17 Juli 2025
20:32 WIB
Hitung-hitung Untung Dari Bisnis Lapangan Padel
Dibutuhkan investasi sekitar Rp1 miliar untuk pembuatan setiap satu lapangan padel dengan estimasi balik modal di kisaran 1-2 tahun. Lalu, bagaimana untung dari bisnis ini?
Penulis: Yoseph Krishna, Siti Nur Arifa
Editor: Rikando Somba
Sejumlah pegiat olahraga padel antusias didalam lapangan indoor Republic Padel TB Simatupang, Tanjung Barat. ValidnewsID/Hasta Adhistra Ramadhan
JAKARTA – Pembangunan Jakarta kini tidak hanya didominasi gedung-gedung tinggi saja. Bergeser ke daerah Selatan, khususnya di bilangan Simatupang, Cilandak, Pejaten dan sekitarnya, mulai banyak lahan yang digarap menjadi lapangan untuk olahraga menggunakan raket yang belakangan sedang naik daun, yakni padel.
Berdasarkan penelusuran kasar Validnews, Rabu (16/7), setidaknya ada sekitar 20 lapangan padel yang terdeteksi di Jakarta Selatan saat melakukan pencarian di peta Google. Jumlah tersebut belum termasuk fasilitas yang tidak terdeteksi karena baru beroperasi atau masih dalam proses pembangunan. Dalam waktu dekat, dipastikan jumlah fasilitas ini akan terus bertambah bahkan tidak hanya di Jakarta.
“Dalam setahun kita sudah mulai bangun lapangan di beberapa daerah. Salah satunya di Bali, Jakarta sama nanti ada beberapa daerah lagi di Indonesia,” ujar General Manager Padel Club Indonesia Yudhistira Adi Nugraha, kepada Validnews, Kamis (17/7).
Berdasarkan data Pengurus Besar Padel Indonesia (PBPI), saat ini terdapat 133 lapangan padel permanen di Indonesia, dengan mayoritas lapangan berlokasi di Jabodetabek (40%) dan Bali (30%). Sementara sisanya tersebar di sejumlah wilayah seperti Bandung, Semarang, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatra Utara.
Masih menjalankan satu fasilitas yang saat ini beroperasi di Jimbaran, Bali, Yudhi mengungkap meski padel baru menjadi tren di Jakarta beberapa bulan terakhir, olahraga satu ini sudah lebih dulu populer di Bali sebagai kegiatan rekreasi yang mulanya dimainkan para ekspatriat pascacovid-19.
Seiring berjalannya waktu, padel semakin banyak diketahui masyarakat Ibu Kota yang saat itu berlibur ke Pulau Dewata. Kemudian oleh kalangan yang bergelut di bidang bisnis, peluang cuan dari kegiatan ini diboyong ke Jakarta.
Tak heran, jika sejumlah lapangan padel yang kini banyak menjamur di bilangan Jakarta Selatan sebenarnya belum berusia terlalu lama. Kebanyakan baru beroperasi kurang dari satu tahun, atau paling lama dua tahun.
Baca juga: Enrique Corcuera Dan Kisah Terciptanya Padel
Investasi Tergantung Kualitas
Dari sisi modal, investasi yang dibutuhkan untuk membangun sebuah lapangan padel rupanya berbeda-beda, tergantung dari kualitas lapangan yang ingin dikembangkan. Dipengaruhi oleh asal komponen yang dibutuhkan dalam pembangunan, kualitas lapangan padel setidaknya dibagi menjadi tiga level.
Pertama, komponen lapangan padel yang diproduksi lokal dengan modal berkisar Rp400 juta. Kedua, lapangan dengan beberapa komponen yang dibuat di China sehingga membutuhkan modal Rp600 juta. Terakhir yang paling mahal, lapangan dengan komponen yang dibuat dari negara tempat olahraga padel mulai banyak dikenal yakni Spanyol, dengan investasi mencapai Rp1 miliar.
