21 Juni 2024
11:35 WIB
BI: Bukan Fundamental, Rupiah Melemah Karena Tren Pendek Semata
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimistis nilai tukar rupiah akan menguat dalam beberapa waktu mendatang.
Penulis: Khairul Kahfi
Karyawan memegang uang di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Antara Foto/Aprillio Akbar
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimistis nilai tukar rupiah akan menguat dalam beberapa waktu mendatang. Optimisme tersebut dilandasi stabilitas ekonomi nasional yang masih cukup.
“Tren (rupiah) akan menguat, dengan kemungkinan mulai pastinya FFR akan turun akhir tahun, inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi relatif baik, dan transaksi berjalan bagus (current account) dan imbal hasil menarik,” katanya menjawab pertanyaan wartawan usai RDG-BI Edisi Juni 2024, Jakarta, Kamis (20/6).
Hanya saja dalam perjalanan penguatan rupiah tersebut, dia mengakui, akan ada saja sejumlah sentimen ketidakpastian yang akan jadi penkan tren nilai tukar. Entah muncul dari informasi hingga volatilitas premi risiko.
“Ketidakpastian seperti itu. Itu faktor yang tidak pengaruhi tren, tapi nilai tukar rupiah naik-turun,” ungkapnya.
Contohnya, dua bulan lalu, BI sudah menakar The Fed akan segera menyunat suku bunganya, kendati potential risk yang ada tidak akan mereda. Yang terjadi, geopolitik di tingkat dunia saat itu sedang memanas, sehingga The Fed kembali menghadapi ketidakpastian FFR.
Untuk mencegah pemburukan lebih dalam, akhirnya otoritas moneter terpaksa menaikkan suku bunga 25 bps dan suku bunga SRBI pada April 2024. Kondisi ini pun membuat imbal hasil (yield) tanah air kembali kompetitif dan membuat investor asing kembali masuk memarkir uangnya di portofolio.
Data transaksi BI mencatat, aliran masuk SRBI pada Mei mencapai Rp80,29 triliun dan lanjut positif masuk di Juni sebesar Rp17,83 triliun. Dengan langkah ini, rupiah sempat menguat ke level Rp15.900 per dolar AS.
Meski di periode April-Juni 2024 juga, aliran modal asing baik yang menuju ke SBN maupun saham terus keluar-masuk. Kembali lagi, penurunan mata uang garuda kali ini disebabkan tren jangka pendek saja. Ke depan, pihaknya meyakini kondisinya masih akan begitu.
“(Secara) keseluruhan, policy naikan BI-Rate dan SRBI dua bulan lalu, bisa kembalikan nilai tukar rupiah yang waktu itu terkena tekanan geopolitik kembali ke arah fundamentalnya dan menguat ke Rp15.900 (per dolar AS),” jelasnya.
Di sisi lain, pihaknya juga menyadari pelemahan rupiah terjadi juga karena faktor tingginya korporasi yang perlu melakukan repatriasi dividen. Serta kemunculan persepsi belum tentu benar yang akhirnya menjadi sentimen.
“Jangan diyakini kalau persepsi, (entah) persepsi akan sustainabilitas fiskal ke depan, (begitu juga) persepsi faktor teknikal jangka pendek,” urainya.
Pada gilirannya, persepsi negatif ini juga ikut memperkeruh sentimen global yang masih serba tak pasti. Apalagi, Bank Sentral Eropa atau ECB sudah menurunkan suku bunga lebih lanjut, sehingga mata uang euro relatif melemah di hadapan dolar AS.
“Apakah BI masih yakini rupiah menguat? Yes fundamental akan menguat. Tapi dari pergerakan bulan ke bulan, faktor informasi, dan sentimen akan membuat volatilitas naik-turun dan itu akan terus kami lakukan (pemantauan),” urainya.
Mengutip Bloomberg, pada 20 Juni 2024, dolar AS terpantau menguat terhadap rupiah Indonesia. Dolar AS lanjut terapresiasi ke level Rp16.430 atau naik 0,40% yang setara Rp65 dibanding sehari sebelumnya. Prediksinya, pergerakan dolar AS-rupiah akan berada di rentang 16.375-16.430.
BI mencatat, stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga sesuai dengan komitmen kebijakan yang ditempuh BI. Nilai tukar rupiah hingga 19 Juni 2024 terjaga, meski sempat tertekan 0,70% (ptp), setelah pada Mei 2024 menguat 0,06% (ptp) dibandingkan dengan nilai tukar akhir bulan sebelumnya.
Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi oleh dampak tingginya ketidakpastian pasar global, terutama berkaitan dengan ketidakpastian arah penurunan FFR, penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan masih tingginya ketegangan geopolitik.
Dari faktor domestik, tekanan pada rupiah juga disebabkan oleh kenaikan permintaan valas oleh korporasi, termasuk untuk repatriasi dividen, serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan.
Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah melemah 5,92% dari level akhir Desember 2023 (ytd). Capaian ini lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan Won Korea (6,78%), Baht Thailand (6,92%), Peso Meksiko (7,89%), Real Brazil (10,63%), dan Yen Jepang (10,78%) sepanjang tahun berjalan.
“Ke depan, nilai tukar Rupiah diprakirakan akan bergerak stabil sesuai dengan komitmen Bank Indonesia untuk terus menstabilkan nilai tukar Rupiah, serta didukung oleh aliran masuk modal asing, menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik,” urainya.
BI menyatakan akan terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter termasuk peningkatan intervensi di pasar valas serta penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI.
“Bank Indonesia memperkuat koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023,” jelasnya.
Rupiah Ke Depan
Deputi Gubernur BI Aida S Budiman mengungkapkan, fundamental makroekonomi Indonesia masih cukup bagus hingga hari ini untuk menopang penguatan nilai tukar ke depan. Kondisi ini pun lebih baik daripada capaian di Amerika Serikat.
Dari sisi inflasi, terjadi perbedaan yang cukup kentara antara Indonesia dan AS. Inflasi IHK Indonesia berada di level 2,84% (yoy) per Mei, sementara inflasi inti berkisar 1,93% (yoy). Adapun inflasi CPI AS mencapai 3,3% dan inflasi intinya menyentuh 3,4%
“Ke depannya, inflasi kami perkirakan berada 2,5±1% dan menuju titik tengahnya (2,5%),” katanya menjawab pertanyaan wartawan usai RDG-BI Edisi Juni 2024, Jakarta, Kamis (20/6).
Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi IHK 2024 tetap terkendali dalam sasaran. Inflasi inti diperkirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar, dan dapat merespons permintaan domestik.
Imported inflation yang terkendali, sejalan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah Bank Indonesia, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi. Inflasi volatile food diperkirakan menurun didukung oleh sinergi pengendalian inflasi TPIP dan TPID melalui GNPIP di berbagai daerah.
BI akan terus memperkuat kebijakan moneter pro-stability dan meningkatkan sinergi kebijakan dengan pemerintah pusat-daerah sehingga inflasi 2024 dan 2025 terkendali dalam sasaran 2,5±1%.
Untuk pertumbuhan ekonomi, Aida melanjutkan, Indonesia berhasil mencapai 5,11% di kuartal I/2024, yang diproyeksikan bisa terus terjaga di kisaran 4,7-5,5% di kuartal selanjutnya. Sementara, pertumbuhan ekonomi AS hanya sebesar 2,9% di kuartal I/2024.