15 Januari 2025
18:10 WIB
GAPMMI: 4 Pabrik Aneka Makanan Alami Reject Setelah Pakai Garam Lokal
Pabrik aneka makanan mengalami gagal produk alias reject karena menggunakan garam lokal untuk proses produksinya.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Ilustrasi. Petani memanen sisa garam di Penggaraman Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (26/5/2021). ANTARAFOTO/Basri Marzuki
JAKARTA - Penggunaan garam lokal untuk kebutuhan industri, khususnya pabrik makanan dan minuman (mamin), ternyata tidak berjalan mulus. Sebab, hasil produksinya banyak yang dicap sebagai produk cacat atau reject.
Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) melaporkan, kualitas garam lokal masih kurang memadai, dan belum bisa menyamai spesifikasi garam industri.
Ketua Umum GAPMMI Adhi S Lukman mengatakan, sudah ada 4 pabrik bumbu besar di Indonesia yang mengeluhkan kualitas garam lokal. Karena itu, ia menilai, pemerintah perlu mengatasi masalah ini.
Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan target stop impor garam konsumsi pada 2025 dan garam industri pada 2027.
"Yang jelas ada 4 perusahaan yang melaporkan ke GAPMMI, pengguna garam terbesar, mereka melaporkan ada (produk) yang reject dan lain sebagainya," ujarnya kepada awak media saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Rabu (15/1).
Baca Juga: Menperin Akui Tak Mungkin Setop Impor Garam
Adhi tidak menyebutkan nama 4 pabrik itu. Dia hanya menyampaikan, beberapa pelaku industri tidak bisa menggunakan bahan baku garam lokal untuk memproduksi makanan atau bumbu.
"Imbasnya (menggunakan garam lokal) produknya rusak, mutunya turun dan reject-nya banyak, tinggi," imbuhnya.
Adhi menerangkan, industri aneka pangan sudah sempat mencoba menggunakan garam lokal untuk proses produksi. Sayangnya, beberapa justru menjadi produk gagal dan di-reject konsumen.
Ada beberapa alasan produk jadi barang reject. Di antaranya, produk akhir mamin seperti bumbu jadi menggumpal, mengalami kontaminasi, serta kadar NaCl tidak memenuhi syarat.
"Sudah disaksikan beberapa surveyor, ada kontaminasi bintik hitam dan lain sebagainya, yang tentunya tidak diperbolehkan di dalam pangan," jelas Ketum GAPMMI.
Selain kualitas kurang memadai, ia mengatakan, pasokan garam lokal jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi di seluruh industri mamin.
Sebagai contoh, Adhi menyebutkan, 4 perusahaan mamin tadi masing-masing membutuhkan garam untuk melakukan produksi sekitar 70.000-80.000 ton dalam setahun.
Dalam catatan Validnews, Kemenperin mencatat, kemampuan produksi garam dalam negeri hanya di angka 2,4 juta ton. Sementara kebutuhan garam untuk industri keseluruhan hampir 4,9 juta ton.
Bagi industri mamin sendiri, Adhi menyampaikan, pasokan garam lokal ada sebanyak 600.000 ton. Namun, adanya kendala garam lokal membuat penyerapan minim, hanya setengahnya saja.
"Perkiraan saya yang benar-benar tidak bisa pakai dari dalam negeri itu mungkin sekitar 300.000 ton mungkin ya," katanya.
Baca Juga: Menko Pangan Target Indonesia Stop Impor Garam Konsumsi Tahun Depan
Lapor Masalah Garam ke Menperin
Lebih lanjut, Adhi sudah melaporkan serangkaian kendala mengenai penggunaan garam lokal kepada Menteri Perindustrian (Menperin) selaku pembina industri pengolahan dalam negeri.
Ketika ditemui awak media siang ini, Adhi baru saja menghadap Menperin. Dia berharap pemerintah bisa menyediakan spesifikasi garam untuk kebutuhan industri, supaya industri bisa tetap memproduksi.
"Tadi saya laporkan ke Pak Menteri, bahwa setelah dicoba pakai bahan baku lokal, ternyata pelaku-pelaku usaha khususnya yang sangat membutuhkan spek khusus itu tidak bisa memakai (garam lokal)," ucap Adhi.
Hasil pertemuannya, Ketum GAPMMI menyampaikan, Menperin akan membantu mencari solusi. Dia berharap, Menperin bertemu dengan Menko Perekonomian, Menko Pangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri KKP untuk membahas masalah garam untuk kelanjutan industri ini.