08 Juli 2025
19:05 WIB
IHLC Klaim Tarif 32% AS Tak Gentarkan Industri Halal Indonesia
Walau pun AS tetap memberlakukan kebijakan tarif terhadap Indonesia sebesar 32%, pasar produk halal yang besar justru didominasi negara OKI. Kegiatan ekspor maupun impor produk halal AS sangat kecil.
Editor: Khairul Kahfi
Chairman of Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar agenda Global Launch The State of Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024/2025 di Jakarta, Selasa (8/7/2025). Antara/M. Baqir Idrus Alatas
JAKARTA - Chairman of Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar mengatakan, dampak kebijakan tarif AS sebear 32% terhadap industri halal tidak terlalu besar.
“Soal tarif itu menurut saya tidak terlalu besar dampaknya,” katanya dalam doorstop agenda Global Launch The State of Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024/2025 di Jakarta, Selasa (8/7) melansir Antara.
Baca Juga: Kena Tarif Impor AS 32%, Apa Saja Komoditas Ekspor Indonesia?
Berdasarkan laporan SGIE 2024/2025, sebanyak 2 miliar muslim di dunia telah menghabiskan sekitar US$2,43 triliun di seluruh sektor industri halal, termasuk makanan, farmasi, kosmetik, fesyen, travel, serta media dan rekreasi. Adapun aset keuangan Islam diperkirakan mencapai US$4,93 triliun pada 2023.
Total negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang mengimpor produk halal sebesar US$407,75 miliar pada 2023. Meskipun mengalami penurunan 1,8% dibandingkan 2022, pasar diproyeksikan akan menguat hingga US$608,36 miliar pada 2028 dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) 8,3%.
Menurut dia, proyeksi penguatan itu karena ada dorongan peningkatan permintaan konsumen, kerangka regulasi lebih baik, dan perluasan rantai pasokan halal secara global.
Sapta mengatakan, walaupun Presiden AS Donald Trump tetap memberlakukan kebijakan tarif terhadap Indonesia sebesar 32%, pasar produk halal yang besar justru didominasi negara-negara anggota OKI.
“Pasar halal besar sekali. Ekspor produk halal ke Amerika sangat kecil, impor juga kecil. Justru ekspor kebanyakan ke tempat-tempat lain, termasuk Eropa dan negara OIC (Organisation of Islamic Cooperation/OKI). Sekian triliun dolar (AS) itu banyak ke negara lain,” ungkap dia.
Baca Juga: Kena Tarif 32%, Indonesia Akan Tingkatkan Impor Dari AS
Seperti diketahui, batas waktu tarif sebelumnya ditetapkan pada 9 Juli, menandai berakhirnya jeda 90 hari pada tarif tinggi yang diumumkan sebelumnya yang awalnya diberlakukan pada 2 April 2025.
Baru-baru ini, Trump telah memberikan perintah eksekutif yang menunda batas waktu tarifnya pada 9 Juli hingga 1 Agustus, menurut pengumuman Gedung Putih.
AS tetap mengenakan tarif impor 32% kepada Indonesia, tidak berubah dari nilai tarif resiprokal yang diumumkan sebelumnya pada April lalu, meski proses negosiasi dengan pihak Indonesia terus berlangsung intensif.
Trump pun menyatakan bahwa angka tarif tersebut masih bisa berubah apabila Indonesia sepakat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan dagang dan membuat ekosistem pasar nasional yang lebih terbuka kepada AS.
Legitimasi Moral RI Jadi Pusat Ekonomi Syariah Dunia
Sementara itu, Wakil Presiden Ke-13 RI Ma'ruf Amin mengatakan, Indonesia memiliki legitimasi moral untuk melakukan berbagai upaya menjadi pusat ekonomi syariah dunia.
“Sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia punya legitimasi moral dan juga dukungan demokratis untuk melakukan berbagai upaya, sehingga bisa menjadi pusat ekonomi syariah dunia,” kata Ma'ruf dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Ada 4 Produk UMKM yang Diperkirakan Masih Laku Keras Meski Tarif AS Naik
Saat ini, ekonomi syariah di tingkat global terus berkembang di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim maupun nonmuslim. Perkembangan tersebut didorong sejumlah faktor, antara lain pertumbuhan populasi muslim global yang diperkirakan mencapai 25% dari total populasi dunia, lalu peningkatan kesejahteraan di negara-negara muslim.
Kemudian juga perkembangan teknologi digitalisasi yang telah membantu peningkatan kesadaran beserta pemahaman berbagai pihak atas konsep ekonomi halal yang sesuai prinsip syariah.
Ma’ruf menilai, pengembangan ekonomi syariah Indonesia di sektor riil yang mencakup industri dan ekosistem halal beserta sektor keuangan melalui dana sosial syariah akan membawa nilai tambah ekonomi.
Selain itu berkontribusi pula terhadap usaha mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) yang memberikan nilai tambah sosial.
Pemerintah sendiri disebut telah memiliki arah kebijakan ekonomi syariah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025-2029 yang dikoordinasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Hal ini menjadi momen penting, mengingat perencanaan dan penganggaran pembangunan ekonomi syariah sudah disinkronisasi oleh pemerintah melalui dokumen rencana jangka panjang dan menengah tersebut.
“Ini sekarang sudah terintegrasi (rencana terkait pengembangan ekonomi syariah). Maka, menjadi tugas kita semua untuk mengawal keselarasan dan implementasinya setiap tahun, baik di pusat oleh seluruh kementerian dan lembaga, maupun di daerah, oleh setiap pemerintah daerah, dan seluruh organisasi perangkat,” ungkap Wapres Ke-13 RI itu.