02 Juni 2023
19:20 WIB
Penulis: Sakti Wibawa
JAKARTA - Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir mengatakan, status dan legalitas kepemilikan tanah masih menjadi sebuah permasalahan dari kelapa sawit Indonesia.
“Ada dua masalah utama dalam industri kelapa sawit Indonesia, yaitu status dan legalitas kepemilikan tanah, serta transformasi praktik petani kecil. Roundtable on sustainable palm oil (RSPO) dan Indonesian sustainable palm oil (ISPO) memiliki cara berbeda untuk mengatasinya melalui principles and criteria mereka,” katanya dalam keterangan resminya, Jumat (2/6).
Dia menjelaskan, tuntutan untuk ketertelusuran muncul dari meningkatnya permintaan dari konsumen akan bukti keberlanjutan dalam produk pertanian dan makanan yang mereka konsumsi.
Selain itu, kesadaran untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di dalam keseharian membuat prinsip ini menjadi aspek mendasar dari setiap skema sertifikasi berkelanjutan di sektor pertanian pangan, termasuk minyak sawit.
Ketertelusuran juga dapat memverifikasi klaim keberlanjutan tertentu yang dibuat oleh perusahaan atau skema sertifikasi mana pun, membantu memastikan praktik pertanian yang baik dan menghormati masyarakat dan lingkungan di sepanjang rantai pasokan.
Faisol menuturkan, RSPO yang didirikan pada April 2004, merupakan sertifikasi berkelanjutan milik swasta untuk industri minyak sawit global.
Sementara itu ISPO, yang diluncurkan pada 2011, merupakan sertifikasi pemerintah dengan dukungan kuat dari gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia (GAPKI).
"Permasalahan lainnya meliputi adanya beberapa data yang berbeda dan perbedaan pada praktik perkebunan di tanah air, petani kecil yang memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budidaya kelapa sawit di seluruh nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi," tuturnya.
Baca Juga: CIPS Dukung RSPO-ISPO Harmonisasi Ketertelusuran Sawit Indonesia
Meskipun ISPO dan RSPO pada dasarnya harus memiliki harmonisasi agar dapat mendukung traceability atau ketelusuran minyak kelapa sawit.
Harmonisasi kedua skema sertifikasi ini akan memberikan ketertelusuran rantai pasokan yang komprehensif dan kuat yang akan bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan industri dalam memastikan keberlanjutan produk minyak sawit Indonesia.
Harmonisasi keduanya juga merupakan upaya merespons kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia di pasar ekspor, khususnya pasar Global North. Untuk melakukannya, pertama-tama kedua sertifikasi harus menyelaraskan standar mereka (principles and criteria) untuk lebih mengakomodasi dan mencerminkan peraturan Indonesia dan norma serta prinsip yang diakui secara global yang mengatur keberlanjutan minyak sawit.
Dirinya menjelaskan, RSPO dan ISPO juga memiliki pendekatan yang tidak terlalu berbeda dalam mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam sertifikasi mereka, penerapannya di lapangan berbeda karena kemampuan auditor/surveyor dalam menginterpretasikan Principles and Criteria masing-masing.
Dia mengungkapkan, ada beberapa perubahan terhadap Permentan Nomor 38/2020 yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi lebih banyak petani swadaya dan meningkatkan serapan mereka ke dalam sertifikasi ISPO.
"Seperti membuat standar yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing daerah penghasil minyak sawit, dan membuka kemungkinan untuk harmonisasi lebih lanjut dengan standar RSPO global yang diakui di pasar minyak sawit global," ungkapnya.
Baca Juga: Perusahaan Sawit Bantu Petani Swadaya Peroleh Sertifikasi RSPO
Perubahan tersebut di antaranya dalam konteks legalitas lahan, pengelolaan dan kepatuhan terhadap peraturan, ISPO dapat mengikuti fleksibilitas standar RSPO dengan mengakui surat pernyataan atau sumpah dari kepala desa sebagai bukti kepemilikan tanah.
Sementara jika petani kecil tidak membawa sertifikat tanah (SHM) saat audit sertifikasi, mereka dapat diizinkan untuk menggunakan surat dari Dinas Perkebunan setempat selama audit jika dokumen STDB dan SPPL mereka masih dalam proses.
Selain itu berdasarkan Pasal 11 Ayat 2 yang mengatur bahwa petani kecil dapat mengajukan sertifikasi ISPO secara individu atau kelompok gapoktan maupun koperasi.
Namun dalam Prinsip 2 tentang penerapan praktik pertanian yang baik, petani kecil dianggap tidak memenuhi syarat untuk sertifikasi jika dia tidak dapat menunjukkan bahwa dia adalah anggota dari/mendirikan koperasi atau kelompok petani kecil lainnya.
"Jika pemerintah bertujuan untuk mengorganisir praktik petani kelapa sawit di dalam negeri menjadi koperasi daripada individu untuk tujuan ketertelusuran, klausul ini harus konsisten dengan principles and criteria dari RSPO," tutupnya.