c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

23 September 2025

08:32 WIB

GAPKI Proyeksikan Harga CPO Di Sisa 2025 Tembus US$1.300/MT

GAPKI memperkirakan adanya kenaikan harga CPO secara global di sisa tahun 2025, dengan nilai tembus US$1.300/MT. Kenaikan harga ini didorong permintaan tinggi namun produksi stagnan.

Penulis: Erlinda Puspita

<p id="isPasted">GAPKI Proyeksikan Harga CPO Di Sisa 2025 Tembus US$1.300/MT</p>
<p id="isPasted">GAPKI Proyeksikan Harga CPO Di Sisa 2025 Tembus US$1.300/MT</p>

Pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas mobil di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Senin (27/3/2023). Antara Foto/Muhammad Izfaldi

JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono memperkirakan harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di sisa akhir 2025 berpotensi meningkat, sejalan dengan permintaan yang terus naik namun produksi yang cenderung stagnan.

Peningkatan permintaan juga turut dipengaruhi kebutuhan dalam negeri, terutama mandatory program biodiesel yang diduga akan mengalami kenaikan di tahun 2026 menjadi B50.

Eddy membeberkan, perkiraan harga CPO di pasar global pada paruh kedua 2025 ini bisa mencapai US$1.300/metrik ton di Rotterdam. Kenaikan ini didorong oleh permintaan dunia yang terus meningkat, namun di sisi produksi justru cenderung stagnan, baik CPO asal Indonesia maupun Malaysia.

Baca Juga: Ekspor Sawit Indonesia Ke India Tetap Tinggi

“Tren harga saya rasa masih di sekitar US$1.100 sampai US$1.200 dan mungkin bisa tembus sampai ke US$1.300/metrik ton untuk CIF Rotterdam ya. Karena kalau kita lihat data produksi, kita ini lima tahun stagnan, sementara permintaan dunia meningkat,” ujar Eddy dalam diskusi INDEF “Palm Oil as A Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation” secara daring, Senin (22/9).

Dari riwayat catatan data GAPKI, Eddy menuturkan produksi minyak kelapa sawit Indonesia di tahun 2024 total mencapai 52,7 juta ton atau turun dari 2023 yang mencapai 54,8 juta ton. Sedangkan dari sisi konsumsi, terjadi tren peningkatan yaitu di tahun 2021 sebanyak 21,1 juta ton, tahun 2023 menjadi 23,3 juta ton, dan di tahun 2024 naik menjadi 23,8 juta ton.

Bahkan untuk periode Juni 2025 dibandingkan Juni 2024 menurut Eddy terjadi kenaikan konsumsi menjadi 12,2 juta ton. Kenaikan konsumsi ini berasal dari mandatory biodiesel yang telah melewati kebutuhan konsumsi untuk pangan.

Kepastian Hukum dan Peremajaan Sawit
Bersamaan dengan produksi yang stagnan tersebut, Eddy menyoroti pembiayaan industri perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah tak ada permasalahan. Berbagai perbankan termasuk Himpunan Bank Negara (Himbara) turut membiayai industri minyak sawit dari hulu sampai ke hilir.

Permasalahan yang dihadapi minyak kelapa sawit Indonesia saat ini, menurut Eddy, justru pada iklim investasi yang masih memerlukan kepastian regulasi. Terutama, soal kepastian lahan yang digunakan dalam industri sawit. Ia berharap industri yang beroperasi di komoditas primadona ini memiliki kepastian status lahan yang digunakan tidak termasuk dalam kawasan hutan.

Baca Juga: 84 Ribu Ha Lahan Sawit Ada di Kawasan Hutan

“Nah ini yang memang kita sedang berupaya dengan pemerintah, paling tidak kita mohon agar yang sudah mempunyai kepastian (perusahaan) seperti sertifikat hak milik ini menjadi pegangan,” ucap dia.

Lebih lanjut, Eddy menuturkan bahwa saat ini produksi minyak sawit sekitar 41%-42%  di Indonesia berasal dari milik petani. Sementara tanaman sawit para petani tersebut sudah waktunya diremajakan untuk meningkatkan produktivitas agar jumlah produksi sawit nasional turut bertambah.

Saat ini setidaknya ada sekitar 3 juta hektare tanaman sawit yang harus diremajakan. Namun, berdasarkan data peremajaan sawit rakyat (PSR), jumlah penanaman kembali masih minim.

“Kenapa pencapaian PSR itu sangat kecil, karena memang ada masalah dengan kawasan hutan yang ini sehingga tidak bisa mendapatkan dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang sebesar 60 juta hektare,” jelas dia.

Kawasan hutan tersebut tak bisa memperoleh akses dana hibah karena masih bermasalah dalam sertifikasi lahan.

Pekerja melakukan perawatan tanaman bibit kelapa sawit di lahan pembibitan Lubuk Minturun, Padang, Sumatra Barat, Jumat (26/2/2021). Antara Foto/Muhammad Arif Pribadi 

Tak sampai di situ, kendala juga datang dari ketakutan petani sawit yang enggan menebang pohon sawit mereka. Padahal pohon-pohon sawit mereka sudah sangat tidak produktif, yakni hanya menghasilkan sekitar 10 ton/hektare, yang seharusnya jika produktif bisa tiga kali lipat hasilnya. Bahkan jumlahnya bisa jauh lebih rendah untuk produksi tandan buah segar (TBS).

“Si petani enggan untuk memotong pohonnya karena dia menganggap nanti kalau ditebang, saya mau hidup makan pakai apa. Padahal produktivitas mereka sudah sangat kecil,” imbuh Eddy.

Oleh karena itu, Eddy meminta agar pemerintah mencari jalan keluar, misalnya pinjaman dana bagi petani yang harus meremajakan pohon sawit mereka, hingga sawit tersebut dapat berproduksi lagi. Selain itu, petani dapat didorong mengolah sela-sela lahan tanaman sawit untuk budidaya intercropping atau penanaman tanaman semusim seperti jagung, serta padi gogo.

“Artinya masih ada penghasilan lain di luar sawit,” tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar