21 Agustus 2025
13:30 WIB
Harga Beras Masih Tinggi, Pengamat Usulkan Tiga Langkah Tekan Harga
Pengamat pertanian meminta agar pemerintah segera merelaksasi penyaluran beras SPHP ke pedagang pasar, menghentikan penyerapan Bulog, dan tarik Satgas Pangan untuk menurunkan harga beras.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Khairul Kahfi
Petugas Satgas Pangan Polri memeriksa beras premium kemasan saat sidak beras oplosan di Lotte Mart, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (22/7/2025). Antara Foto/Arif Firmansyah/tom.
JAKARTA - Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengusulkan sejumlah langkah konkret untuk menekan harga beras, terutama beras premium dan medium yang saat ini masih tetap tinggi melebihi ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Berdasarkan pantauan panel harga pangan Bapanas, pada Kamis (21/8), harga rata-rata beras premium berada di Rp16.087/kg atau 7,97% di atas HET nasional sebesar Rp14.900/kg. Begitu pun dengan harga beras medium yang saat ini sebesar Rp14.270/kg atau 14,16% di atas HET nasional Rp12.500/kg.
Adapun Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag yang diolah BPS mencatat, harga rerata nasional beras medium dan premium di zona I di pekan kedua Agustus 2025 masing-masing Rp14.012/kg dan Rp 15.435/kg, atau lebih tinggi dibandingkan Juli Rp13.853/kg dan Rp15.310/kg. Keduanya melampaui HET.
Sementara di waktu yang sama, harga rerata nasional beras medium dan premium di zona II masing-masing Rp14.875/kg dan Rp16.625/kg, atau lebih tinggi dibandingkan harga Juli Rp14.666/kg dan Rp16.458/kg. Lagi-lagi, kedua harga ini juga melampaui HET.
"Apa maknanya? Harga beras terus naik, kenapa ini terjadi?" tegasnya dalam keterangan yang diterima Validnews, Jakarta, Kamis (21/8).
Baca Juga: Mendag Ungkap Penyebab Harga Beras Mulai Turun
Karena itu, Khudori menyarankan tiga langkah untuk menstabilkan harga beras. Pertama, pemerintah perlu merelaksasi skema penyaluran beras SPHP dengan menyasar pedagang di pasar dengan pengawasan ketat. Dia menekankan, sasaran operasi pasar bukan konsumen akhir.
"Lazimnya operasi pasar adalah mengguyur beras untuk (pedagang) pasar. Indikatornya harga beras di pasar jejaring penyalur SPHP saat ini belum memungkinkan aliran beras berjumlah besar dan menyebar luas," jelasnya.
Khudori menilai operasi pasar SPHP sejauh ini belum efektif. Terlihat dari awal penyaluran SPHP pada 14 Juli lalu, Bulog baru mengalirkan 226.005 ton beras SPHP per 19 Agustus 2025. Dari jumlah tersebut, sebanyak 181.192 ton di antaranya sudah disalurkan pada Januari hingga pekan pertama Februari 2025.
"Itu berarti dari 14 Juli sampai 19 Agustus 2025, (beras SPHP) tersalur 44.813 ton atau rata-rata 1.211 ton per hari. Jumlah ini terlalu kecil, tidak nendang," jelasnya.

Kedua, Khudori menyarankan pemerintah menghentikan penyerapan beras oleh Bulog melalui skema maklon. Untuk itu, rencana menambah target penyerapan beras Bulog sebanyak 1 juta ton harus dibatalkan. Dia juga menganggap rencana ini dapat membuat salah urus perberasan makin tidak terurus.
"Dengan stok beras di gudang Bulog saat ini mencapai 4 juta ton, justru fokus harus dialihkan ke penyaluran," tambah Khudori.
Fokus penyaluran beras sangat penting untuk menghindari risiko susut volume, turun mutu, hingga kerusakan beras. Di sisi lain, penyaluran beras dalam jumlah besar juga perlu dilakukan segera untuk mengurangi beban biaya pengelolaan Bulog di gudang.
"Per Mei 2025, dalam neraca keuangan, Bulog merugi Rp4,3 triliun. (Makanya) fokus penyaluran itu dimaksudkan untuk menjenuhi (memenuhi) pasar, agar (harga) beras di pasar turun setidaknya tertahan agar tidak naik," ucapnya.
Satgas Pangan Mesti Jauhi Fungsi Polisi Ekonomi
Ketiga, Khudori mendesak pemerintah untuk segera menarik Satgas Pangan dari fungsi 'polisi ekonomi'. Berdasarkan catatan sejarah, tekannya, pendekatan keamanan seperti ini sudah dilakukan sejak tahun 1950-an dan tidak berhasil.
"Pendekatan ini telah menempatkan pelaku usaha sebagai 'musuh negara' dan amat terbuka mereka diperlakukan seperti penjual barang ilegal. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian berusaha," jelasnya.
Baca Juga: Anggaran Ketahanan Pangan 2026 Naik 5,9% Jadi Rp164,4 T, Ini Alokasinya
Selain itu, dia menambahkan, pendekatan keamanan berpeluang memunculkan sinyal palsu, misalnya harga beras turun. Penurunan harga itu terjadi bukan karena mekanisme pasar yang normal, tetapi lantaran ada pemaksaan dan ketakutan.
Dia khawatir sinyal palsu keamanan pangan sebagai dasar pembuatan kebijakan, dapat membuat kebijakan salah arah.
"Karena itu sebaiknya Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag dan Badan Pangan Nasional berada di depan. Kalau ada temuan kecurangan, baru penegak hukum bergerak," usul Khudori.
Lebih lanjut, dia mengingatkan agar ketiga langkah tersebut bisa dibarengi kebijakan penyesuaian HET beras.
"Hemat saya, kisruh perberasan saat ini salah satu akarnya adalah HET beras yang menghimpit pelaku di hilir, yaitu pedagang dan penggilingan. Terjadi ketidakseimbangan insentif antara pelaku di hulu dan hilir," tandas Khudori.