c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

19 Maret 2025

10:25 WIB

IHSG Anjlok Hingga 5%, Analis Saham Ungkap Biang Keroknya

Analis saham mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sentimen yang menjadi perhatian saat ini, mulai dari global hingga domestik. Apa saja?

Penulis: Fitriana Monica Sari

<p>IHSG Anjlok Hingga 5%, Analis Saham Ungkap Biang Keroknya</p>
<p>IHSG Anjlok Hingga 5%, Analis Saham Ungkap Biang Keroknya</p>

Pegawai melintas di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Global (IHSG) di Gedung Bursa Efek, Jakarta, Kamis (28/3/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan

JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada penutupan perdagangan Selasa (18/3), ditutup di zona merah. IHSG melemah 248,55 poin atau 3,84% menjadi 6.223,38.

Sebelumnya, IHSG terpantau anjlok sebesar 5,02% menjelang penutupan perdagangan sesi I, Selasa (18/3). Atas hal itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan langkah pembekuan sementara perdagangan (trading halt) selama 30 menit.

Pengamat Pasar Modal Ibrahim Assuaibi mengatakan bahwa penurunan IHSG yang terjadi pada hari ini turun cukup luar biasa. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan IHSG mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu tentang perang dagang, biaya kebijakan perdagangan di Amerika Serikat (AS). 

"Pasca Trump terpilih sebagai presiden di situ pun juga sudah berkoar-koar tentang masalah perang dagang, bagaimana neraca perdagangan Amerika dengan negara-negara yang notabene terjadi surplus ya ini akan dilawan dengan biaya impor, salah satunya adalah Tiongkok, kemudian Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko. Negara-negara tersebut merupakan negara-negara mitra bisnis yang kita lihat cukup bagus ya bagi mereka," kata Ibrahim kepada media, Selasa (18/3).

Selain itu, lanjut dia, beberapa minggu ke belakang, arus modal asing di pasar modal Indonesia terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa investor ini kembali menarik dananya di pasar modal di Indonesia.

"Bisa saja mereka juga ada ketakutan tentang stabilitas ekonomis dan global, terutama adalah resesi ya, sehingga mereka bersiap-siap untuk menarik dananya, memindahkan investasinya ke negara-negara yang mereka tuju lebih baik dari Indonesia," imbuhnya.

Baca Juga: IHSG Anjlok 5%, BEI Bekukan Sementara Perdagangan Saham

Kemudian, sambung Ibrahim, tidak adanya ketidakpastian ekonomi domestik juga menjadi penyebab IHSG anjlok. Saat ini, kondisi di dalam negeri dalam kondisi yang terus bergejolak, terutama adalah defisit anggaran yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Asal tahu saja, APBN defisit Rp31,2 triliun hingga akhir Februari 2025. Jumlah itu setara dengan 0,13% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Ini pun juga menjadi satu permasalahan tersendiri ya apakah ini akan berlanjut karena defisit anggaran ini kalau seandainya tidak dibenahi secara baik-baik ya ini kemungkinan besar akan melebar kembali sampai akhir tahun," terang Ibrahim.

Tak hanya itu saja, Ibrahim menilai fluktuasi nilai tukar rupiah akan kembali terpengaruh dengan adanya perang dagang. Bahkan, menurutnya, rupiah dapat terperosok hingga menyentuh level Rp16.900 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Ada kemungkinan besar dengan perang dagang yang begitu dahsyat saat ini, ini pasti akan mempengaruhi pelemahan mata uang rupiah. Bahkan, banyak yang menerka rupiah ini akan ke Rp16.900 sampai akhir tahun. Nah, ini pasti akan berpengaruh ya terhadap IHSG," jelas dia.

Selanjutnya, saham-saham teknologi yang berguguran juga berpengaruh terhadap IHSG baik di Amerika, Eropa, maupun Asia.

Berikutnya, gejolak konflik yang begitu dahsyat terjadi kembali di Timur Tengah, di mana Israel melakukan penyerangan terhadap jalur Gaza dan bahkan menyebabkan 121 orang meninggal dunia.

"Ini mengindikasikan bahwa perang terbuka antara Hamas dan Israel yang direstui oleh Amerika Serikat kembali lagi terjadi dan ini yang membuat dolar kembali lagi menguat dan pasar sedikit apatis ya terhadap Amerika dan Israel, sehingga wajarlah kalau seandainya IHSG kembali mengalami pelemahan hampir 5%," ungkapnya.

Secara terpisah, Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sentimen yang menjadi perhatian saat ini.

"Pertama, tensi geopolotik yang meningkat karena Putin mau perang lebih lama. Kedua, pembalasan tarif yang lebih besar dari Uni Eropa," ujar Maximilianus dalam keterangan resmi, Selasa (18/3).

Ketiga, lanjutnya, kekhawatiran akan resesi di Amerika yang terus mengalami kenaikkan. Keempat, penerimaan Indonesia yang mengalami penurunan hingga 30%.

