22 Juli 2024
19:58 WIB
GAPMMI: Impor Bahan Baku Pangan Meningkat, Investasi Dalam Negeri Masih Rendah
GAPMMI menyoroti perlunya ada peningkatan investasi pada sektor bahan baku pangan di dalam negeri.
Penulis: Erlinda Puspita
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di kawasan Pelabuhan Pelindo II, Tanjung Priok, Jakarta, S elasa (15/11/2022). Antara Foto/Muhammad Adimaja
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) mengungkapkan industri makanan dan minuman (mamin) di Indonesia mayoritas masih bergantung dari importasi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya.
Ketua Umum GAPMMI Adhi S Lukman pun diharap bisa memunculkan minat investasi di dalam negeri untuk sektor bahan baku industri mamin atau food ingredients.
Beberapa bahan baku industri mamin atau pangan yang masih didominasi impor antara lain, menurut Adhi yaitu, terigu mencapai 100%, gula industri 100%, garam industri sekitar 70%, dan susu sebanyak 80%.
"Jadi untuk bahan baku pangan atau ingredients, kita memang masih banyak impor, seperti untuk pengawet, pengatur asam, dan perisa yang harus diimpor. Ini tantangan kita," jelas Adhi dalam konferensi pers Food Ingredients Asia (FIA), Senin (22/7).
Baca Juga: GAPMMI: Pelemahan Rupiah Berpotensi Kerek Harga Bahan Baku Impor
Tingginya impor bahan baku pangan tersebut, Adhi berharap agar ada peningkatan investasi di dalam negeri di sektor ini. Jadi kebutuhan industri mamin bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Apalagi ia menyatakan jika industri mamin saat ini juga terus tubuh, namun tidak diiringi dengan pertumbuhan investasi bahan baku pangan. Alhasil jika ini terus berlanjut, maka importasi Indonesia akan semakin bertambah.
"Target Presiden adalah adalah sebisa mungkin mengurangi impor. Kalau kurangi produk impor, tapi tidak tersedia di dalam negeri kan sulit. Nah itu salah satu yang harus diinvestasi," tuturnya.
Sayangnya, kebijakan Indonesia untuk menarik minat investasi bahan baku pangan masih tergolong rendah.
Adhi berpendapat, pemerintah perlu menciptakan grand strategi dari hulu ke hilir. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah masih ada beberapa kementerian yang mengelola sisi hulu investasi, namun belum menunjang sisi hilir investasi.
"Inilah sinkronisasi yang utama. Jadi kalau lokomotif industrinya hilir, maka gerbong-gerbong di hulunya harus ikut," tegas Adhi.
Baca Juga: Pemerintah Tak Cemas Soal Pelemahan Rupiah, Airlangga: Fundamental Baik
Adhi menambahkan, alasan masih minimnya investasi bahan baku pangan di Indonesia antara lain, para investor lebih memilih berinvestasi di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Hal tersebut terjadi karena investasi di kedua negara tersebut lebih mudah dari sisi perizinan, logistik, dan finansial.
"Itu yang perlu Indonesia belajar dari sana," ucapnya.
Oleh karena itu, Adhi menilai dengan adanya kegiatan Food Ingredients Asia (FIA) 2024, ia berharap Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita bisa mendorong para investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Apalagi, sektor bahan baku pangan di Indonesia merupakan investasi kelas intermediate, sehingga perlu ditingkatkan lagi.
Lebih lanjut, Adhi juga menyoroti perlunya mengubah pola pikir petani di dalam negeri untuk mampu bertani dengan konsep industri. Saat ini, menurut dia, kondisi petani Indonesia terbagi dalam banyak individu dengan kepemilikan lahan yang kecil-kecil. Jadi, produk yang dihasilkan kurang ekonomis bagi industri dalam negeri.
"Petani seharusnya boleh mengelola lahan kecil, tapi harus mau dimanajemen secara besar agar ekonomis. Petani bisa menggunakan smart farming, mekanisasi, otomatisasi. Ini harus ditangani dan diubah mindset petaninya," tandas Adhi.