26 September 2023
20:48 WIB
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Terhitung, dua tahun sudah, Rizki Aprilia (20) menjadi host live streaming di aplikasi TikTok. Tanpa harus meninggalkan bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan, kocek Rizki bisa terus terisi.
“Sudah dua tahun, sejak semester tiga kuliah, saya direkrut agensi host live streaming,” kata Rizki di Jakarta, Kamis (21/9).
Kontrak pertama yang didapatnya adalah sebagai host live streaming salah satu platform gim. Perempuan muda ini menjadi host sambil main Mobile Legend atau Valorant. Dari aksinya, dia menerima bayaran dari agensi dan bonus dari saweran orang-orang yang menonton.
Nmun, karena lelah harus terus siaran malam, Rizki memutuskan tak memperpanjang kontrak pada Juni 2022. Sampai pada November 2022, agensi yang sama menawarkan untuk menjadi salah satu host live streaming di aplikasi TikTok.
Rizki wajib live streaming minimal satu jam per hari, kecuali hari Minggu. Jika ada event khusus, dia harus live streaming minimal tiga jam sesuai kesepakatan dengan pemilik produk dan target yang harus dicapai.
Rizki mengaku, menjadi seorang host live streaming, dituntut untuk memiliki tampilan menarik bagi penonton. Namun hal paling utama, lanjutnya, adalah kemampuan komunikasi dan pengetahuan produk yang mumpuni.
Rizki bersyukur, pendapatannya sebagai host live streaming, dapat membiayai kedua orang tuanya umrah. Maklum, dia tak hanya dapat bayaran pokok dari agensi, acap kali juga mendapat bonus dari gift yang diberikan penonton saat live streaming dan bonus karena berhasil menembus target.
Hanya saja, aku Rizki, tak seperti pegawai kantoran yang setiap bulan haknya dia terima. Kadang, pendapatannya dirapel untuk beberapa bulan. Umumnya hal ini terjadi karena agensi belum menerima pembayaran dari vendor yang menggunakan jasa talent mereka.
Bahkan, menurut Rizki beberapa host live streaming yang tidak dinaungi agensi sering kali harus menunggu pembayaran hingga berbulan-bulan.
Ironisnya, hal ini tak hanya dialami satu dua orang saja, tapi sudah menjadi pemakluman karena dialami banyak pekerja lepas sektor digital.
Perlu Regulasi
Menyikapi hal ini, Executive Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira pun mendesak pemerintah untuk membuat regulasi untuk melindungi dan mendukung para pekerja di sektor digital ini.
Dia menilai, fenomena munculnya berbagai profesi baru merupakan sebuah keniscayaan dari transformasi digital. Pekerjaan digital memang cocok ya dengan tipikal milenial dan Gen Z karena waktu yang fleksibel, tidak perlu datang ke kantor setiap hari, hingga potensi pendapatan yang relatif tinggi.
“Adanya profesi baru di dunia digital terutama sosial media yang makin beragam akan membantu penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yang tentu harus dilengkapi dengan skill digital,” kata Bhima, Senin (25/9).
Bhima mengatakan, beberapa pekerjaan ternyata tidak semua menawarkan pelindungan dan kepastian kerja. Ada yang kerjanya bisa 18 jam, dengan pendapatan yang tidak pasti bahkan di bawah upah minimum regional (UMR).
Belum lagi, kecelakaan kerja tidak dijamin oleh perusahaan, kemudian banyak pekerja digital tidak memiliki akses ke BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan.
“Bahkan, uang pensiun dan pesangon pun tidak ada jika terjadi pemutusan kerja, ini lah yang harus menjadi perhatian pemerintah,” kata Bhima.
Untuk itu, dalam jangka pendek, dia mendesak pemerintah segera membuat regulasi untuk memastikan pekerja digital mendapatkan hak memiliki BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian jam kerja tidak melanggar aturan tenaga kerja.
Sementara itu, untuk jangka panjang, ia melihat pekerja digital seharusnya bisa berstatus pegawai tetap bukan kontrak atau outsourcing.
Hal ini harus bisa segera diatur, mengingat semakin cepatnya berkembang teknologi dan munculnya pekerjaan baru di sektor digital.

Peluang Pekerja Digital
Jika dicermati lebih jauh, potensi ekonomi digital memang tak bisa disia-siakan, termasuk dalam menyerap tenaga kerja. Direktur Tata Kelola Ekonomi Digital Kementerian Pariwisata dan Ekonimi Kreatif (Kemenparekraf) Yuana Rochma Astusi menilai, industri kreatif di Indonesia memang telah mengalami pertumbuhan positif dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan industri digital yang juga bertumbuh pesat.
Hal ini ditandai dengan nilai ekonomi digital Indonesia yang mencapai US$77 miliar, tumbuh signifikan sebesar 19% year on year. Bahkan, pada 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai US$130 miliar, serta terus meningkat hingga mencapai US$220-360 miliar pada 2030.
“Kami terus berkomitmen mendukung para pelaku industri kreatif, baik melalui kebijakan, program pelatihan, maupun promosi internasional,” kata Yuana, Selasa (26/9).
Ya, ekonomi digital yang berkembang, memang memunculkan lapangan kerja, bahkan profesi baru. Kemunculan media sosial dan e- commerce, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.
Sektor tersebut telah menciptakan lapangan pekerjaan beragam yang membutuhkan sejumlah keterampilan.
Hasil riset yang dilakukan Bank Dunia dan McKinsey menunjukkan, Indonesia setidaknya membutuhkan sembilan juta talenta digital pada tahun 2030. Bisa dibilang, peluang yang dihadirkan oleh ekonomi digital, begitu luas.
“Menjadi momen penting untuk mendorong inovasi, kewirausahaan, dan kemajuan ekonomi secara menyeluruh,” kata Yuana.
Karena itulah, lanjut Yuana, Kemenparekraf telah memiliki peta jalan untuk mendukung perkembangan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Pada sektor ekonomi kreatif tidak jauh berbeda dengan tahun 2022/2023, di mana preferensi konsumsi barang ekraf lebih ke produk yang lebih personal.
Adapun tren lain yang dapat dirasakan yakni experiential experience yang menawarkan pengalaman berbeda terhadap konsumen, terutama pada saat aktivasi produk.
“Kemajuan teknologi memberi pengaruh bagi hampir seluruh subsektor ekraf. Pengaruh teknologi terasa tidak hanya dalam proses produksi, namun juga dalam pemasarannya,” kata Yuana.
Kemenparekraf memang melihat perkembangan ini begitu positif dan relevan. Ini lantaran kondisi ini memungkinkan anak muda untuk tetap up to date dengan teknologi terbaru melalui platform- platform digital.
Ujungnya, kondisi ini mengharuskan anak muda meningkatkan keterampilan, juga memanfaatkan peluang-peluang baru dalam lingkungan yang semakin terhubung.
Jika disimpulkan, keterampilan utama di dunia digital saat ini adalah kreativitas. Diikuti, penguasaan teknologi-teknologi terbaru, adaptabilitas, dan kemampuan komunikasi yang baik akan membantu orang bekerja di industri kreatif.
“Kami melihat perkembangan ini positif. Kami berharap pada 2024, Indonesia dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara ini,” kata Yuana.
Pelindungan Pekerja Digital
Hanya saja, meski punya potensi besar menghasilkan keuntungan yang cukup signifikan, Kemenparekraf mengakui, para pekerja di sektor digital ini juga membutuhkan pelindungan yang sama dengan para pekerja di sektor lain.
Karena itulah, pihaknya pun akan mengkaji kembali peraturan khusus untuk para pekerja di platform-platform digital.
“Secara garis besar, pelindungan terhadap tenaga kerja telah diatur dalam UU Cipta Tenaga Kerja (Omnibus Law), di mana hak- hak pegawai dan pekerja disahkan dan dilindungi,” kata Yuana.
Menurut Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Indah Anggoro Putri, permasalahan ketenagakerjaan memang terus dihadapi Indonesia setiap tahunnya.
Mulai dari permasalahan pengangguran, pelindungan tenaga kerja, pemenuhan hak-hak tenaga kerja, hingga masalah keterampilan dan pendidikan tenaga kerja.
