuh Kebijakan Adaptif di Era Digitalisasi

Bob menjelaskan, pembahasan yang berlangsung selama dua pekan tersebut belum menemukan titik akhir atau masih sekitar 15% dari keseluruhan substansi. Meski demikian, konferensi memutuskan untuk mengambil bentuk konvensi.

Pembahasan yang baru mencakup 15% dari substansi lantaran isu yang ada sangat kompleks dan perlu kehati-hatian agar instrumen yang dihasilkan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi digital, serta tetap menghormati sistem hukum dan ketenagakerjaan di tiap negara.

"Selama dua minggu pembahasan, disepakati bahwa definisi pekerja platform mencakup penyedia layanan dalam platform baik sebagai pekerja dalam hubungan kerja, mereka yang beruaha sendiri, maupun kategori khusus lainnya. Tergantung konteks nasional negara masing-masing," tambah Bob.

Hal tersebut memberi batasan definisi, sehingga tak ada asumsi otomatis bahwa seluruh pekerja platform harus dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja. Kata dia, instrumen yang dirumuskan wajib menghormati sistem hukum ketenagakerjaan dan hukum bisnis di masing-masing negara.

Sementara itu untuk ruang lingkup platform yang dibahas juga bersifat luas, yakni tidak hanya berbasis lokasi seperti transportasi dan pengantaran, namun juga platform digital berbasis online seperti telehealth, pariwisata digital, edutech, freelancer, hingga pekerja kreatif.

Lebih khusus, Bob menjelaskan tantangan dari Indonesia juga cukup besar, yakni kondisi global yang tidak stabil seperti ketidakpastian perdaganggan hingga tekanan nilai tukar dan naiknya biaya produksi dalam negeri. Hal ini tentu berdampak pada sektor padat karya yang terpaksa mengurangi tenaga kerja.

Tantangan besar lainnya yang dihadapi Indonesia adalah di sisi ketenagakerjaan, yakni sebanyak 7,47 juta pengangguran, 11,56 juta setengah menganggur, dan tingginya proporsi pekerja informal. Bahkan data BPS menunjukkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91%.

Sementara itu, pemerintahan Prabowo saat ini tengah mengejar perluasan lapangan kerja sebagai prioritas, menargetkan pertumbuhan ekonomi 8%, dan penciptaan 19 juta pekerjaan.

Oleh karena itu, ia menilai dunia usaha dan pekerja perlu dilibatkan sebagai mitra strategis untuk memastikan akses kerja termasuk melalui potensi pertumbuhan ekonomi digital yang diproyeksikan menjadi US$360 miliar di tahun 2030 dari tahun 2023 senilai US$822 miliar, dengan Indoneia menyumbang sepertiga dari total ekonomi digital di ASEAN.

"Prinsip decent work di platform harus dirancang hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi, dua elemen kunci penciptaan lapangan kerja di era digital. Dunia usaha berharap ILO menghasilkan instrumen yang melindungi tenaga kerja tanpa memaksakan model kerja konvesional," tandas Bob.

Baca Juga: Jalan Terjal Pelindungan Pekerja Digital

Tekankan Fleksibilitas
Lebih lanjut, Juru Bicara Kelompok Pengusaha Internasional asal Amerika Serikat, Ewa Staworzynska, menekankan poin utama dalam draf instrumen untuk pembahasan yang akan datang.

Pertama, regulasi harus menghormati perbedaan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan tidak menyamaratakan hak serta kewajiban pekerja dalam hubungan kerja dengan mereka yang berusaha sendiri. Kedua, ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perlu disesuaikan dengan kebutuhan fleksibilitas tenaga kerja yang bekerja dalam berbagai platform secara bersamaan.

Ketiga, seluruh pekerja harus dijamin akses terhadap jaminan sosial melalui skema yang sesuai dengan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan konteks nasional. 

Terakhir, regulasi harus dapat mendorong pertumbuhan ekosistem platform, termasuk UMKM dan wirausaha, tanpa membatasi inovasi secara berlebihan, misalnya lewat pengawasan terhadap penerapan algoritma platform yang terlalu ketat.

“Diskusi tahun pertama ini membuktikan pentingnya dialog sosial. ILO harus tetap menjadi Lembaga rujukan, bukan ruang legislasi yang memaksakan agenda nasional atau regional,” tegas Ewa dalam sidang pleno.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar