11 Juni 2024
14:59 WIB
Hindari Efek Crowding Out Modal, Kemenkeu Intensifikasi Investor Lokal
Pemerintah secara eksplisit memprioritaskan penerbitan utang dari dalam negeri dalam strategi pembiayaan APBN. Adapun penerbitan utang obligasi di tingkat global hanya dilakukan sebagai pelengkap.
Penulis: Khairul Kahfi
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan usai Media Briefing Penerbitan SBR seri SBR013T2 dan SBR013T4, Jakarta, Senin (10/6). Validnews/Khairul Kahfi
JAKARTA - Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan menyampaikan, pemerintah secara eksplisit memprioritaskan penerbitan utang dari dalam negeri dalam strategi pembiayaan APBN. Adapun penerbitan utang obligasi di tingkat global hanya dilakukan sebagai pelengkap
“Jadi penerbitan (utang APBN) di global itu sebagai pelengkap untuk kita bisa mencegah adanya crowding out effect,” katanya dalam Media Briefing Penerbitan SBR seri SBR013T2 dan SBR013T4, Jakarta, Senin (10/6).
Deni menjelaskan, crowding out effect merupakan kondisi di mana uang yang berada di pasar keuangan berkerumun dan tersedot oleh pemerintah atau publik. Hal ini membuat perusahaan swasta (private company) menghadapi kesulitasn mendapat asupan kredit.
“Untuk mencegah crowding out, kami kombinasi penerbitan (utang) di dalam dan luar negeri,” tambahnya.
Sebagai contoh penerbitan utang asing pernah diterbitkan Kemenkeu dalam bentuk SDG Bonds untuk pertama kalinya di 2021 dan Samurai Bonds yang sudah cukup sering diterbitkan pemerintah kepada investor Jepang.
Pemerintah pun menilai, utang yang dialamatkan kepada global masih cenderung cukup dapat dikelola (manageable). Adapun penerbitan utang jenis ini hanya berkisar 15-20% dari total.
Sebagai gambaran, portofolio utang pemerintah mayoritas dalam mata uang rupiah sebesar 72%. Sementara sisanya, sekitar 28% merupakan utang asing dalam mata uang asing seperti dolar AS, euro Uni Eropa, hingga yen Jepang.
Baca Juga: Tak Panik, Akan Kemenkeu Cari Cara Bayar Utang Jatuh Tempo Rp800 T
Pemerintah pun bangga bahwa porsi utang asing buat APBN semakin mengecil hingga kini. “(Utang asing) ini jauh lebih kecil jika dibandingkan 10 tahun lalu, mata uang rupiah sekitar 60% dan 40% global asing,” paparnya.
Lebih lanjut, minimalnya komposisi utang asing di dalam negeri membuat ketergantungan Indonesia atas pembiayaan utang dari global semakin kecil. Sehingga pembiayaan yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan fiskal APBN menjadi independen dan mengurangi potensi currency risk.
Untuk konteks, kehancuran ekonomi nasional medio 1997-1998 terjadi karena tingginya utang dalam valuta asing yang mesti diemban pemerintah. Ketika rupiah bergerak negatif dari Rp12.500 menjadi Rp15.000 per dolar AS, banyak perusahaan yang kemudian tidak mampu membayar utangnya.
“Ini kita cegah supaya pemerintah tidak tergantung pembiayaan dari global, sehingga antara (utang asing) 15-20% cukup manageable,” ucapnya.
Deni pun mengakui, dari sisi penerbitan utang rata-rata, pandemi menjadi titik balik bagi masyarakat perlu memiliki dana darurat dan investasi. Utamanya, wake up call dalam menghadapi kondisi-kondisi yang tidak terduga.
Sebagai contoh, investasi masyarakat untuk SBN Ritel selama pandemi rata-rata tumbuh 13% per tahun. “Bahkan, kalau kita lihat tahun 2022 itu total penerbitan SBR itu sebesar Rp107 triliun, itu kali pertama kita tembus angka Rp100 triliun,” paparnya.
Untuk mengakomodasi pertumbuhan yang ada, pemerintah pun memberikan strategi baru di 2023 dengan menerbitkan SBN dengan dua pilihan tenor. Seperti, SBN dengan pilihan tenor 2 dan 4 tahun, atau SBN dengan pilihan tenor 3 dan 5 tahun.
“Ini membuat opsi buat masyarakat (durasi berinvestasi) menjadi banyak. Terbukti, ternyata strategi ini berhasil, tahun lalu kita bisa menerbitkan total sebesar Rp147 triliun, artinya rata-rata meningkat sekitar 38%,” bebernya.
Di 2024 ini, pemerintah pun confidence mengalokasikan target utangan ritel sekitar Rp140-160 triliun.
Rambah Investor Muda
Deni menambahkan, selama ini rata-rata investor SBN dari generasi milenial atau anak muda berkisar antara 40-50%. Adapun hingga April 2024, porsinya investor ini sudah mencapai 51% dan ditambah Gen-Z sekitar 2,3% yang sudah mulai masuk radar.
“Ini menunjukkan, semakin tingginya minat dari investor baik untuk yang milenial ataupun Gen-Z untuk bisa berinvestasi SBN Ritel,” urainya.
Kendati pemerintah juga menyadari bahwa mengajak investasi Gen-Z cukup menantang karena kebiasaannya yang terlalu mudah berutang. Pilihan pembayaran di lokapasar dengan lewat paylater jadi pilihan utama ketimbang mengunakan cash.
Baca Juga: Jatuh Tempo Utang Di 2025 Sentuh Rp800 T, Begini Alasan Sri Mulyani
Hal ini pun menjadi PR stakeholder untuk bisa mengedukasi masyarakat terkait pentingnya pengelolaan keuangan dengan baik. DIrinya pun menekankan agar masyarakat muda terjebak gaya hidup konsumtif, sehingga tidak memiliki aset yang cukup untuk menghadapi masa tua nanti.
“Jangan sampai gaya hidup kita hari ini, dibiayai dengan pendapatan kita di hari esok. Yang paling keren adalah kalau biaya hidup kita di hari esok, dibiayai dari pendapatan negara itu dengan SBN,” ucapnya.
Secara makroekonomi, tantangan juga muncul dari potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi RI. Meskipun pemerintah masih pede Indonesia masih bisa tumbuh kisaran di atas 5%.
Hal ini patut dicermati karena kondisi ini juga berpeluang mengurangi alokasi dana dari masyarakat yang bisa diinvestasikan. “Nah ini perlu kita lihat dan dorong, supaya ekonomi tetap baik, sehingga pemerintah, masyarakat dan lain-lain cukup untuk bisa investasi,” paparnya.