Nah, hadirnya berbagai platform media sosial dan e- commerce yang berkaitan erat dengan teknologi pun memunculkan berbagai jenis pekerjaan baru.
“Kami melihat ada potensi besar untuk pekerjaan di sektor digital yang berkaitan dengan ekonomi digital, dan ini harus jadi perhatian pemerintah, apalagi pengguna internet kita terus meningkat setiap tahunnya,” kata Indah, Jumat (22/9).
Senada dengan Yuana, Indah mengakui terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor digital ini juga harus dibarengi dengan pelindungan. Menurut dia, hal ini mendesak pemerintah untuk semakin meningkatkan pelindungan bagi pekerja di sektor digital.
“Kami memang sudah mulai memerhatikan dan berupaya untuk menyusun regulasi terkait pekerja di sektor digital agar mereka bisa mendapatkan hak dan pelindungan yang sama dengan pekerja di sektor lain,” kata Indah.
Untuk yang tergabung menjadi pegawai di perusahaan yang berbasis teknologi, pelindungan jaminan sosial umumnya sudah didapat. Masalahnya, sejauh ini banyak pekerja lepas (freelance) di sektor digital.
Oleh karena itu, mereka tidak memiliki pelindungan sosial seperti pekerja di sektor lain.
“Nanti kami masih siapkan rancangannya. Semua pekerja di Indonesia wajib mendapatkan pelindungan tanpa terkecuali,” serunya.
Pelindungan dibutuhkan untuk menjamin hak-hak dasar para pekerja dan menghindarkan mereka dari perlakuan diskrimnasi. Sekaligus, untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
“Harus dipastikan, mereka bisa mendapatkan hak-haknya sama seperti pekerja yang lain, mereka tidak boleh asal di cut, sama saja dengan pekerja lain,” kata Indah.
Sementara itu, untuk meminimalisasi berbagai risiko yang mungkin terjadi, seperti tidak terbayarnya upah dan pemutusan kerja sepihak, para pekerja yang bekerja dengan perseorangan harus memiliki perjanjian kerja. Bahkan, para pekerja ini harus tetap mendaftar layanan BPJSTK secara mandiri dan meminta pemberi kerja untuk membayarnya dalam upah tiap bulan.
Untuk para individu yang mempekerjakan orang lain juga disarankan membayarkan iuran BPJSTK, meskipun tidak diwajibkan. Hal ini perlu dilakukan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang dipekerjakan.
“Kalau bisa mereka tetap ikut BPJSTK yang pembayarannya dibebankan dalam gaji, dengan demikian mereka tetap bisa dapat jaminan sosial,” ucap Indah.
Perjanjian Kerja
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, sejauh ini pihaknya memang belum menerima aduan terkait dengan permasalahan pekerja digital.
Kalaupun ada beberapa aduan yang masuk dari sejumlah perusahaan di sektor digital, kebanyakan masih berupa masalah THR atau pembayaran upah.
“Kalau dari perusahaan memang sempat ada, tapi kalau dari yang pekerja digital freelance atau yang kerja dengan individu begitu kami tidak pernah menerimanya,” kata Hari.
Hari menambahkan, jika ada pekerja di sektor digital yang kesulitan untuk mendapatkan hak-haknya bisa melaporkannya ke Disnaker DKI Jakarta atau Disnaker terdekat wilayah kerjanya. Dia menjamin, Pemerintah akan berupaya membantu pihak-pihak yang berkonflik.
Selain itu, dia pun mendorong agar pihak pemberi kerja dan penerima kerja bisa memiliki perjanjian kerja supaya tidak terjadi pelanggaran di kemudian hari.
Dia juga mendorong agar para pekerja di sektor digital khususnya yang berstatus pekerja lepas bisa mendaftar kepesertaan BPJS, dengan menjadi anggota Bukan Penerima Upah (BPU) BPJS.
Dengan demikian, mereka akan tetap mendapatkan pelindungan dan jaminan sosial sama seperti pekerja di sektor lain.
“Aturan untuk pekerja lepas dan pekerja di sektor digital memang belum ada, tapi sebisa mungkin mereka bisa melindungi diri mereka dengan perjanjian kerja,” tandasnya.