Dari ketiga opsi di atas, modal sebesar Rp1 miliar per lapangan jadi kisaran yang kurang lebih sudah digelontorkan pemilik Padel Club Indonesia di Bali saat pertama kali dibangun pada kisaran April 2024 lalu. Sebagai catatan, modal tersebut sepenuhnya hanya untuk pembangunan lapangan dan belum termasuk biaya operasional.
Yudhi tidak menampik, besar-kecilnya investasi yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas padel juga tergantung dari berapa banyak lapangan yang ingin digarap. Pada fasilitas yang dia kelola, Yudhi menuturkan saat ini terdapat sebanyak lima lapangan yang dapat digunakan oleh pengunjung.
“Tergantung berapa lapangan yang bakal dibangun, dari tiga lapangan (atau) dua lapangan semuanya itu berpengaruh juga. Tapi kalau ambil rata-rata pasti, misalnya lima lapangan itu hampir sekitar Rp5 miliar,” ujarnya.
Baca juga: Mirip, Ini Perbedaan Padel dan Pickleball
Sedikit berbeda dengan Yudhi, Manajer Operasional Racquet Padel Club yang beroperasi di Cilandak Karina Nurherbyanti Herbowo mengungkap, dengan nominal yang sama untuk pembangunan satu lapangan, investasi tersebut menurut penuturannya sudah termasuk biaya awal yang dibutuhkan untuk operasional, tenaga kerja, pemeliharaan lapangan dan lain sebagainya.
Namun saat diminta bocoran mengenai berapa lama estimasi balik modal (BEP) yang dapat diperoleh dari pengelolaan bisnis ini, keduanya kompak menuturkan hal tersebut bergantung dari berbagai faktor yang diterapkan pengelola. Ada biaya sewa per lapangan, level dan kualitas lapangan, serta pemasukan tambahan seperti penjualan merchandise, penyewaan alat, dan fasilitas penunjang yang mempengaruhi.
“…untuk balik modal juga sama itu kan tergantung dari masing-masing brand apakah akan segera BEP atau tidak…” ujar Karina kepada Validnews, Rabu (16/7).
Raket tenis Padel. Shutterstock/Andrew Angelov.
Pasar masih Tinggi
Dari segi operasional dan tren pertumbuhan pengunjung saat ini, baik Yudhi maupun Karina sama-sama menuturkan bahwa minat masyarakat terhadap padel masih sangat tinggi.
Karina secara spesifik menyebut, sebagai pionir yang pertama kali menghadirkan padel club di Jakarta sejak dua tahun lalu, tempatnya nyaris tidak pernah sepi pengunjung baik di hari biasa atau akhir pekan. Dihitung dari tingkat penggunaan, okupansi dari total empat lapangan (court) yang berada di Cilandak sudah menyentuh 90%.
Bahkan disebut Karina, Racquet Padel yang juga memiliki cabang di BSD, Tangerang Selatan, ini sudah mencatat pemesanan lapangan secara penuh menjelang 17 Agustus untuk kebutuhan ajang kompetisi atau turnamen.
“Sekarang untuk menerima brand yang approach untuk event segala macam, jadi agak enggak enak karena ada kesulitan di mencari slot-nya itu,” terangnya.
Racquet Padel sendiri memiliki empat lapangan yang terdiri dari lapangan semi outdoor dan outdoor. Dalam satu hari operasional, pemain atau visitor yang datang ke lokasi sendiri berada di kisaran minimal 50 hingga maksimal 300 orang. Guna memaksimalkan operasional, Karina menuturkan tempatnya tidak hanya menyuguhkan lapangan padel saja, melainkan fasilitas penunjang terintegrasi yang dapat dimanfaatkan oleh pengunjung. Mulai dari fasilitas olahraga tambahan seperti kolam renang, kafe, dan lainnya.
“Di samping yang pemainnya karena kadang juga ada komunitas yang memang setelah main mereka nggak langsung pulang, itu mungkin sehari bisa 200 sampai 300 (pengunjung),” ungkap Karina.
Berbeda lokasi, berbeda pula fokus yang ingin dihadirkan dari sebuah lapangan padel. Setidaknya hal itu yang tecermin dari fasilitas serupa yang dikelola Yudhi. Di Bali, pihaknya mengaku fokus menghadirkan fasilitas lapangan yang memadai bagi pengunjung yang memang berfokus untuk berolahraga.
“Kita lebih fasilitas yang paling utama adalah si lapangannya, jadi kita investasi yang paling besar ada di lapangannya supaya lebih enak, lebih bersih. Itu unsur terpenting dari semuanya,” imbuh Yudhi.
Berbeda dengan Jakarta yang masih diselimuti euforia tinggi akan olahraga padel, di Bali sendiri Yudhi menyebut okupansi untuk satu lapangan berada di kisaran 80%, dengan estimasi pemain 50 sampai 60 orang per hari yang datang dari kalangan masyarakat lokal, turis, atau ekspat.
Meski tidak menunjukkan okupansi dan jumlah pengunjung setinggi Racquet Padel, Yudhi menuturkan tren minat yang saat ini terjadi di Bali masih menunjukkan peningkatan serta cenderung stabil untuk jangka panjang. Hal tersebut terlihat dari pola kunjungan yang biasanya landai di tengah hari dan ramai di waktu pagi dan sore yang memang umum dipilih untuk berolahraga, baik saat hari biasa atau akhir pekan.
Adapun peningkatan signifikan biasanya terjadi di musim liburan sekolah. “Kalau di Bali (okupansi) rata, sama seperti fasilitas olahraga pada umumnya aja kalau sekitar jam 11 sampai jam 2 (siang) itu pasti ada sepinya,” tambah Yudhi.

Estimasi Omzet
Investasi yang tidak sedikit untuk membangun sebuah lapangan padel tentunya perlu balik modal. Namun, baik Karina maupun Yudhi sayangnya masih enggan membeberkan secara gamblang kisaran omzet yang diperoleh dari operasional padel dalam kurun waktu satu bulan.
Meski demikian, keduanya secara terbuka membeberkan informasi mengenai biaya yang dipatok untuk sewa lapangan per jam dan tarif tambahan lainnya. Yudhi misalnya, dia mengungkap kisaran biaya sewa berkisar antara Rp400 ribu hingga Rp600 ribu per jam.
Berdasarkan hitungan kasar Validnews, jika lapangan padel yang dikelola Yudhi beroperasi selama 15 jam mulai pukul 07.00 pagi hingga 22.00 malam setiap harinya, dengan mempertimbangkan okupansi 80% dari sebanyak lima lapangan yang ada, maka dalam satu hari bisa saja pengelola mengantongi pendapatan kotor hingga Rp24 juta. Angka itu diperoleh dengan dikalikan biaya sewa terendah di kisaran Rp400 ribu.
Angka tersebut tentu terbilang besar jika dikalikan dengan 30 hari operasional dalam kurun waktu satu bulan. Namun sebagai catatan, nominal tersebut masih berupa pendapatan kotor. Keuntungan akan dipengaruhi berbagai faktor pengurang sekaligus penambah, mulai dari biaya operasional, dan perbedaan tingkat okupansi saat peak season di musim liburan.
Estimasi di atas, tentu baru berdasarkan pendapatan utama yang diperoleh dari sewa lapangan saja. Nyatanya dalam fasilitas klub padel seperti yang dikelola Yudhi di Bali atau Karina di Jakarta, dan sama seperti lapangan-lapangan lainnya, terdapat objek pendapatan tambahan mulai dari penyewaan alat seperti raket, jasa pelatih atau kelas khusus (private class), penjualan merchandise, dan pendapatan dari kafe atau penjualan makanan dan minuman (f&b).
Sebagai gambaran, untuk fasilitas private dengan pelatih khusus, Racquet Padel yang dikelola Karina mematok biaya paling rendah mulai dari Rp600 ribu hingga paling tinggi Rp1,55 juta per jam, bergantung dari jumlah orang dalam satu grup private dan tingkat profesional pelatih.
Kembali ke perhitungan kasar dan pendapatan satu hari yang sebesar Rp24 juta, jika dikalikan dengan operasional selama satu bulan, maka dapat dikatakan pengelola atau pemilik bisnis lapangan padel dapat mencapai BEP atau balik modal dalam kurun waktu yang terbilang cepat, di kisaran waktu satu hingga dua tahun per lapangan.
Olahraga padel adalah olahraga raket yang memadukan unsur tenis dan squash. ValidnewsID/Hasta Adhistra Ramadhan
Peluang ke Depan
Hitungan mengenai keuntungan dan balik modal dari bisnis lapangan padel diamini oleh Pengamat Bisnis Kafi Kurnia. Dia berpendapat, tingginya tren padel yang saat ini terjadi juga menjadi modal kuat pebisnis untuk menangguk keuntungan semaksimal mungkin. Kondisi ini pula yang menurutnya mendorong semakin banyak lapangan padel bermunculan, lantaran didorong oleh permintaan yang tinggi.
“Bisnis apapun, itu mereka mencari tren, karena tren itulah yang dijadikan modal untuk menciptakan sebuah bisnis yang profitable,” ujar Kafi saat dihubungi Validnews, Rabu (16/7).
Sama halnya seperti strategi yang sudah dilakukan oleh Karina, Kafi menyebut untuk bisa mempertahankan bisnis padel agar tidak hanya menjadi tren musiman, pengelola perlu membuat tempat padel tidak hanya menjadi sekadar lapangan, namun fasilitas terintegrasi layaknya klub olahraga dengan model one-stop sports destination.
“Salah satunya olahraga itu yang menjadi titik fokusnya adalah klubnya gitu. Klubnya itu keren, modern dan terintegrasi, ada restoran, dan kafe, ada segala macam,” tambahnya.
Bukan hanya dari pengelola, menurut Kafi untuk bisa membuat suatu cabang olahraga termasuk padel bisa tetap hidup, perlu juga dihadirkan stimulus yang dapat terus memancing minat para pemain. Salah satunya dengan menggelar kompetisi dan kejuaraan nasional.
Di saat bersamaan, meski padel mayoritas dimainkan oleh kalangan masyarakat menengah ke atas, dirinya menyayangkan rencana Pemerintah atau dalam hal ini Pemda Jakarta, tempat di mana aktivitas padel sedang meningkat, justru terkesan menghadang perkembangan olahraga tersebut. Yakni, dengan menerapkan kebijakan pajak yang tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta No. 257 Tahun 2025.
Dalam kebijakan tersebut, padel termasuk ke dalam fasilitas olahraga yang dikomersialkan dan dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam kategori jasa kesenian dan hiburan. Nantinya, tarif sebesar 10% akan dikenakan terhadap berbagai bentuk pembayaran seperti sewa lapangan, pemesanan, penjualan tiket masuk, hingga paket layanan.
“Karena ini menyasar kalangan menengah ke atas, saya rasa sih nggak berpengaruh ya, tapi maksud saya pemerintah engga usah begitu lah, biarkan dulu padel ini menjadi sesuatu yang sangat populer, baru kemudian belakangannya baru dipajaki. Jangan apa-apa dipajaki,” imbuhnya.
Senada, Yudhi yang sebelumnya mengungkap bahwa pihaknya sedang membangun cabang lapangan padel di bilangan Pejaten, juga mengaku memiliki perhatian tersendiri atas kebijakan tersebut. Dia mengaku, dari segi pelaku usaha pihaknya akan tetap tunduk terhadap kebijakan yang berlaku.
Baginya, kebijakan tersebut dirasa kurang tepat saat diterapkan pada kegiatan yang banyak memberi manfaat kepada publik dan cenderung sedang dalam tahap berkembang.
“Yang disayangkan adalah kenapa kita baru mau berkembang langsung dipajakin. Ini kan olahraga baru, yang pengennya itu sebenarnya gede dulu, jangan memberatkan orang yang ingin olahraga. Dan menurut saya fasilitas olahraga juga justru seharusnya diperbanyak biar masyarakat juga jadi lebih banyak yang olahraga,” pungkasnya.