25 Juni 2024
16:19 WIB
GAPMMI: Pelemahan Rupiah Berpotensi Kerek Harga Bahan Baku Impor
GAPMMI mengakui industri mamin RI terdampak pelemahan rupiah karena mayoritas bahan baku produk mamin masih diimpor dari luar negeri.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (25/6). Validnews/Aurora KM SIimanjuntak
JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengaku pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berdampak negatif terhadap industri makanan dan minuman (mamin).
Adhi menjelaskan, industri mamin di Indonesia masih banyak mengimpor bahan baku dari luar negeri. Pelemahan rupiah itulah yang membuat pelaku industri membayar lebih mahal saat mengimpor bahan baku.
"Pelemahan rupiah ini memang buat mamin cukup menjadi masalah, karena terus terang bahan baku kita masih banyak impor," ujarnya kepada awak media di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (25/6).
Adhi pun mencontohkan pelemahan rupiah berdampak pada importasi empat komoditas, yaitu gandum, susu, gula dan garam. Adapun posisi nilai tukar rupiah saat ini sebesar Rp16.375/US$.
Baca Juga: Pemerintah Tak Cemas Soal Pelemahan Rupiah, Airlangga: Fundamental Baik
Dia mengkalkulasi, nilai impor dari 4 komoditas tersebut sedikitnya mencapai US$9 miliar. Dia menambahkan, berdasarkan hitungan perbankan, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS dari awal tahun hingga sekarang, mencapai 6,5% secara year to date (ytd).
"Kalau 6,5% dari (kurs) Rp16.000-an berarti sekitar Rp800. Nah Rp800 dikali US$9 miliar itu baru yang (impor) empat komoditas utama, sekitar Rp500 triliun ya konsumsinya. Tentunya ini menjadi beban industri," kata Adhi.
Adhi menuturkan, depresiasi rupiah sebesar 6,5% (ytd) itu membuat pelaku industri harus menyediakan sokongan dana lebih besar guna mengimpor bahan baku untuk diolah industri mamin. Untuk itu, asosiasi meminta pemerintah mengintervensi agar kurs tidak lebih dari Rp16.500.
Tak Naikkan Harga Jual
Lebih lanjut, Adhi mengatakan pelemahan rupiah dan importasi yang lebih mahal tidak serta merta mengerek harga jual produk mamin domestik. Itu karena industri skala menengah dan besar memiliki daya tahan yang lebih besar dibandingkan industri kecil dan menengah (IKM).
Dia menyampaikan, pelaku IKM atau usaha yang memiliki daya tahan rendah lainnya, sering kali menyetok produk secara harian atau mingguan. Berbeda dengan sistem industri menengah dan besar yang mampu menyetok kebutuhan beberapa bulan ke depan.
Menurutnya, industri menengah dan besar bisa memangkas margin agar tidak langsung mengerek harga jual produk mamin. Sementara IKM belum tentu memiliki margin yang lebar sehingga bisa dipangkas guna tidak mengerek harga jual.
Baca Juga: BI: Bukan Fundamental, Rupiah Melemah Karena Tren Pendek Semata
Jika ke depannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus-terusan melemah, Adhi memperkirakan, harga produk mamin besutan industri menengah dan besar bakal bertahan di harga normal selama 3-4 bulan.
"Jadi, kita (industri menengah dan besar) tidak serta merta langsung menaikkan harga jual. Kita masih ingin bertahan karena kita lihat juga daya beli masyarakat," tuturnya.
Daya Beli Masih Tinggi
Soal daya beli masyarakat, Adhi melihat demand atau permintaan konsumen terhadap produk mamin masih cukup tinggi meski saat ini terjadi pelemahan rupiah. Namun dia mewanti-wanti agar rupiah tidak jebol di atas Rp16.500/US$.
"Kalkulasi kita karena Rp16.000-16.500, kemarin kita diskusi dengan perbankan, itu depresiasinya sudah 6,5% (ytd). Kalau depresiasi 6,5% itu berarti pengaruh ke harga bahan baku itu luar biasa," kata Adhi.
"Jangan sampai jebol lagi. Kalau kurs rupiah lewat lagi, ini sangat berat sekali, tapi demand Mamin masih cukup," imbuhnya.
Ketum GAPMMI itu juga menyampaikan permintaan pasar internasional terhadap produk olahan mamin RI juga masih tumbuh sebesar 5% pada kuartal I/2024. Namun ekspor mamin pun saat ini menghadapi beberapa tantangan, seperti biaya logistik yang tinggi dan para buyer menunda pembelian produk.
Baca Juga: BI Optimistis Rupiah Akan Menguat Ke Rp15.800 Hingga Akhir 2024
Sementara pada kuartal II/2024, dia memproyeksikan demand konsumen masih memadai, tapi profit industri bakal tergerus. Di antaranya, karena biaya bahan baku dan logistik meningkat, terutama karena Indonesia masih banyak mengimpor bahan baku menggunakan dolar AS.
"Kuartal II/2024 saya lihat mungkin demand masih bisa, tapi profit pasti akan tergerus, karena biaya-biaya naik. Bukan biaya bahan baku saja, biaya logistik dan lainnya karena kita masih banyak tergantung dari bahan impor dengan dolar AS hingga rekanan impor," tutup Adhi.
Dalam catatan Validnews, pekan lalu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sempat mengeklaim industri mamin tidak terdampak pelemahan rupiah. Sebab, biasanya pelaku industri sudah menyetok bahan baku atau penolong untuk kebutuhan industrinya dari jauh-jauh hari.
Kemenperin juga belum mendapatkan laporan dari pelaku industri mamin mengenai dampak pelemahan rupiah terhadap kinerja industrinya. Hal ini disampaikan oleh Dirjen Industri Agro, Putu Juli Ardika di Kantor Kemenperin pada Kamis (20/6).