31 Januari 2025
08:35 WIB
HGBT Dipatok Naik Jadi US$6,5, Kemenperin: Tak Berdampak Signifikan ke Industri
Harga gas di program HGBT naik tipis menjadi US$6,5 per MMBTU dinilai tidak berdampak signifikan. Dua hal penting pasokan dan harga stabil.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Operator produksi mengatur aliran gas dari fasilitas produksi gas menuju pipa jaringan gas konsumen di Stasiun Pengumpul Subang, PT Pertamina EP Subang Field, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Kamis (2/11/2023). Antara Foto/Raisan Al Farisi
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara mengenai kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang dipatok naik menjadi senilai US$6,5 hingga US$7 per MMBTU bagi industri.
Sebelumnya, program HGBT yang berlaku di 2024 senilai US$6 per MMBTU. Ketika besarannya naik tipis, Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menilai, kenaikan tersebut tidak berdampak signifikan bagi industri.
Sebab, ketika HGBT tidak diperpanjang, harga gas untuk industri melonjak hingga US$12, bahkan US$16 per MMBTU. Itu sebabnya, kenaikan tipis ke angka US$7 dinilai tak berdampak negatif.
"Bagi industri, yang penting itu adalah stabilitas pasokannya dan stabilitas harga, kalau naik harga sedikit sebenarnya sih tidak terlalu signifikan," ujar Febri dalam Konpers IKI, Jakarta, Kamis (30/1).
Baca Juga: Harga Gas Dunia Naik, Bahlil Sebut HGBT Tak Lagi US$6
Febri kembali menekankan, ada dua aspek yang penting bagi industri dalam melakukan produksi di pabrik masing-masing. Itu meliputi harga serta pasokan bahan baku gas yang cukup dan stabil.
"Harga (bahan baku gas) bisa melonjak sampai US$8-12 per MMBTU, itu sangat mengganggu sekali, tapi dengan naik US$0,5 dan pasokannya lancar, itu sudah cukup bagi industri," tutur Jubir Kemenperin.
Lebih lanjut, dia tidak berkomentar banyak mengenai sektor-sektor industri yang belum mendapatkan program HGBT. Menurutnya, perpanjangan HGBT tahun ini merupakan angin segar bagi industri.
Karena ia menilai industri membutuhkan kepastian untuk menjalankan operasional pabriknya. Salah satunya, kepastian harga gas murah yang dipakai sebagai bahan baku.
"Sebelumnya mendapatkan gas HGBT di harga US$6 per MMBTU di tahun 2024, dan 2025 ini sudah dapat perpanjangan lagi, dan bagi kami itu sementara sudah cukup," tutur Febri.
Untuk diketahui, pemerintah berencana hanya memberlakukan HGBT untuk 7 sektor industri. Kondisi ini sama seperti tahun lalu, dan tidak ada perluasan sektor. Namun, regulasi teranyar soal HGBT belum diteken.
Adapun 7 sektor yang mendapatkan harga gas murah, yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
Baca Juga: Industri Teriak Bayar Gas Harga Komersial, Menperin: HGBT Harus Segera Berlaku
Dalam catatan Validnews, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, harga gas bumi murah alias HGBT berpotensi naik, tidak lagi sebesar US$6 per MMBTU.
Bahlil memperkirakan gas yang dipergunakan untuk energi harganya kurang lebih US$7 per MMBTU, sementara gas yang dipergunakan untuk bahan baku sekitar US$6,5 per MMBTU.
"HGBT sudah tidak lagi US$6, karena sekarang harga gas dunia lagi naik. Terus yang kedua, untuk HGBT bahan bakunya dari gas itu harganya lebih rendah dari gas yang dipakai untuk energi," kata Bahlil menjawab pertanyaan awak media saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (22/1), selepas sidang kabinet.
Terkait industri-industri yang bakal menerima harga gas murah, Bahlil menyebut keputusan soal itu sudah final.
"Sektor-sektornya itu saja, enggak diperluas. Pernah diminta (diperluas), tetapi kami lagi menghitung antara produksi dan permintaan dalam negeri. Tujuh sektor sudah final," ujar Menteri ESDM.