c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

26 April 2025

16:07 WIB

Harga Berlipat Buntut Kelangkaan Kelapa

Produksi kelapa baik di Filipina sebagai negara produsen terbesar, maupun Indonesia, turun akibat cuaca ekstrem.

Penulis: Fin Harini

<p>Harga Berlipat Buntut Kelangkaan Kelapa</p>
<p>Harga Berlipat Buntut Kelangkaan Kelapa</p>

Kelapa butir. Sumber: Shutterstock/ShivShankar Patidar

 JAKARTA – Harga kelapa butir di Pasar Induk Kramat Jati per hari ini, Sabtu (26/4) mencapai Rp15.160 per butir, naik Rp665 dibandingkan kemarin.

Harga kelapa butir, dilansir dari Harga Pangan Jakarta memang naik. Harga rata-rata kelapa butir pada Maret 2025 di Pasar Kramat Jati Rp15.067 per butir, dengan harga tertinggi sepanjang bulan Rp22.000 dan terendah Rp10.000 per butir.

Pada awal Maret, harga berfluktuasi di kisaran Rp10.000 – Rp15.000 per butir. Namun, harga mulai naik jadi Rp20.000 per butir pada 25 Maret atau menjelang Lebaran. Dan, mencapai Rp22.000 per butir pada 30 Maret 2025.

Memasuki April, harga sempat turun bahkan kembali ke level Rp10.000 per butir, tapi penurunan harga tak bertahan lama. Harga naik lagi, sehingga rata-rata per April ini mencapai Rp17.800. Sepanjang April 2025, harga tertinggi kelapa per butir Rp20.000 dan terendah Rp10.000.

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyebutkan alasan kenaikan harga kelapa di tanah air. Menurutnya, pengusaha lebih tertarik mengekspor kelapa bulat karena harganya lebih tinggi, sehingga stok kelapa di dalam negeri berkurang.

Baca Juga: Kelapa Bulat Mahal, Mentan: Beri Ruang Petani Kelapa Bahagia

Fakta ini terungkap dalam pertemuan Kemendag dengan pelaku industri kelapa dan para eksportir untuk membahas harga kelapa yang mahal.

"Kan ini mahal, karena di ekspor ya. Harga ekspor memang lebih tinggi daripada harga dalam negeri. Karena semua ekspor, akhirnya jadi langka dalam negeri," kata Budi di Jakarta, Kamis (17/4).

Kelangkaan yang berbuntut harga mahal tak hanya dialami di dalam negeri. Dilansir dari Bloomberg, Mohamad Fahmi Faat, seorang manajer restoran di Kuala Lumpur, hanya menyiapkan setengah dari jumlah makanan mereka yang biasa untuk perayaan Idulfitri lalu. Ia menyalahkan kelangkaan kelapa yang sedang berlangsung.

“Santan segar sangat terbatas selama Idulfitri,” katanya. “Saya hanya bisa membeli tiga bungkus, bukan enam, dan itu tidak cukup.”

Cuaca buruk di beberapa petani teratas dunia telah menghambat produksi, menyusutkan pasokan global, dan sebagai dampaknya melipatgandakan harga. Beberapa negara penghasil seperti Filipina dan Indonesia mempertimbangkan pembatasan ekspor, sementara konsumen didesak untuk beralih ke alternatif bahan yang digunakan dalam memasak sehari-hari dan berbagai produk seperti susu vegan dan minuman berenergi.

Penurunan Produksi
Produsen kelapa terbesar di dunia, Filipina, memperkirakan penurunan produksi sebesar 20% tahun ini. Hal ini terjadi karena selama dua tahun terakhir, cuaca ekstrem — mulai dari kekeringan hingga badai tropis — telah membebani pohon-pohon. Termasuk di perkebunan pesisir selatan milik salah satu eksportir terbesarnya.

"Alasan utama di balik rendahnya pasokan adalah karena iklim," kata Henry Raperoga, presiden dan kepala operasi Axelum Resources Corp., melalui email. "Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan berkurangnya hasil panen, keterlambatan panen, dan terbatasnya mobilitas petani."

Otoritas Kelapa Filipina mengatakan sedang berunding dengan para produsen tentang menyimpan sebagian minyak kelapa mereka untuk penggunaan dalam negeri sebelum mengizinkan ekspor.

"Skema yang diusulkan ini dimaksudkan untuk mengamankan pasokan lokal dan menstabilkan harga tanpa mengganggu komitmen ekspor kami," kata badan tersebut dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga: Menyisir Potensi Produk Hilir Kelapa Yang Masih Terabaikan

Produsen lain seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam juga mengalami kendala pasokan akibat masalah cuaca dan konsumsi domestik yang lebih tinggi, Raperoga menambahkan.

Di produsen terbesar kedua Indonesia, Kementerian Perindustrian telah mengusulkan larangan ekspor selama tiga hingga enam bulan, pungutan atas pengiriman keluar, dan penetapan harga acuan untuk menstabilkan harga lokal yang telah meroket 150% dalam tiga bulan terakhir.

Harga grosir pada lelang mingguan di ibu kota Sri Lanka telah meningkat lebih dari dua kali lipat selama setahun terakhir setelah kekurangan panen yang disebabkan oleh kombinasi cuaca buruk dan penyakit. Pemerintah pada bulan Februari mengabulkan permintaan dari produsen untuk mengimpor biji kelapa guna membantu meredakan tekanan pasar.

Permintaan Meningkat
Di sisi lain, catatan Axelum menunjukkan permintaan kelapa secara global diperkirakan akan terus meningkat berkat reputasinya sebagai pilihan yang lezat, bebas laktosa, dan berbasis tanaman.

Amerika Serikat (AS) menjadi pasar terbesar kelapa. Selain itu, penjualan juga meningkat di Eropa dan Amerika Latin.

Produk terkait seperti minyak kelapa, santan, dan serpihan kering juga semakin populer berkat tren kesehatan dan keberlanjutan.

Konsumsi minyak kelapa diperkirakan akan sedikit meningkat menjadi 3,23 juta ton tahun ini dari 3,2 juta ton tahun lalu, menurut Komunitas Kelapa Internasional, dengan AS, UE, dan Tiongkok sebagai pengimpor terbanyak.

Baca Juga: Bappenas Akan Luncurkan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045

Departemen Pertanian AS memperkirakan stok minyak kelapa global akan menutup musim 2024-25 pada level terendah dalam empat tahun. Tekanan tersebut telah menyebabkan melonjaknya harga minyak kelapa, yang telah berlipat ganda sejak 2023 hingga diperdagangkan pada level tertinggi tiga tahun sebesar US$2.658 per ton, menurut data dari Commodity.

Hal itu menyebabkan beberapa pedagang di Malaysia menutup sementara operasinya, dan konsumen didesak untuk beralih ke alternatif seperti krim masak atau yogurt untuk kari, saus, dan kue, menurut media lokal.

Bagi manajer restoran Fahmi, itu tidak cukup baik. “Santan adalah jantung makanan Malaysia,” katanya. “Jika Anda mengganti atau mengganti santan segar, rasanya tidak enak.”


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar