06 Agustus 2025
10:13 WIB
Eropa Ogah Bangun Pabrik Baterai EV Di RI, Bahlil: Kita Pajaki Bahan Bakunya
Uni Eropa tidak mau berinvestasi di pabrik baterai EV di Indonesia, pemerintah teguh untuk tidak membuka keran ekspor bijih nikel.
Penulis: Yoseph Krishna
Foto udara kepulan asap dari pembakaran nikel di kawasan industri PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (25/7/2024). Antara Foto/Jojon
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan Indonesia punya jalan terjal dalam menyukseskan agenda hilirisasi sumber daya mineral, terutama nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik.
Ketika Indonesia memutuskan menutup keran ekspor ore nickel (bijih) beberapa waktu lalu, Uni Eropa membuat aturan pembangunan pabrik baterai mobil listrik harus berdekatan dengan pabrik mobil listriknya. Tak cukup sampai situ, Benua Biru disebutnya langsung menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO).
Kala itu, Bahlil yang menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM pun bertandang ke Eropa dan menemui pemangku kepentingan di sana untuk mencari jalan tengah. Kunjungan itu tidak membuahkan investasi Eropa di ekosistem baterai EV yang tengah dibangun Indonesia.
Baca Juga: Ekosistem Baterai EV, Bahlil: RI Buka Peluang Impor Litium Australia
Indonesia menghargai keputusan perusahaan-perusahaan Eropa jika tidak ingin masuk ke ekosistem baterai EV di tanah air. Di lain sisi, Indonesia tetap teguh pada keputusannya untuk tidak mengirim nikel berbentuk bijih. Produk yang ditawarkan Bahlil saat itu ialah katoda yang notabene menjadi produk turunan nikel dan salah satu bahan baku baterai mobil listrik.
"Saya ketemu menterinya di sana, saya katakan oke kami tidak punya pabrik mobil listrik. Kalau begitu, kami suplai kalian dengan katoda. Jadi, ekosistemnya itu kan tambang, smelter HPAL, prekursor, katoda, baru baterai sel," ucap Bahlil di Jakarta, Selasa (5/8).
Produk katoda itu menjadi harga mati yang bisa dikirim oleh Indonesia untuk memasok pabrik-pabrik baterai mobil listrik di Uni Eropa. Jika Eropa tetap bersikeras, Bahlil menegaskan pemerintah akan menutup total ekspor bahan baku baterai EV dari setiap tahapan, termasuk dari bijih nikel.
"Andaikan pun kita berikan, kita akan memberi pajak yang cukup signifikan. Supaya apa? Ketika kalian bangun di negara kalian, itu tidak kompetitif," kata dia.
Eks-Ketua Umum HIPMI itu mengklaim dirinya 100% paham cara main negara-negara Eropa yang tidak ingin Indonesia maju dengan mengolah sumber daya alam menjadi produk yang lebih bernilai tambah.
"Cara berpikir ini menurut intuisi saya sebagai pengusaha adalah cara untuk tidak memberikan negara yang mempunyai sumber daya alam untuk membuat produk baterai di negaranya. Ini kita paham, bukan tidak paham," tegas Menteri Bahlil.
Baca Juga: Bahlil Tepis Anggapan 'Pilih Kasih' Investasi Asing
Kenaikan Ekspor
Bahlil juga menjelaskan setidaknya ada empat bahan baku dari baterai mobil listrik, yakni nikel, kobalt, mangan, serta lithium. Dari keempat bahan baku itu, hanya lithium yang tidak tersedia di Indonesia.
Tetapi dari empat bahan baku tersebut, nikel menjadi komponen yang paling penting dan memegang peran krusial. Tak heran, Uni Eropa bagai 'cacing kepanasan' ketika Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan dan sumber daya nikel terbesar mengambil kebijakan untuk menutup ekspor komoditas tersebut.
Bahlil juga mengungkit peningkatan yang signifikan kala pemerintah menutup keran ekspor ore nikel. Pada 2017-2018, ekspor nikel hanya berada di angka US$3,3 miliar dan berhasil meroket menjadi US$34 miliar pada 2023 lalu.
"Lalu di 2024, hampir mencapai US$40 miliar dan Indonesia yang dulunya cuma dikenal sebagai negara penyuplai bahan baku kepada industri di dunia, itu kemudian berubah cara pandang global terhadap Indonesia," jabar dia.