28 Oktober 2024
08:00 WIB
Energi Hijau Kawal Ketahanan Pangan
Sebagian pertanian dunia sudah menggunakan cara yang inovatif untuk memangkas biaya dan mengurangi jejak karbon dalam memproduksi dan menjaga ketahanan pangan, termasuk penggunaan energi hijau.
Editor: Fin Harini
Pekerja merawat tanaman buah naga di Kebun Buah Naga Poernama, Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (17/10/2024). Sumber: AntaraFoto/Raisan Al Farisi
JAKARTA – Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sepanjang Januari-September 2024 luas panen padi turun 1,64% atau 0,17 juta hektare (ha) jika dibandingkan periode yang sama 2023. Pada Januari-September 2024, luas panen mencapai 10,04 juta ha, turun dari 10,21 juta ha di 2023.
Penurunan luas panen disumbang anjloknya luasan panen pada subround I (Januari-April) sebesar 0,64 juta ha (15,21%) dibanding tahun lalu, yakni dari 4,21 juta ha menjadi 3,57 ha.
“Mengapa ini menurun? Luas panen menurun karena merupakan dampak dari fenomena El Nino pada Semester II/2023 yang kemudian menyebabkan terjadinya mundurnya musim tanam,” kata Amalia dalam rilis BPS, Selasa (15/10).
El Nino yang menyebabkan kemarau panjang dan berkurangnya curah hujan membuat musim tanam mundur. Buntutnya, sepanjang tahun ini produksi beras diperkirakan turun 0,76 juta ton atau 2,43% menjadi 30,34 juta ton, dibandingkan 2023 sebanyak 31,10 juta ton.
Lebih rinci, Amalia menyebut penurunan ini terjadi dari anjloknya produksi beras pada subround I (Januari-April). Oleh karena itu, menyebabkan penurunan produksi beras dari 12,98 juta ton tahun lalu, menjadi 11,07 juta ton di subround I tahun ini.
“Penurunan sebanyak 1,91 juta ton (14,74%) dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” imbuhnya.
Pertanian menjadi sektor yang rentan pada perubahan iklim. Bukan hanya di tahun ini, Bambang Irawan dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian menyebut anomali iklim menyebabkan penurunan produksi pangan 3,06% pada setiap kejadian El Nino.
Namun, pertanian juga jadi penyumbang emisi gas rumah kaca, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global.
Dilansir dari Low Carbon Development Indonesia, sektor pertanian menyumbang 13% dari rotal emisi gas rumah kaca di Indonesia. Proyeksi emisi gas rumah kaca pada Sektor Pertanian terhadap emisi gas rumah kaca di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 diperkirakan sebesar 478.503,66 Gg CO2 eq.
Baca Juga: (Masih) Mengejar Mimpi Ketahanan Pangan
Tak hanya di Indonesia, World Economic Forum (WEF) menyebut sistem produksi pangan global menghasilkan sepertiga emisi gas rumah kaca dunia. Dan lebih dari 70% di antaranya berasal dari peternakan dan perikanan, produksi tanaman, dan penggunaan lahan. Sisanya berasal dari rantai pasok pengolahan pangan terkait pengemasan, transportasi, dan ritel.
Ren 21, sebuah jaringan kebijakan dan kelompok tata kelola multipihak yang berfokus pada kebijakan energi terbarukan, menyebut pertanian dan kehutanan menyumbang sekitar 2,1% dari total konsumsi energi final dunia pada tahun 2021, sedangkan perikanan dan akuakultur menyumbang sekitar 0,07%.
Keempat sektor ini menyumbang sekitar 15% penggunaan energi di seluruh rantai nilai pangan pada tahun 2021.
Dari total penggunaan energi sektor-sektor tersebut di 2021, sekitar 73% berupa panas dan 26,9% berupa listrik. Khusus untuk listrik, angkanya naik dari 19,7% pada tahun 2010. Faktor pendorong meningkatnya elektrifikasi ini mencakup permasalahan lingkungan, subsidi pemerintah dan insentif lainnya, potensi penghematan biaya, kemajuan teknologi dan peningkatan kinerja mesin listrik.
Secara total, lanjut Ren21, penggunaan energi di sektor pertanian, perikanan, dan budidaya perairan menyumbang sekitar 0,93 gigaton emisi setara karbon dioksida (CO2) pada tahun 2021. Jumlah ini tak berubah dari tingkat emisi pada 2020.
Sebagian besar emisi tersebut, atau 95% diantaranya, berupa CO2, diikuti oleh nitrogen dioksida (4%) dan metana (1%). Emisi CO2 berasal dari penggunaan listrik (45,8%), produk minyak bumi (38,4%), batu bara (11,6%) dan gas fosil (3,3%). Hampir seluruh emisi nitrogen dioksida di sektor-sektor ini berasal dari penggunaan produk minyak bumi, dan sekitar 80% emisi metana berasal dari penggunaan batu bara.
Tak heran jika PBB sejak beberapa tahun lalu menyerukan pertanian harus menjadi lebih berkelanjutan untuk memerangi krisis iklim sekaligus memberi makan populasi global yang meningkat pesat.
Menurut PBB, akan ada 10 miliar orang di dunia yang harus diberi makan pada tahun 2050. Hal ini akan menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Untuk menjamin masa depan yang sehat bagi manusia dan bumi, populasi yang terus bertambah harus diberi pangan dengan cara yang sehat, adil dan berkelanjutan,” sebut Departmen of Economic and Social Affairs (DESA) PBB dalam salah satu publikasinya.
Electrifying Agriculture
Seruan ini sudah mulai disambut. Sebagian pertanian dunia sudah menggunakan cara yang inovatif untuk memangkas biaya dan mengurangi jejak karbon.
Ren21 dalam laporan Renewables 2024 Global Status Report melaporkan porsi penggunaan energi hijau di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mencapai 15,4% di 2021. Angka ini naik ketimbang 2011 sebesar 10,8%.
Dari pangsa energi hijau di tahun 2021, sebanyak 55% di antaranya merupakan listrik terbarukan, 6,5% adalah energi panas matahari dan panas bumi, dan 32% adalah bioenergi modern.
Panas matahari biasanya berupa pemanfaatan sinar matahari untuk menghasilkan panas, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air panas maupun sistem pemanas atau pendingin. Sistem panas matahari sering kali menggunakan perpindahan cairan untuk menangkap energi.
Laporan yang sama menyebut per 2022, sebanyak 1.165 MW PLTS untuk pompa air telah terpasang. India menyumbang angka paling besar, yakni 1.083 MW.
Di Indonesia, PLN membesut program Electrifying Agriculture (EA) yang bertujuan mengajak para petani beralih ke alat-alat dan mesin pertanian (alsintan) berbasis listrik, dari sebelumnya memakai alsintan berbahan bakar fosil yang mahal dan merusak lingkungan. Program yang sudah berjalan dari 2020 ini diharapkan bisa menekan emisi karbon.
Catatan PLN, program EA semakin diminati para pelaku usaha di sektor agrikultur seperti pertanian, perikanan, perkebunan hingga peternakan. Hingga akhir tahun 2023, program ini telah memiliki telah lebih dari 241.700 pelanggan. Angka tersebut meningkat sekitar 25% dibandingkan tahun 2022 yang hanya sebesar 193.058 pelanggan.
Baca Juga: Kementan Pastikan Program Cetak Sawah 3 Juta Ha Hingga 2029
Hingga akhir tahun 2023, total daya tersambung program EA sebesar 3.647 Mega Volt Ampere (MVA) atau tumbuh sekitar 16% dari 2022 sebesar 3.128 MVA.
Selain itu, konsumsi listrik program EA juga mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 2023, konsumsi listrik mencapai lebih dari 5,12 Tera Watt hour (TWh), meningkat sekitar 9% dibanding akhir tahun 2022 sebesar 4,66 TWh.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo awal Januari 2024 lalu menyebut melalui program EA, PLN ingin mendukung pelaku usaha di sektor agrikultur untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional yang berujung pada peningkatan keuntungan. Meskipun tidak dijelaskan sumber energi listrik yang digunakan apakah dari EBT atau bukan, program ini juga disebut Darmawan membuat kegiatan usaha dari pelaku bisnis menjadi lebih ramah lingkungan.
“Melalui program ini, kami berupaya menciptakan Creating Shared Value (CSV) bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Kami yakin dengan penggunaan berbagai inovasi teknologi agrikultur berbasis listrik membawa pelaku usaha menjadi lebih modern yang membuat produktivitas mereka meningkat signifikan dibandingkan dengan menggunakan energi fosil,” ungkapnya.
Program EA juga menjadi bagian dari langkah strategis perseroan dalam upaya mendukung pengentasan kemiskinan melalui sektor ketenagalistrikan.
“Lewat program EA ini kami juga mendukung Pemerintah untuk menguatkan ketahanan pangan nasional,” kata Darmawan.