Kelima, yang mengakibatkan defisit APBN melebar, sehingga membutuhkan penerbitan utang yang lebih besar dan tentu saja Rupiah kian semakin melemah.

Keenam, tingkat suku bunga Bank Indonesia juga akan lebih sulit untuk mengalami penurunan. Ketujuh, penerimaan pajak yang mengalami penurunan hingga 30,19% (YoY), yang hanya Rp269 triliun. Defisit APBN Rp31,2 triliun per bulan dua kemarin.

Kedelapan, belanja pemerintah juga turun 7%. Kesembilan atau terakhir, alhasil utang pun naik 44,77% pada Januari 2025.

"Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia yang membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil. Sehingga, saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi piihan setelah saham," pungkasnya. 

Pandangan Lain
Secara terpisah, Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan bahwa IHSG anjlok 5,02% ke level 6.146 di tengah bursa regional yang mengalami penguatan seperti Nikkei 1,39%, Hangseng 1,82%, Shanghai 0,09%. Dia pun mengungkapkan penyebab utama anjloknya IHSG. 

"Secara eksternal, ketidakpastian kebijakan The Fed mengenai suku bunga menjadi faktor utama yang mempengaruhi sentimen pasar. Jika inflasi AS masih tinggi, maka pemangkasan suku bunga bisa tertunda, yang membuat aset berisiko seperti saham menjadi kurang menarik," ujar Hendra kepada media, Selasa (18/3).

Selain itu, lanjut dia, dalam tiga minggu terakhir, pasar saham AS kehilangan nilai hingga US$5,28 triliun, menambah tekanan pada pasar Asia, termasuk Indonesia. 

"Investor global lebih berhati-hati dalam mengalokasikan dana, sehingga aliran modal ke pasar negara berkembang seperti Indonesia pun ikut terhambat," imbuhnya.

Di dalam negeri, kata Hendra, tekanan terhadap IHSG semakin kuat akibat berbagai faktor ekonomi. 

Sepanjang 2025, investor asing telah mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp26,04 triliun, termasuk Rp1,77 triliun hanya dalam sepekan terakhir. Hal ini menandakan kepercayaan investor asing terhadap pasar Indonesia sedang menurun. 

Selain itu, defisit APBN per Februari 2025 tercatat Rp31,2 triliun, dengan pembayaran bunga utang mencapai Rp79,3 triliun dalam dua bulan pertama. Kenaikan beban utang ini dinilai dapat menghambat belanja produktif pemerintah, sehingga ekonomi tidak mendapat dorongan optimal.

Baca Juga: Ekonom Nilai Ambruknya IHSG Akibat Sentimen Fiskal RI Bermasalah

Sektor riil juga menghadapi tekanan besar, terlihat dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) serta meningkatnya kredit macet (NPL) yang naik menjadi 2,17% pada Januari 2025 dari 1,9% di 2024. Ini menjadi indikator bahwa daya beli masyarakat melemah dan risiko perbankan meningkat. 

Di sisi lain, kurs rupiah yang terus melemah menambah tekanan bagi perusahaan yang memiliki eksposur utang dalam dolar AS.

IHSG juga tertekan oleh aksi jual pada saham-saham berkapitalisasi besar yang menjadi penopang indeks. Saham DCII anjlok 20%, TPIA turun 19,92%, BREN melemah 15,46%, sementara saham perbankan seperti BMRI turun 5,98%, BBRI melemah 4,44%, dan BBNI terkoreksi 5,08%. 

"Kombinasi pelemahan saham sektor perbankan dan konglomerasi dengan bobot terbesar dalam indeks menjadikan IHSG kehilangan daya tahan di tengah tekanan sentimen negatif," ungkap dia.

Dari sisi teknikal, IHSG masih berada dalam tren bearish dan berpotensi menguji level psikologis 6.600 dalam beberapa hari ke depan. 

Meski demikian, Hendra menuturkan bahwa ada peluang pemulihan jika beberapa faktor utama membaik, seperti stabilitas kebijakan ekonomi pemerintah, kepastian arah suku bunga global, serta masuknya kembali dana asing ke pasar saham Indonesia. 

Namun, saat ini, dia melihat bahwa pasar masih berada dalam fase penyesuaian dan menunggu kepastian lebih lanjut terkait kondisi makroekonomi.

"IHSG yang anjlok lebih dari 5% menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia saat ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Investor asing mulai kehilangan kepercayaan akibat kombinasi faktor global dan domestik," terang Hendra.

Meski demikian, dia menyebut, pasar saham bersifat siklikal. Oleh karena itu, jika kebijakan ekonomi lebih stabil dan investor melihat prospek keuntungan yang lebih menarik, menurutnya, bukan tidak mungkin dana asing akan kembali mengalir ke Indonesia, membawa IHSG kembali ke jalur pemulihan. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar